Potret Kerinduan Seorang Hoakiauw Tua

Foto-foto:Istimewa - Lim Kay Tong, aktor senior dari Singapura sebagai Johan Tanujaya dan Shanty sebagai Sita dalam film �The Photograph�.

Film: The Photograph

Sutradara : Nan T Achnas

Pemain: Lim Kay Tong, Shanty, Lukman Sardi,

Indy Barends

Skenario: Nan T Achnas & Titien Wattimena

Genre : Drama

Produksi: Triximages, Salto Films, Les Petites Lumieres

Saat memenuhi undangan untuk menonton preview film Indonesia terbaru, The Photograph. Di Djakarta Teater awal bulan Juli 2007 lalu, penulis hanya berbekal sekadar referensi, kisah seorang pekerja seks komersial (PSK) yang bertemu seorang fotografer tua.


Si PSK diperani Shanty, penyanyi yang membuat debutnya di blantika seni peran lewat film ini. Sementara si fotografer diperankan oleh Lim Kay Tong, aktor senior dari Singapura. Referensi lainnya, adalah mengenai sutradaranya, Nan T Achnas, yang pernah membuat film Pasir Berbisik (2000) dan Bendera (2003).

Sudah cuma itu saja, tapi sungguh orang tak menyangka kalau film ini luar biasa indah dengan inti cerita tentang seorang Hoakiauw tua yang bernama Johan Tanujaya. Maka orang pun terpukau, terhanyut menikmati keindahan selama 95 menit durasi film ini.

Terus terang kalau kisah tentang wanita muda asal desa yang terdampar di kota besar dan kemudian diperalat oleh germo untuk menjadi PSK, sudah dibuat entah berapa puluh judul film sejak sukses besar karya Turino Djunaidy, Bernafas dalam Lumpur (1970). Namun kisah tentang seorang hoakiauw? Belum pernah ada satu pun dari 2.000 judul film lebih yang pernah diproduksi di Tanah Air.

Hoakiauw adalah sebutan untuk Tionghoa perantauan. Pada suatu masa, lebih dari 30 tahun lalu, hubungan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan RRT pernah sangat meruncing hingga memutuskan hubungan diplomatik antar kedua negara. Aset-aset milik Kedutaan RRT disita, atase kedutaan diusir kembali ke negerinya. Orang- orang Tionghoa yang memilih berstatus WNA tak diperkenankan tinggal, ramai-ramai digiring naik kapal bak eksodus untuk diantar pulang ke Daratan Tiongkok.

Believe it or not, pernah ada PP 10, yang melarang suku Tionghoa berniaga di kampung-kampung. Padahal sudah semenjak zaman Majapahit diketahui orang Tionghoa sebagai pedagang kelontong yang masuk-keluar ke segala pelosok (baca buku karya Pramoedya Ananta Toer, Masalah Hoakiauw di Indonesia, yang pernah dilarang beredar).

Berlanjut dengan warga negara Indonesia dilarang keras oleh Pemerintah untuk pergi ke Tiongkok, kendati untuk sekadar mengunjungi keluarga atau makam leluhur di sana. Berbagai pembatasan ketat diberlakukan kepada suku Tionghoa di Indonesia. Sekolah-sekolah Tionghoa ditutup.

Berbagai ritual kebudayaan dari perayaan Tahun Baru Imlek, Cap-go-meh, wayang potehi, bahkan pergelaran tonil Sam Pek Eng Tay tidak diperkenankan, aksara kanji Mandarin dilarang dipasang. Kemudian, orang-orang Tionghoa diharuskan berganti nama, mengubah nama kelahiran dengan nama baru yang lebih terdengar lokal. Sebagai contoh, mereka yang mempunyai she (marga) Lim berganti menjadi Salim, yang bernama keluarga Tan direvisi jadi Tanu, dan seterusnya.

Itulah kilasan situasi latar belakang film The Photograph yang berseting kawasan kota tua, Pecinan (sepanjang film tak pernah disebutkan nama kotanya, selain daripada kota besar, namun keseluruhan lokasi syutingnya dilakukan di Semarang). Peristiwanya pun tak dijelaskan dengan gamblang terjadi pada masa kapan, cuma diperkirakan sekitar era 1960-1970-an, dengan menilik pada model busana dan segala peralatannya (belum ada ponsel dan kamera digital misalnya).

Tokoh utama prianya, seorang lelaki Tionghoa tua, Johan Tanujaya, yang berprofesi tukang potret. Lelaki yang tinggal menyendiri ini dipandang sebagai orang yang tak gaul dan rada aneh oleh para tetangga.

Terseok-seok

Johan mempunyai Roemah Foto Tan, studio yang menyatu dengan kediamannya, namun setiap pagi terseok-seok dengan sepeda-reyotnya membawa peti peralatannya ke dekat pasar, untuk membuka dagangan di kaki lima pinggir jalan. Memasang foto-foto di tembok serta layar (termasuk panorama Tembok Besar) untuk latar pemotretan. Jelas lokasi ini telah dipakainya berpuluh tahun melihat bekas penempatan foto-fotonya di dinding.

