Eksotika 1001 Klenteng




MEMASUKI kawasan pecinan (Chinatown) Semarang ibarat memasuki wilayah 1001 klenteng. Bagaimana tidak, hampir di setiap ujung gang di kawasan itu terdapat klenteng yang masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri. Nilai historis yang nyata hingga legenda yang besar se-antero Nusantara akan kita jumpai jika kita menjelajah klenteng-klenteng di Kota Semarang.Ada 11 klenteng besar di Semarang, 10 di antaranya terdapat di kawasan pecinan, yaitu Klenteng Siu Hok Bio, Hoo Hok Bio, Kong Tik Soe, Tay Kak Sie, Tong Pek Bio, Liong Hok Bio, Tek Hay Bio, Wie Wie Kiong, See Hoo Kong, dan Klenteng Grajen. Sedang Klenteng Sam Poo Kong berada di Gedung Batu. Masing-masing klenteng itu mempunyai nilai historis tersendiri.

Seperti Klenteng Sam Poo Kong yang sudah akrab di telinga masyarakat Kota Semarang. Di samping menyimpan legenda keperkasaan Laksamana Cheng Ho, klenteng ini juga dikunjungi masyarakat dari berbagai agama, termasuk agama Islam. Laksamana Cheng Ho adalah orang Cina tetapi beragama Islam. Di klenteng ini tersimpan kemudi dan jangkar kapal Laksamana Cheng Ho yang digunakan pada waktu berlayar ke Pulau Jawa sekitar tahun 1406.

Sam Po Kong 1920an

Kemudian klenteng Siu Hok Bio di Jalan Wotgandul Timur yang saat ini merupakan klenteng tertua di kawasan pecinan Semarang. Klenteng ini didirikan tahun 1753 oleh warga Pecinan Lor sebagai ungkapan syukur atas rezeki yang diterima oleh penduduk sekitar Cap Kauw King. Klenteng ini masih mempunyai warisan yang berusia nisbiah kuno yaitu berupa cincin pegangan pintu dan ukiran pada ambang atas pintu klenteng.

Sedang Klenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok, merupakan klenteng induk bagi seluruh klenteng yang ada di Semarang. Nama klenteng yang menyiratkan napas Budhisme ini menjadi simbol heroisme etnis Cina di Semarang. Selain menjadi monumen perlawanan masyarakat Cina terhadap penjajahan Belanda, klenteng ini juga menjadi simbol perlawanan masyarakat Cina terhadap kecurangan saudagar Yahudi yang menguasai Klenteng Sam Poo Kong.

Klenteng terbesar di kawasan pecinan Kota Semarang adalah Klenteng Wie Wie Kiong di Jalan Sebandaran I. Klenteng ini memiliki kolam hias di atrium depannya yang menjadi simbol bahwa semua masalah bisa diselesaikan. Keunikan klenteng ini adalah adanya beberapa patung manusia yang bentuknya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa.

Satu lagi klenteng besar di Jalan Sebandaran I adalah Klenteng See Hoo Kiong. Berbeda dengan klenteng lain yang memuja dewa-dewi pelindung, klenteng ini memuja Dewa Pedang. Keunikan klenteng ini adalah memiliki sumur yang terletak di halaman depan yang menurut legendanya merupakan tempat ditemukannya pedang yang kemudian dipuja.

***

SALAH satu klenteng besar yang merupakan klenteng marga adalah Klenteng Tek Hay Bio. Klenteng yang berada di Jalan Gang Pinggir ini milik marga Kwee. Tek Hay Bio dapat diartikan sebagai Kuil Penenang Samudera sehingga klenteng ini disebut juga sebagai Klenteng Samudera Indonesia, dan peran ini dijabarkan dalam ornamen dengan dominasi unsur laut.

Selain menikmati keindahan klenteng yang dibangun ratusan tahun lalu, bila kita menyusuri kawasan pecinan Semarang, kita bisa menikmati suasana kehidupan masyarakat Tionghoa yang masih menjunjung tinggi tradisi. Belum lagi masakan khas Cina yang bisa dinikmati di beberapa rumah makan yang ada di kawasan ini.

