Menepis Stigma, Memupus Prasangka

HARI-HARI di bulan Mei 1998 merupakan hari-hari kelabu, samar-samar, tidak jelas dan penuh ketidakpastian bagi warga Tionghoa. Pada hari-hari itu, terjadi penjarahan, pemerkosaan dan pembakaran terhadap sejumlah aset milik warga Tionghoa. Namun hingga kini, apa yang terjadi pada Mei 1998 tak jelas kabar beritanya, tak jelas juntrungnya. Ia seolah-olah mesti dikubur dalam-dalam dari pusaran kerak ingatan warga Tionghoa. Peristiwa mengenaskan itu sepertinya dipaksa harus dihilangkan dari memori penderita dan korban yang pernah mengalaminya.

Pasca-1998, secercah harapan kembali merekah. Pemerintah mengambil berbagai kebijakan yang intinya mulai memperhatikan nasib warga Tionghoa, mulai dari sektor politik, ekonomi dan sosial budaya. Secara langsung dapat kita saksikan perayaan Imlek tak kalah meriah dibanding penyambutan Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru Masehi. Tak ada lagi kendala yang menyebabkan takut atau sungkan mengadakan perayaan Imlek. Iklim politik sudah berubah, sehingga masyarakat Tionghoa bisa secara bebas dan leluasa mengekspresikan eksistensi diri. Tak ada lagi tudingan dan tekanan-tekanan politik yang meminggirkan mereka dari komunitas bangsa Indonesia.

Perayaan Imlek telah ditetapkan sebagai hari libur nasional. Ini merupakan sebuah pengakuan luar biasa terhadap eksistensi etnis Tionghoa setelah sekian tahun hidup terlunta-lunta akibat "ketidakpastian politik" di negeri ini.

Apakah ini berarti masyarakat Tionghoa telah diterima dengan baik di seluruh pelosok Nusantara? Apakah tembok-tembok penyekat yang sekian lama membelenggu telah runtuh? Rasisme, stigmatisasi dan diskriminasi yang kerapkali menghantui, telah luluh?

Meski secara kultural warga Tionghoa telah memperoleh kemerdekaannya kembali, namun belum secara sosial politik. Diakui atau tidak, keberadaan warga Tionghoa hingga kini tetap masih dianggap sebagai "kelompok tersendiri". Meski sudah berusaha membaur dengan komunitas setempat, tetap saja masih ada pembedaan bagi warga Tionghoa. Seringkali pula, bila terjadi peristiwa tertentu etnis itu dijadikan kambing hitam alias sasaran kemarahan.

Dua Alasan

Ada dua alasan utama yang sering dianggap sebagai pembenaran (justifikasi) terhadap pembedaan itu. Pertama, karena adanya citra negatif tentang warga Tionghoa sebagai pengusaha "Alibaba" di masa Orde Baru. Di sini, warga Tionghoa masih dianggap kerap memanfaatkan pejabat untuk mendapatkan proyek sehingga hilang kesempatan berbisnis bagi pengusaha pribumi.

Kedua, keberadaan sejumlah warga Tionghoa yang memilih tinggal di kawasan eksklusif. Seolah tak mau bergaul dengan masyarakat sekitar yang relatif miskin dan kekurangan. Hal itu menimbulkan kesan bahwa mereka membatasi diri dan tidak mau tahu dengan lingkungannya. Warga Tionghoa umumnya "dipukul-rata", disamaratakan dan dianggap memiliki banyak sifat negatif oleh umumnya orang-orang pribumi karena stigma praktik-praktik eksklusif, kemewahan, dan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).

Berbagai kesan negatif itu muncul terutama karena ketidaktahuan masyarakat awam tentang warga Tionghoa secara keseluruhan. Lebih parah lagi, ketidaktahuan tersebut telah mendukung massa untuk melakukan tindak destruktif seperti menghancurkan aset milik warga Tionghoa. Ketidaktahuan itu juga menghadirkan kondisi permisif untuk melakukan kekerasan dan bisa lebih parah lagi karena elite atau pemimpin yang berkuasa justru mentolerir tindakan tersebut. Seperti yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998, karena tidak ada informasi yang benar dan seimbang tentang warga Tionghoa, telah terpicu tindakan yang tidak berperikemanusiaan.

Dalam konteks itu, stigma rasialis dan diskriminasi belum pudar dan musnah sampai ke akar-akarnya. Padahal, konsep rasialis kewarganegaraan dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Istilah pribumi dan nonpribumi bukan saja usang, tapi juga merupakan suatu kemunduran dan ungkapan ketidakmengertian cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa. Konsep itu dapat menimbulkan dampak tidak hanya pada warga Indonesia keturunan asing tetapi juga terhadap ras atau agama yang berbeda dengan mayoritas.

