Patriotisme Tionghoa Pasca Stateless

Patriotisme Tionghoa Pasca Stateless

submitted by : RM Danardono HADINOTO

Oleh: ACHMAD FAUZI / Indonesia Media

Warga Tionghoa yang berstatus stateless di Metropolis bisa bernafas lega. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Andi Matalatta secara resmi menyerahkan sertifikat kewarganegaraan kepada 139 stateless di Ballroom Hotel Shangri-La Surabaya (Metropolis,
10/4). Ini adalah wujud kepedulian pemerintah terhadap warganya sekaligus pembelaan rezim terhadap komunitas kecil yang dalam sepanjang sejarah menjadi objek diskriminasi. Setelah lebih setengah abad ber-Pancasila, rezim menyadari bahwa distingsi sosiologis antara pribumi dan peranakan secara empiris-historis sudah tidak relevan lagi. Apalagi secara genealogis nenek moyang Indonesia berasal dari Mongol yang juga ras asal orang China. Ini menegaskan bahwa orang Indonesia dan Tionghoa berasal dari ras yang sama.

Pasca penyematan status sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), warga Tionghoa di Metropolis punya tanggungjawab besar dalam membangun, membela, dan mempertahankan Indonesia dari segala potensi munculnya disintegrasi. Patriotisme tidak cukup dibuktikan dengan penghormatan kepada bendera merah putih di setiap upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan. Warga Tionghoa bukan sebagai komunitas pasif, melainkan mempunyai tugas menjaga persatuan dan kesatuan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Karena nasionalisme dan patriotisme dibangun berdasar Indonesia multikultural, maka segala identitas peradaban, etnik,
budaya maupun agama yang dimiliki harus diolah secara produktif untuk menghindari konflik rasial yang dapat merusak keutuhan bangsa. Warga Tionghoa juga berkewajiban sebagai penghantar yang baik dalam konteks kerjasama ekonomi, pendidikan dan budaya, antara Indonesia-China.

Kehadiran UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah mengubah banyak hal, terutama menyangkut hajat hidup warga Tionghoa. Apalagi dalam perumusannya telah mengakomodasi dua asas sekaligus, yakni ius soli (menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran) dan ius sanguinis (didasarkan pada garis keturunan ayah). Tidak seperti peraturan sebelumnya yang hanya menganut asas ius sanguinis, sehingga banyak merugikan mayoritas peranakan Tionghoa. Bayangkan saja, lantaran tidak punya KTP, KK atau Akta Kelahiran, hak-hak warga Tionghoa untuk menikah, mengurus rekening di Bank, melamar kerja, maupun sekadar bepergian ke luar kota menjadi tidak terpenuhi.

Fenomena ini sangat kontradiktif dengan kultur asli Indonesia, tapi karena hipokrisi pada kekuasaan, segala hal bisa terjadi. Mudah- mudahan setelah berstatus WNI, warga Tionghoa di Metropolis dengan mudah mengurus dokumen kependudukan, terutama KTP. Apalagi, pada Mei 2008, penerapan sistem pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan sidik jari di Metropolis sudah dimulai. Program penambahan data sidik jari di data base tersebut mempersyaratkan KTP dan KK.

Miris rasanya menyimak pengalaman pahit warga Tionghoa di Metropolis sebelum mendapat status kewarganegaraan Indonesia. Segala hal ihwal yang semestinya dapat ditempuh dengan mudah, seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, namun karena minimnya dokumen kependudukan yang dimiliki, akhirnya harus menghadapi proses birokrasi yang berbelit-belit dan memakan biaya. Mungkin bagi mereka yang berasal dari keluarga mampu secara ekonomi, hal semacam itu adalah mudah. Namun bagi warga Tionghoa yang sehari- harinya hanya berjualan krupuk akan menjadi kendala besar. Dan satu-
satunya jalan adalah pasrah pada nasib.

Oleh karena itu, saya berharap jika di kemudian hari masih ada pejabat kependudukan yang menjadikan warga Tionghoa sebagai objek eksploitasi, agar Menkum dan HAM menindak tegas. Bukan hanya menjatuhkan sanksi administratif tetapi juga sanksi pidana. Kedua, perlu adanya kesadaran kolektif dari komponen civil society tentang makna pluralisme sehingga melahirkan paradigma SARA yang lebih realistis dan apresiatif terhadap keragaman. Ketiga, perlunya
revitalisasi peranan lembaga sosial seperti Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia (PSMTI) sebagai saluran aspirasi bagi etnik Tionghoa yang selama ini jeritannya kurang begitu didengar. Mereka bisa memberikan pressure kepada pemerintah manakala bertindak sewenang -wenang dan mengeluarkan kebijakan opresif terhadap warganya.

Munculnya politik kependudukan Belanda yang didasarkan pada doktrin divide et impera yang kemudian diwariskan kepada rezim Orde Baru, salah satunya disebabkan oleh melempemnya gerakan sosial dan politik warga Tionghoa. Sehingga mereka tidak bisa memberikan pressure
maksimal terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Akibatnya, warga Tionghoa yang seharusnya berbaur akrab dan harmonis dengan warga lainnya, akhirnya menjadi komunitas eksklusif dan selalu menjadi sasaran pemberangusan. Termasuk gerakan politik anti China
yang terjadi pada rezim Orde Baru diakibatkan oleh hegemoni penguasa yang terlalu otoriter.

Salah satu politik yang memiliki implikasi besar dalam politik kependudukan Belanda adalah penerapan pass and zoning system. Sistem ini memaksa orang Tionghoa untuk tinggal dan beraktifitas di kawasan yang hanya dihuni oleh golongannya saja (wijkenstelsel), sehingga
lahirlah komunitas pecinan. Pemusatan pemukiman orang Tionghoa yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No 57 ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Di Surabaya, tempat yang ditunjuk adalah di sebelah timur Jembatan Merah, daerah di sepanjang aliran Sungai Mas seperti Kapasan, Kembang Jepun, Panggoeng, Songoyudan, Bibis, dan Bongkaran.

Politik kependudukan Belanda tersebut betul-betul menjadi mesin yang melahirkan disintegrasi. Oleh karena itu, langkah pemerintah untuk memutus mata rantai kultur kolonialisme, patut dipuji. Begitupun gerakan sosial Biao Wan, srikandi Tionghoa yang getol memperjuangkan
hak-hak warga Tionghoa di Metropolis, juga layak diapresiasi. Dengan status kewarganegaraan yang baru disandang, tentunya membuat semangat patriotisme warga Tionghoa lebih terfokus. Jiwa-jiwa Indonesiawi yang sejak kecil telah mengakar dalam lingkup keluarga menjadi modal dasar untuk mengembalikan Indonesia ke wajah aslinya, yakni Negara yang plural, santun, dan bermartabat.

submitted by : RM Danardono HADINOTO
Oleh: ACHMAD FAUZI
/ Indonesia Media

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...