SBKRI, Hantu Diskriminasi

BELAKANGAN ini, di Surabaya terjadi "geger" atau ribut-ribut soal Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Ribut-ribut di Surabaya itu melibatkan banyak pihak, mulai dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sampai pengusaha yang peduli akan masalah ini.

Warga Tionghoa di Surabaya juga mengancam akan berunjuk rasa besar-besaran di depan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di sana jika instansi itu masih memberlakukan SBKRI. Bahkan dialog bertema ''Pemenuhan HAM Dalam Rangka Pengurusan Paspor bagi WNI Keturunan Tionghoa'' di Sekretariat PITI 8 Agustus lalu, sempat diwarnai aksi pengguntingan SBKRI oleh Biao Wan sebagai bentuk protes atas perlakuan diskriminatif yang mereka alami (Suara Pembaruan 9/8/2004). Bahkan dalam kaitan itu, presiden sampai mengundang pengusaha-pengusaha berdarah Tionghoa asal Surabaya, seperti bos Maspion Alm Markus.

SKBRI sebenarnya sama saja dengan hantu. Meski berulangkali para penguasa dan pejabat negeri ini menegaskan "SKBRI sudah dihapus", tapi seperti halnya 'hantu', SKBRI memang tidak pernah "mati-mati". Bahkan kalau perlu dilestarikan dan dilembagakan agar tetap terus hidup (baca diberlakukan).

Tak Berlaku?

Misalnya ketika ribut-ribut soal SBKRI yang menimpa Susi dan Alan awal April lalu, juga saat meresmikan tugu peringatan bagi korban Tragedi Mei 2004 di Jakarta, Presiden Megawati mengungkapkan "SBKRI tak ber-laku lagi". Menjelang Imlek 2003, kepada wakil keturunan Tionghoa, Wapres Hamzah Haz juga menugaskan Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra untuk menyosialisasikan bahwa SBKRI tidak diperlukan lagi bagi WNI keturunan Tionghoa yang telah memiliki akte kelahiran dan kartu tanda penduduk, kecuali mereka yang masih dalam proses naturalisasi.

Kepada ratusan masyarakat Tionghoa yang diundang ke kantor Depdagri, Mendagri Hari Sabarno menegaskan, WNI keturunan Tionghoa tak perlu lagi menunjukkan SBKRI untuk berbagai urusan pelayanan publik (24/6/2004). Masih banyak lagi ungkapan senada yang terdengar bak angin surga bagi warga Tionghoa, tapi angin surga itu segera berlalu dan hantu SKBRI ternyata bergentayangan lagi karena dalam praktik kehidupan, hantu satu ini tetap mendominasi.

Jadi dari lahir, sekolah, menikah, pergi ke luar negri, membuat sertifikat tanah, bahkan pada saat kematian tiba, para warga Tionghoa yang sudah bergenerasi tinggal di negri ini, harus tetap memiliki SKBRI.

Sebenarnya kalau dilihat dari landasan politik hukum kewarganegaraan, ketentuan tentang bukti kewarganegaraan wajar saja diberlakukan bagi orang asing yang mau menjadi warga negara dalam suatu negara. Di Malaysia, Singapura dan Filipina, untuk warga negara 'by registration' diberikan bukti "Certificate of Registration" dan "Certificate of Naturalization" untuk warga negara lewat naturalisasi.

Untuk warga negara yang tidak mempunyai bukti kewarganegaraan di Amerika Serikat diberikan "Certificate of Nationality" (BP Paulus, Kewarganegaraaan RI Ditinjau dari UUD 1945, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal 53).

Dengan demikian, bukti kewarganegaraan memang diperlukan bagi orang asing yang ingin menjadi WNI lewat naturalisasi entah karena pengangkatan, perkawinan, turut ayah atau ibunya, atau entah karena pewarganegaraan atau karena pernyataan. Bukti kewarganegaraan memang diperlukan karena setiap orang asing yang menjadi WNI harus bisa menunjukkan bukti kewarganegaraannya.

Menurut Dirjen Imigrasi, pada 2003 lalu ada 479 warga asing yang berusaha mendapatkan paspor dengan identitas palsu dan 80% dari RRC. Sedang sampai akhir Desember 1997, permohonan pewarganegaraan orang asing Tionghoa (China) yang masuk di Departeman Kehakiman dan HAM mencapai 145.070 berkas. Permohonan yang disetujui 139.788 berkas.

Apalagi di tengah isu terorisme yang hangat akhir-akhir ini, bukti kewarganegaraan memang perlu. Ramli Hutabarat, Direktur Tata Negara Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM menunjuk kasus tersangka pelaku teror Umar Al-Faruq yang dikabarkan sebagai orang asing warga negara Jerman, tetapi memiliki KTP dan Akte Kelahiran dari Catatan Sipil yang diterbitkan di Indonesia, seolah dia WNI.

