Realitas Politik Islam di era Khilafah Rasyidah

Sebaik-baik masyarakat yang pernah ada dalam sejarah adalah masyarakat dibawah kepemimpinan Rasulullah saw (‘ahd al-nubuwwat). Masa tersebut tidak akan pernah bisa terulang vis a vis karena tidak akan pernah ada rasul lagi setelah Rasulullah Muhammad saw. Namun bagaimanapun juga, masyarakat tersebut harus dijiplak karena Rasulullah saw dalam segala hal merupakan uswah bagi umatnya sepanjang zaman. Generasi yang telah berhasil menjiplak manhaj masyarakat Nabi ialah generasi khilafah rasyidah, dibawah kepemimpinan para khalifah yang disebut sebagai al-khulafaa’ al-rasyidun (para khalifah yang mendapatkan petunjuk; kata khalifah sendiri dalam konteks ini bermakna para pengganti kepemimpinan Rasul). Karena itu, dalam hadits futuristik, kepemimpinan ini disebut sebagai al-khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah. Masyarakat yang terakhir disebut ini merupakan generasi terbaik sesudah generasi kenabian, dan sekaligus merupakan patron atau model masyarakat yang ingin diwujudkan oleh umat Islam untuk yang kedua kalinya sebagaimana telah disebutkan dalam hadits futuristik tentang fase-fase umat Islam.

Karena khilafah rasyidah merupakan patron bagi umat Islam, maka umat Islam perlu memahami segenap karakteristiknya, mulai dari bagaimana ia terbentuk, memapankan diri, mengembangkan diri, dan sebagainya.

Pertama, sebagaimana diketahui, khilafah rasyidah telah dipimpin oleh para khalifah yang kesemuanya merupakan al-sabiqun al-awwalun sekaligus kader-kader inti, yakni orang-orang yang telah dibina oleh Nabi dalam kurun waktu yang sangat lama ditengah-tengah berbagai fitnah yang menghadang. Nabi saw telah dengan begitu baik melakukan kaderisasi, sehingga ketika beliau harus menemui al-rafiq al-a’la, telah siap para kader yang siap menggantikan beliau. Betapa mantapnya kaderisasi ini, bahkan Nabi tidak merasa perlu menetapkan secara tegas dan mutlak orang atau sekelompok orang yang harus menggantikan kepemimpinan beliau. Dan telah terlihat pula, bagaimana para sahabat telah mengangkat para khalifah dengan cara-cara yang terbaik, yang mencerminkan manhaj kenabian.

Kedua, terbentuknya khilafah rasyidah tidaklah bermula dari nol. Kekhalifahan ini hanya tinggal meneruskan masa yang lebih baik yang telah mendahuluinya, yakni masa kenabian (namun bukan berarti tegaknya khilafah rasyidah ini tanpa tantangan, karena sebagaimana diketahui bahwa diawal kekhalifahan ini telah muncul berbagai fitnah, antara lain gelombang kemurtadan besar-besaran). Oleh karena itu, jika kita ingin memahami bagaimana khilafah rasyidah bisa tegak maka pertanyaan kita harus dialihkan pada bagaimana Masyarakat Madinah bisa tegak. Jika kita melakukan telaah secara teliti, kita akan melihat bahwa :

1. Perjuangan untuk menegakkan Negara Madinah dilakukan dengan tahapan-tahapan yang sangat tepat. Syaikh Munir Al-Ghadban misalnya merinci tahapan-tahapan itu atas 1) tahapan sirriyat al-da’wah sirriyat al-tanzhim, 2) tahapan jahriyat al-da’wah sirriyat al-tanzhim, 3) tahapan jahriyat al-da’wah jahriyat al-tanzhim. Sebagian ulama, sebagai misal yang lain, merinci tahapan-tahapan itu berdasarkan bentuk jihad yang dilakukan : yakni 1) tahapan menahan diri dan bersabar, 2) tahapan diijinkannya berjihad, 3) tahapan kewajiban berjihad jika diserang, 4) tahapan kewajiban berjihad untuk memerangi seluruh kaum musyrik yang menghalangi tegaknya dakwah dan risalah Islam. Ada juga yang membagi tahapan-tahapan itu berdasarkan materi wahyu, yakni : 1) tahapan penguatan aqidah dan nilai-nilai universal, 2) tahapan formasi dan penyempurnaan syariat serta syiar-syiar Islam.