Tokoh utama wanitanya, Sita, penyanyi di sebuah bar karaoke murahan yang terkadang juga merangkap menjadi wanita penghibur demi mendapatkan uang untuk anak dan neneknya yang sedang sakit di desa. Sita terus diperas Suroso, germo yang membawanya ke kota. Bahkan pernah Sita diumpankan Suroso kepada beberapa lelaki mabuk yang memperkosanya dengan semena-mena.

Dalam upaya melepaskan diri dari Suroso, Sita kabur dan menyewa sebuah kamar sempit kotor berdebu yang dihuni kecoa di loteng studio Johan. Karena tak mempunyai uang untuk membayar, Sita bersedia bekerja sebagai babu Johan yang membantu mengerjakan apa saja. Dari celah di lantai papan kamar, Sita mengintai gerak-gerik induk-semangnya di ruang bawah.

Ada sebuah peti besar di kolong altar, meja sembayang. Johan melarang keras Sita menyentuhnya. Tapi seperti sudah bisa diduga, Sita pasti akan nekad membuka peti misterius itu, untuk mengetahui apa isinya yang mengungkapkan kekelaman masa lalu Johan.

Ketika Suroso berhasil memergoki Sita dan ingin memaksanya kembali, dalam kerentaannya Johan masih mampu menghajar si germo dengan sepotong balok kayu sampai terbirit-birit.

Setiap pagi, Sita mengamati rutinitas Johan yang selalu berdoa di rel kereta api. Menyuguhkan apel dan jeruk serta membakar hio, untuk arwah anak-istrinya. Perkembangan watak Sita terlihat jelas, karena di awal cerita, ia pernah mencomot sebuah apel sesajen saking kelaparan, namun di akhir film ia malah melanjutkan tradisi menyuguhkan bebuahan itu dan mengusir bocah-bocah yang hendak mencurinya. Kelak terungkap, anak-istri Johan tewas ditabrak kereta api ketika mereka berupaya mencegah kepergiannya.

Pada film The Photograph, Johan muda pun mengabadikan banyak peristiwa, termasuk kejadian tragis dan memilukan. Ia memotret potongan lengan, tungkai kaki, dari korban-korban tertabrak kereta api. Tapi bagaimana ketika tiba-tiba ia menyadari para korban adalah keluarganya sendiri, yang terdekat bahkan? Suatu adegan yang menohok jantung, mengejutkan, sungguh lebih horor daripada film setan-setanan lokal!

Lewat kamera kuno, Johan memang merekam berbagai peristiwa yang terjadi, termasuk beragam kebudayaan Tionghoa seperti kremasi, membakar berbagai barang kiriman untuk mendiang di alam baka. Menyadari usianya sudah tak lama lagi dan tubuh kian digerogoti penyakit, Johan ingin mencari seorang lelaki untuk menjadi pengganti sekaligus penerusnya.

Sita pun membantunya menempelkan kertas plakat mencari asisten pemotret yang mau bekerja tanpa dibayar selain makan belaka.

Dalam segmen menguji barisan pelamar inilah, suasana yang semula muram-suram mendadak berubah bagai panggung dagelan Srimulat karena masuknya sejumlah bintang tamu popular, termasuk si centil Nicholas Saputra (saking cantiknya sampai penggemar beratnya pun bisa pangling) dan Indra Bekti dengan lelucon mata buta warnanya (sungguh lebih lucu daripada lawakan-lawakan kasarnya di panggung dan televisi).

Dari sekian banyak calon tiada yang sreg. Termasuk seorang tentara yang dipecat karena menembak komandannya sendiri. Ternyata mantan tentara ini tak bisa memfokuskan mata ! Hanya dalam adegan pengakuan mantan tentara inilah, penonton melihat Johan tak mampu menahan tawa.

Ketika tubuh renta Johan membuatnya tak mampu lagi datang ke kaki lima, Sita pun berupaya mencari uang, termasuk dengan cara menjual pigura-pigura foto. Kerinduan Johan untuk pulang naik kapal ke tanah leluhur, terbayang ketika ia minta ditemani Sita naik kereta api ke pelabuhan. Johan belum ikhlas meninggalkan dunia dan tak punya muka untuk berkumpul dengan anak-istri serta leluhurnya di akhirat sebelum menunaikan tugas dan kewajiban yang terakhir.

Sebagai seorang Tionghoa, penganut kepercayaan Khong Hu Cu lagi, Johan merasa berdosa bila tak mempunyai keturunan untuk melanjutkan marga Tan. Dosanya bertambah karena ia juga belum mewariskan keahliannya sebagai fotogafer kepada seorang murid lelaki yang kelak diharapkan meneruskan pekerjaannya. Pada akhirnya, Johan memang mesti pasrah mempercayai Sita untuk mengabadikan potret terakhirnya.

Kaliber Festival Dunia

Berperan sebagai Sita adalah penyanyi yang juga aktris berbakat besar, Shanty (sesudah debutnya ini, film-filmnya belakangan; Berbagi Suami, Kala, dan Maaf, Saya Menghamili Istri Anda, malah mendahului beredar). Lihat saja, adegan penutup ketika Sita naik perahu dan menaburkan abu ke laut. Mengharukan.