24 Macam

Menyangkut bukti kewarganegaraan sebenarnya ada 24 macam dan salah satunya adalah SBKRI. Lalu, mengapa SBKRI itu terus menjadi hantu yang membayangi kehidupan warga Tionghoa yang sudah bergenerasi (bahkan ada yang generasi ke III dan IV) tinggal di negri ini?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus kembali membuka sejarah masa lalu, ketika Mao Tse Tung mengklaim bahwa orang Cina di seluruh dunia (termasuk Indonesia) merupakan warga negara Republik Rakyat Tiongkok karena asas "Ius Sanguinis" (Keturunan karena Darah). Klaim itu lalu ditindaklanjuti dengan Perjanjian Soenario-Cho En Lai, 22 April 1955 yang lalu melahirkan UU No 2/1958. Lewat perjanjian itu, para peranakan Tinghoa harus memilih menjadi WNI atau WN-RRT.

Tapi Perjanjian Soenario-Cho En Lai itu telah dibatalkan pada 10 April 1969 lewat UU No.4/1969 dengan dinyatakannya bahwa anak-anak WNI Tionghoa yang lahir pasca 20 Januari 1962 tidak boleh lagi memilih kewarganegaraan lain, selain kewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian warga WNI etnis Tionghoa yang lahir setelah 20 Januari 1962 tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan SBKRI.

Namun, perjanjian Soenario-Cho En Lai itu masih menyisakan "korban". Menurut pengacara Eddy Sadeli dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa di Indonesia, saat ini sekitar 60.000 warga Tionghoa tidak memiliki kewarganegaraan karena tidak terangkut ke RRC, tapi tidak juga diberi kewarganegaran Indonesia.

Korban baru juga terus berjatuhan karena terus diberlakukannya SBKRI bagi warga Tionghoa yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini, meskipun secara eksplisit SBKRI sudah dihapuskan penerapannya lewat Keputusan Presiden No 56/1996 dan Instruksi Presiden No 4/1999.

Inilah yang sampai saat ini benar-benar amat menggelisahkan.

Memang ada beragam faktor yang mendorong tetap diberlakukannya SBKRI bagi warga Tionghoa yang sudah menjadi WNI. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah soal uang. Pelatih bulutangkis Shinfu di awal 1990-an pernah keluar uang Rp 50 juta untuk mendapatkan SBKRI dan untuk itu pun dia harus menunggu selama 10 tahun.

Para calo di imigrasi memang yang paling diuntungkan dengan masih dilestarikannya ''hantu'' SBKRI itu. Uang memang bisa menjungkirbalikkan segalanya di negri ini sehingga hukum pun menjadi barang dagangan, seperti pesan lakon Republik Togok dari Teater Koma yang baru dimainkan di Jakarta dan disutradarai Nano Riantiarno, Tionghoa asal Cirebon.

Bagi yang punya uang, SBKRI semahal itu tak jadi soal, tetapi bagi warga Tionghoa miskin yang selama ini jarang diungkap keberadaannya, tentu lebih baik memilih untuk memenuhi kebutuhan pokok daripada harus mengurus SBKRI (atau KTP) yang banyak calonya itu.

Penderitaan Tionghoa miskin juga sering ditambahi dengan adanya penilaian bahwa hanya Tionghoa 'top' saja yang seolah lebih nasionalis. Dalam sebuah wawancara belum lama, dengan simpatik Susi Susanti bertanya, kalau "kami-kami ini" (sejumlah olahragawan bermedali emas) bisa diperlakukan tidak adil begitu, bagaimana nasib orang-orang lain yang jauh lebih miskin dan kurang dikenal. (Kompas 2/5/2004).

Karena itu, penulis berharap, silakan saja SKBRI tetap terus diberlakukan bagi WNA yang ingin jadi WNI, tetapi bagi warga Tionghoa yang sudah puluhan atau ratusan tahun tinggal di negeri tercinta ini, hantu SBKRI harus tidak boleh bergentayangan lagi. Segala produk hukum dan perundangan lain yang diskriminatif juga harus dihapus secara serentak. Dan untuk itu, rasanya kita semua sangat mengharapkan kearifan dan ketegasan dari politik hukum pemerintah RI.

Perbedaan etnis di negri ini bisa menjadi seperti pelangi yang indah senada dengan spirit "Bhineka Tunggal Ika". Tapi perbedaan itu bisa menjadi bencana jika ternyata politik hukum pemerintah malah bersifat diskriminatif. Mudah-mudahan DPR hasil Pemilu 5 April dan Presiden hasil Pemilu 20 September 2004 akan memiliki politik hukum yang sungguh menempatkan semua warga negara di negri ini secara egaliter sehingga tidak perlu lagi produk hukum yang diskriminatif dan memecah-belah kesatuan bangsa. Negeri ini jelas tidak akan sampai pada kematangan, apalgi kejayaan jika diskriminasi masih memperoleh tempat di hati dan masih dicantumkan dalam undang-undang.

Oleh Tomy Su
Penulis adalah Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...