2. Dari poin 1 diatas, kita melihat bahwa Nabi tidak melakukan dakwah Islam secara tergesa-gesa. Namun beliau juga tidak melakukannya dengan menunda-nunda. Secara umum hal itu bisa kita lihat dari berhasil ditegakkannya Negara Madinah hanya setelah tiga belas tahun berdakwah, dan berhasil disempurnakannya hanya dalam waktu sepuluh tahun saja (indikasi terkuatnya adalah hilangnya sama sekali ancaman komunitas Yahudi atas Negara Madinah). Beliau juga senantiasa cerdik dalam memanfaatkan berbagai momen yang muncul. Misalnya, ikut berpartisipasi dalam Hilf al-Fudhul untuk menegakkan nilai-nilai keadilan yang bersifat universal, memanfaatkan kebaikan hati Raja Najasyi untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan, memanfaatkan momen haji dan pasar raya ‘Ukaz untuk negosiasi dengan tokoh-tokoh mancanegara, dan sebagainya. Kita juga melihat bahwa ketika suatu strategi harus diterapkan pada saatnya, maka tidak boleh ada kata mundur atau menunda, meskipun banyak yang tidak menyukainya dan belum siap (misalnya ditetapkannya mulai berperang).

3. Nabi telah melakukan strategi-strategi dakwah terbaik yang senantiasa berorientasi untuk kemaslahatan dakwah jangka panjang, meskipun secara jangka pendek kelihatan merugikan. Contoh yang paling jelas adalah hijrah ke Habasyah untuk mendapatkan keamanan, peristiwa Hudaibiyah untuk memperluas ruang gerak dakwah, dan hijrah ke Madinah untuk memantapkan basis dakwah.

4. Nabi tidak segan-segan menjalin kerjasama, kesepakatan bersama, dan koalisi dengan pihak-pihak luar jika memang hal itu mendatangkan maslahat terbaik bagi dakwah. Sebagai contoh, beliau telah melakukan kesepakatan bersama dengan komunitas Ahlul Kitab serta yang lainnya yang tertuang dalam Piagam Madinah dalam rangka menjaga stabilitas Negara Madinah. Beliau juga telah menggalang koalisi dengan berbagai negara tetangga dalam rangka menghadapi serangan negara-negara sekutu atas Negara Madinah dalam Perang Ahzab.

5. Nabi dengan sangat pandai dan bijaksana telah memetakan potensi para pemuka masyarakat sehingga akan semakin menguatkan stabilitas, daya gerak, dan daya jangkau dakwah. Nabi sekali-kali tidak pernah mematikan potensi mereka hanya dengan alasan “pemutihan” atau “masih baru”. Beliau bahkan berkata,”Sebaik-baik kalian pada masa jahiliyah adalah juga sebaik-baik kalian pada masa keislamannya jika ia memiliki kepahaman”. Abu Sufyan ra yang sejak awal merupakan pemuka kaum telah beliau beri posisi yang tepat dan terpandang ketika masuk Islam saat Fathu Makkah. Demikian pula putranya, Muawiyah ra yang cerdas dan terpelajar, yang telah beliau angkat menjadi salah satu sekretaris beliau. Beliau sangat memperhatikan aspek the right man in the right job, sampai-sampai ada juga sahabat-sahabat yang paling beliau cintai dan termasuk rombongan awal dakwah, tetapi justru dilarang untuk memegang posisi-posisi kekuasaan (misalnya Abu Dzar Al-Ghifari). Namun pada saat yang sama, kita pun melihat bahwa posisi-posisi kunci selalu beliau amanahkan kepada kader-kader terbaik diantara as-sabiqun al-awwalun.

Ketiga, pembentukan kepemimpinan pada masa khilafah rasyidah telah dilakukan dengan cara yang paling elegan, yang telah dituntunkan oleh Islam. Tidak dengan cara monarkis, cara teokratis, cara demokrasi liberal – absolut, ataupun cara-cara lain yang tidak islami. Kekuasaan tetap bersumber dari ummat tetapi kedaulatan tertinggi tetap berada di tangan Al-Syari’ Allah swt. Abul A’la Al-Maududi menyebutnya sebagai kekuasaan teo-demokrasi.