Sebenarnya ada beberapa kawasan pecinan lain di wilayah Jawa Tengah, seperti di Pekalongan dan Lasem (Rembang).

Kawasan Pecinan Lasem misalnya, memiliki keunikan dengan Kota Beteng-nya. Disebut Kota Beteng karena kawasan pecinan Lasem dikelilingi beteng atau tembok yang membatasinya dengan kawasan penduduk asli. Bangunan-bangunan besar berasitektur Cina milik saudagar (pedagang kaya) waktu itu, banyak terdapat di kawasan ini.

Lasem bisa disebut juga sebagai Tiongkok-nya Jawa (The Tiongkok of Java). Pada zaman Kerajaan Singosari, Lasem sudah menjadi persinggahan para pedagang Cina. Konon, Lasem menjadi tempat pendaratan pertama kali bagi para Cina perantauan yang datang di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, Lasem menjadi salah satu simpul segi tiga candu di Jawa, bersama-sama dengan Juwana dan Rembang.

Kejayaan perdagangan candu masih terlihat dari peninggalan berupa rumah-rumah tradisional dan vila-vila Cina yang banyak dijumpai di daerah ini. Rata-rata rumah berada di areal tanah seluas 2-3 hektar. Salah satu yang terbesar adalah rumah yang terletak di Jalan Dasun yang hingga masih terjaga keasliannya. Di halaman samping kanan terdapat makam keluarga yang usianya sudah ratusan tahun. Atmosfer dan keunikannya menarik perhatian sutradara film Ca Bau Kan yang kemudian memilih rumah ini untuk lokasi shooting.

Sebagaimana kawasan pecinan lainnya, di Lasem juga dijumpai beberapa klenteng. Klenteng-klenteng di Lasem memiliki keunikan, bangunan fisik dan legenda yang hidup menunjukkan proses akulturasi yang harmonis antara Cina perantauan dan masyarakat setempat.

Seperti Klenteng Cu An Kiong yang merupakan klenteng pemujaan dewi pelindung laut Thian Siang Sing Boo. Masyarakat setempat, terutama nelayan percaya bahwa laut di Lasem dikuasai Dewi Thian Siang Sing Boo. Karena itu, sebelum melaut, mereka datang ke klenteng untuk minta perlindungan Dewi Thian Siang Sing Boo. Dengan begitu mereka percaya akan selamat selama melaut dan mendapatkan hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

***

KEINDAHAN bangunan klenteng dengan ragam legenda dan nilai historis yang terkandung di dalamnya, serta kekhasan kawasan pecinan tersebut yang akan “dijual” oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu produk pariwisata budaya. Selama ini kawasan ini belum dianggap sebagai obyek pariwisata yang potensial, apalagi kebijakan pemerintah Orde Baru waktu itu membatasi kegiatan-kegiatan yang berbau Cina.

“Kawasan pecinan mempunyai prospek bagus. Tingkat emosional orang Cina itu kan besar. Pada hari-hari tertentu seperti imlek, mereka pasti akan mengunjungi klenteng. Lihat saja kalau ada acara di Klenteng Sam Poo Kong, tempat ini banyak dikunjungi orang dari berbagai kota di Indonesia, hotel-hotel di Semarang penuh. Potensi ini yang kita tangkap,” kata Kepala Dinas Pariwisata Jawa Tengah (Jateng), Hengky Hermantoro.

Sejak tahun lalu, Dinas Pariwisata Jateng menyiapkan paket wisata pecinan yang diharapkan tahun depan bisa diluncurkan. Apalagi sejak tragedi WTC (World Trade Center), tren pangsa pasar pariwisata dari Asia Timur Raya yaitu Cina, Hongkong, dan Korea. Pangsa pasar Asia Timur Raya ini dianggap sebagai the awakening giant, raksasa yang baru bangun.