Sementara untuk berperan sebagai Johan mesti "diimpor" aktor watak dari Singapura, Lim Kay Tong, yang sungguh mesti diacungi jempol kebolehan aktingnya! Prestasi aktor teater ini, sudah mendukung lebih dari 30 judul film, bukan cuma buatan Singapura, tapi juga produksi Hong Kong dan Amerika.

Sebagai seorang Tionghoa Singapura, Lim sebenarnya cukup menguasai Bahasa Melayu. Namun dialog untuknya memang hemat, sesuai karakternya yang introvert lagi pendiam. Bahasa tubuh dan tatap matanya sudah cukup mewakili.

"Johan itu tertutup, ia menyimpan banyak hal dalam dirinya. Kedatangan Sita mulai membuka dirinya yang menyembunyikan penderitaan besar, membenci diri sendiri, dan merasa bersalah. Saya menyukai Johan karena ia begitu kompleks. The Photograph adalah sebuah film yang tenang dan sangat indah, tidak menyentak, jadi saya pikir film ini punya tempat di festival-festival film global," ujar Lim.

Didukung oleh para pemeran pembantu seperti Lukman Sardi (sebagai si germo Suroso), Indy Barends (Mbak Rosi), dan Indra Birowo (yang hasil foto pengantinnya out focus semua).

Cerita dan skenario ditulis sutradaranya sendiri, Nan, dibantu Titien Wattimena yang memberikan atmosfer kedalaman, tidak seperti biasanya film Indonesia yang sangat dangkal. Tata kamera dipimpin Yadi Sugandi yang memamerkan gambar-gambar antik mengesankan, bekerja sama dengan Penata Artistik Men Fo yang cermat teliti.

Tata musik digarap Aksan Sjuman, serta penyuntingan oleh editor andal Sastha Sunu (yang mengerjakan 8 dari 10 film nasional pilihan per tahun!). Paduan kerja sama kompak para pakar di bidangnya masing-masing yang membuat film ini secara teknis nyaris sempurna. Setiap gambar, dialog, gerak para tokohnya, mengandung arti mendalam.

Pada hakekatnya perjalanan untuk mewujudkan pembuatan film ini sangat panjang. Berawal pada tahun 2002 ketika Nan meraih Prince Claus Fund (dari Cinemart, Rotterdam) dan Goteborg Film Fund (Pusan, Korea), untuk pengembangan penulisan skenarionya. Proses syutingnya baru dapat dilakukan setelah mendapatkan dana dari Fond Sud Prancis (2005) dan Swiss Fund di Open Doors Locarno Film Festival 2006.

Ide ceritanya terilhami ketika Nan bersama Paquita Widjaja (mitra kerjanya) menyambangi Soetomo Gandasubrata, dosen sinematografinya di Fakultas Film dan Televisi IKJ yang terbaring sekarat. Pak Tom punya keinginan terakhir, "Jika Tuhan memberi saya satu tahun lagi untuk hidup, saya ingin menyelesaikan buku tentang sinematografi untuk mahasiswa film."

Namun kamerawan kawakan pemenang tiga piala Citra itu keburu dijemput ajal (1926-1997). Hasrat meninggalkan sesuatu yang dapat berguna bagi generasi berikutnya dari pekerja film Indonesia itulah yang membuahkan kesan bagi Nan.

"Apa yang akan saya lakukan jika hanya memiliki beberapa bulan lagi untuk hidup? Apa ide saya tentang penutup dari kehidupan? Bagi Johan, adalah membuat foto diri. Suatu citra yang mengabadikan dirinya sebagai peserta kehidupan dan fakta bahwa hal tersebut dilakukan oleh orang yang paling tidak diharapkan, tetapi justru kemudian menjadi sangat penting," ujar Nan.

Sungguh, menonton film ini serasa menikmati karya seni Zhang Yimou (seperti Ju Dou, Raise the Red Lantern, Red Sorghum, dan The Story of Qiu Ju).

Bravo buat Nan Achnas serta duo produser; Paquita dan Shanty Harmain. Nan telah berhasil memotret hubungan antar manusia dengan latar belakang identitas, kepercayaan, ras, budaya yang berbeda-beda namun perbedaan itu hadir dan berinteraksi secara alami dalam keseharian kehidupan.

Sebuah film yang indah dan penting untuk ditonton oleh kalangan Tionghoa pada khususnya dan siapa pun penggemar seni film sejati pada umumnya. Sayangnya, aku pesimis karena rasanya mereka yang datang menonton The Photograph di bioskop tidak terlalu tahu mengenai masalah Hoakiauw, sebaliknya yang tahu mengenai masalah Hoakiauw bukanlah penggemar film!

Akhirnya mau tak mau mesti diakui, film ini memang bukan termasuk kategori komersial namun diharapkan mampu berkiprah serta ikut mengharumkan nama Indonesia dalam festival-festival kelas dunia internasional. [Yan Widjaya, pengamat film]

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...