Adanya aturan-aturan yang bernuansa diskriminatif hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga masih kental menyelimuti. Harus mengganti nama, penandaan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kerapkali masih terjadi. Demikian pula dengan ganjalan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

Diskriminasi dalam hak-hak sipil, seperti belum mengakui Konghucu sebagai agama, membedakan penganutnya dalam hak-hak sipil (pembuatan kartu tanda penduduk, hak-hak dalam pernikahan atau pencatatan nikah di Kantor Catatan Sipil), harus segera dituntaskan. Tembok-tembok penyekat yang membuat perbedaan dan bernuansa diskriminasi dengan menganggap seseorang, atau sekelompok kalangan adalah "asing dan pendatang" harus diruntuhkan. Tindakan-tindakan positif berupa penghargaan lintas etnis, suku, agama dan kelompok, tanpa pembedaan, perlu dikedepankan karena setiap manusia memiliki hak-hak yang sama untuk hidup.

Tidak Semua

Perlu juga digarisbawahi bahwa tidak semua masyarakat keturunan Tionghoa hidup berkecukupan. Banyak di antara mereka hidup pas-pasan, bahkan harus mendekam di bawah garis kemiskinan, seperti halnya masyarakat Tionghoa yang tinggal di berbagai wilayah di Kota dan Kabupaten Tangerang, Banten. Kondisi serupa dapat dijumpai di Pulau Bangka dan Belitung (Babel).

Mereka tersebar di perkampungan-perkampungan Cina di Kecamatan Teluknaga, Kosambi, Curug, Kabupaten Tangerang dan Kecamatan Kota Tangerang; Negalsari, Kota Tangerang. Umumnya, mereka yang dikenal dengan sebutan 'Cina Benteng' itu, tinggal di perkampungan kumuh. Sebagian besar dari mereka menghuni rumah-rumah berukuran kecil 3x6 meter. Berlantai tanah, atap genting, dan dinding terbuat dari anyaman bambu. Mereka jauh dari fasilitas hidup yang layak dan memadai.

Mereka sebagian besar bekerja sebagai kuli bangunan, buruh pabrik, sopir, atau usaha kecil-kecilan seperti membuat gula merah. Mereka tidak mempunyai akses untuk bekerja di sektor formal, karena pendidikan mereka rendah.

Fakta ini membantah asumsi umum yang negatif bahwa keturunan Cina di Indonesia telah menguasai sektor perekonomian. Tidak semua bidang sektor ekonomi di negeri ini dalam cengkeraman, monopoli dan dominasi etnis Tionghoa. Seperti industri jurnalistik, BUMN, dan masih banyak sektor lainnya.

Sayangnya, fakta peta potensi ekonomi Indonesia itu sering diabaikan, agar leluasa menumpahkan rasa kecemburuan sosial secara generalisasi, pukul-rata terhadap warga keturunan Cina, demi membenarkan rasa dan perilaku membenci warga keturunan Cina. Padahal, peran keturunan Cina di Indonesia sejatinya bukan hanya mendominasi, apalagi memonopoli potensi ekonomi nasional Indonesia.

Peran etnis Tionghoa dalam bidang-bidang yang lain juga tak bisa dipandang sebelah mata. Di dunia olahraga ada Tan Yoe Hok (pertama menjuarai All England, dan ikut pertama kali merebut Piala Thomas), Rudy Hartono (delapan kali juara All England), serta Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang hampir bersamaan merebut medali emas pertama dan kedua Olimpiade bagi Indonesia. Liem Swie King, Hendrawan, dan lainnya juga berjasa ikut menjunjung tinggi pamor dan mengharumkan nama Indonesia di antara bangsa-bangsa di muka bumi ini.

Dalam jagad politik Indonesia, terdapat beberapa nama tokoh kritis seperti Kwik Kian Gie dan Arief Budiman. Di dunia teater dan sinematografi ada Teguh Karya (almarhum), Nano Riantiarno. Di bidang hukum, ada Yap Thiam Hien yang namanya dikenang sepanjang masa sebagai teladan penegak hukum sejati.

Maka, jika sampai hari ini masih saja terjadi perlakuan rasis, stigmatisasi dan diskriminasi terhadap warga Tionghoa, sungguh merupakan kenyataan yang amat memprihatinkan. Karena, warga Tionghoa merupakan bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, sama seperti warga masyarakat lainnya.

Oleh Imam Cahyono
Penulis adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), peneliti al-Maun Institute for Islamic Transformation (MIIT), Jakarta

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...