Pada awal tahun 2002, Pemerintah Indonesia dan pemerintah Cina membuat kesepakatan yang memutuskan bahwa Indonesia sebagai tujuan wisata. Karena itu pangsa pasar Cina merupakan pangsa pasar yang potensial, di samping wisatawan domestik. Untuk ini, Dinas Pariwisata menggandeng Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan (LPPSP) Semarang untuk mengidentifikasi aset dan potensi wisata kawasan-kawasan pecinan di Jateng. Juga untuk membuat perencanaan pengembangan kawasan pecinan sebagai kawasan wisata.

Kegiatan penyusunan paket wisata pecinan di Jateng yang dilakukan LPPSP, difokuskan pada wilayah pantai utara, khususnya dari Kota Semarang ke arah timur yaitu Semarang, Demak-Welahan-Jepara, Kudus, dan Rembang-Lasem-Tuban. Beberapa waktu lalu, dilakukan uji coba paket wisata pecinan dengan melibatkan para pelaku pariwisata, terutamanya dari agen-agen perjalanan wisata.

Paket wisata pecinan ini nantinya akan ditawarkan ke agen-agen perjalananan wisata untuk dipasarkan ke konsumen, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik. Bagaimanapun salah satu kunci keberhasilan pariwisata adalah jika pelaku pariwisatanya aktif. Diharapkan para agen perjalanan wisata dapat mempromosikan wisata pecinan agar lebih dikenal dan dikunjungi wisatawan.

Direktur LPPSP, Widya Wijayanti mengatakan, pengembangan kawasan pecinan menjadi kawasan wisata tidak akan mengubah kawasan itu menjadi kawasan komersial yang pada akhirnya akan mengubah wajah asli kawasan itu. Wajah asli kawasan pecinan harus dilestarikan karena itu yang menjadi daya tariknya. Seperti keberadaan klenteng yang menjadi elemen penting dan utama dalam sebuah permukiman masyarakat Cina.

“Karena itu kawasan itu tetap dibiarkan keasliannya, tentunya perlu partisipasi masyarakat. Ini pengembangan dalam skala kecil, bukan skala kapitalis seperti pembuatan mal. Pecinan merupakan living heritage. Ini memang membutuhkan waktu, di satu pihak kita dekat dengan perubahan sementara di pihak lain perlu pendekatan ke masyarakat butuh waktu,” kata Widya.

Upaya pengembangan paket wisata pecinan tersebut masih sangat permulaan, dan ini diakui oleh Widya maupun Hengky. Untuk menarik wisatawan mengunjungi kawasan pecinan Lasem, misalnya, perlu dipersiapkan konsep apa yang akan ditawarkan kepada para wisatawan. Mengunjungi klenteng saja, tidak akan cukup menarik wisatawan untuk datang ke Lasem karena hanya ada beberapa klenteng di Lasem.

Menjual suasana kampung Cina, bak jauh panggang dari api, karena kawasan pecinan Lasem nyaris mati karena “ditinggalkan” penduduknya. Rumah-rumah besar berasitektur Cina nyaris punah karena ditinggalkan pemiliknya dan tidak dipelihara dengan baik. Para generasi mudanya memilih mengadu nasib ke luas Lasem dan membuka usaha lain yang dirasa menguntungkan. Generasi muda tidak mau meneruskan usaha batik Lasem milik orang tua mereka karena tidak menguntungkan.

Padahal, jika dikembangkan dengan baik, bukan tidak mungkin batik Lasem menjadi primadona pariwisata di Lasem sebagaimana halnya yang terjadi di kawasan Tamansari di Yogyakarta. Meski begitu Dinas Pariwisata Jateng dan juga Pemerintah Kabupaten Rembang optimis, batik Lasem bisa dihidupkan lagi sehingga dapat menarik wisatawan mengunjungi Lasem khususnya kawasan pecinan Lasem.

Andai saja penanganan wisata pecinan diperlakukan sama seperti penanganan wisata Solo-Selo-Borobudur yang gencar dengan promosinya dan tentunya dengan dukungan pembiayaan-meski hasilnya masih jauh dari yang diharapkan-bukan tidak mungkin kawasan pecinan menjadi salah satu produk unggulan wisata Jateng. (YOVITA ARIKA)



Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...