Keempat, khilafah rasyidah telah dibangun diatas prinsip egaliterisme (al-musaawaah) dan keadilan yang merupakan perwujudan kalimat tauhid yang menafikan segala bentuk feodalisme dan kesewenang-wenangan.

Kelima, para khalifar pada masa khilafah rasyidah meyakini bahwa kepemimpinan atau kekuasaan mereka merupakan amanah, bahkan ujian, dari Allah swt. Sehingga, tidaklah pernah terlintas dalam benak mereka untuk bersikap aji mumpung dan adigang adigung adiguna. Justeru mereka merasa amat berat ketika harus memikul amanah kekuasaan. Implikasinya, mereka kemudian menjadi para penguasa yang tawadhu’ dan amat empatik terhadap rakyatnya.

Keenam, kepemimpinan khilafah rasyidah yang gilang gemilang tidak hanya ditentukan oleh para pemimpinnya saja, akan tetapi juga ditentukan oleh rakyatnya. Sebagaimana kita ketahui, baik para pemimpin maupun rakyat pada masa itu merupakan generasi terbaik yang biasa disebut sebagai al-salaf al-shalih. Nabi saw bersabda,”Sebaik-baik generasi adalah generasiku (yakni para sahabat), lalu generasi selanjutnya (yakni para tabi’in), lalu generasi selanjutnya (yakni para tabi’ut tabi’in). Cukup menarik pula jika kita cermati pernyataan Ali bin Abi Thalib ra ketika ditanya tentang konflik hebat yang terjadi pada masa beliau : “Dahulu kondisinya baik-baik saja karena rakyatnya adalah orang-orang seperti aku, dan sekarang kondisinya seburuk ini karena rakyatnya adalah orang-orang seperti kalian”.

Ketujuh, rakyat pada masa khilafah rasyidah adalah masyarakat terbaik yang memiliki tradisi amar ma’ruf nahy munkar yang amat kuat dan giat berpartisipasi dalam urusan bernegara. Mereka bukanlah masyarakat yang cuek bebek terhadap masalah-masalah politik dan bernegara. Mereka adalah generasi yang pernah diingatkan oleh Nabi bahwa jika mereka melupakan atau melalaikan jihad untuk berpaling pada kenikmatan dunia maka mereka akan ditimpa kehinaan yang sangat besar.

Kedelapan, khilafah rasyidah merupakan tatanan masyarakat dan negara yang dengan gigih telah meneruskan tugas dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Sepeninggal Nabi, tidak kemudian dakwah menjadi stagnan. Tetapi sebaliknya, dakwah semakin progresif. Para sahabat dengan penuh kesadaran berpencar – dan tidak malah asyik berkumpul saja – ke seluruh penjuru bumi yang sanggup mereka jangkau untuk menjadi para pelopor dakwah. Pada masa Abu Bakar ra, ekspansi dakwah memang kurang optimal karena beliau harus berkonsentrasi pada penciptaan stabilitas dalam negeri. Tetapi pada masa Umar ra, ekspansi dakwah telah berlangsung amat hebat, dilanjutkan pada masa Utsman ra, dan seterusnya.

Kesembilan, para khulafa’ rasyidun merupakan orang-orang yang kreatif dan terbuka terhadap perubahan dan perkembangan kemajuan zaman, tetapi iltizam mereka terhadap doktrin Islam sangatlah hebat dan tidak perlu diragukan. Dengan karakter seperti itu, mereka telah mampu membangun instrumen bermasyarakat dan bertata negara yang sangat canggih untuk ukuran masa itu. Sebagai contoh, Umar ra telah mempelopori berbagai kebijakan baru seperti pembentukan angkatan bersenjata yang digaji, pemberdayaan baitul mal, dan sebagainya, dalam rangka menghadapi tantangan zaman kala itu. Jadi, mereka bukanlah orang-orang yang jumud, picik pandangan, dan paranoid terhadap perkembangan zaman.

Kesepuluh, pada masa khilafah rasyidah, Islam benar-benar telah menjadi ustadz al-‘alam, dan hal ini semakin nampak setelah dua imperium terbesar di dunia saat itu – Romawi dan Persi - ditaklukkan oleh Islam.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

http://menaraislam.com/

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...