Mengapa Selalu Perempuan Yang Di Exploitasi ?


KATA eksploitasi dan perempuan memang tidak memiliki kaitan dari segi pengertian. Namun kata eksploitasi kiranya sangat erat dengan kehidupan perempuan, jika dikaitkan gemerlap kehidupan di tempat-tempat hiburan malam.

“Eksploitasi Perempuan dan Tempat Hiburan Malam di Banjarmasin”, merupakan topik hangat yang dibahas dalam Seminar Hukum Faktual yang diselenggarakan belum lama tadi di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

Perempuan dengan segala keindahannya, di kota manapun di negeri ini begitu juga di Banjarmasin, dieksploitasi menjadi bintang iklan, artis, peragawati, sales promotion girl (SPG), umbrella girl (gadis yang memayungi para pembalap), cheerleader (pemandu sorak pada perlombaan olahraga) dan ringcard girl (gadis pembawa papan ronde pada pertandingan tinju), public relation hingga profesi sebagai pelobi. Bahkan, lebih menyedihkan menjadi pemuas laki-laki di tempat-tempat hiburan malam dan lokalisasi. Mereka dimanfaatkan hanya karena kecantikannya, bukan sebagai manusia utuh yang mempunyai iman, harkat, martabat, ilmu pengetahuan, dan kecerdasan.

Di sisi lain, melalui berbagai media dibentuk opini bahwa standar kecantikan perempuan adalah mereka yang bertubuh tinggi, ramping, berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru. Para perempuan pun berlomba-lomba ingin tampil cantik, hingga melakukan diet ketat agar ramping, menggunakan berbagai krim pemutih, mencat rambut menjadi pirang dan menggunakan lensa kontak warna. Bahkan tidak jarang melakukan operasi plastik untuk memperbaiki bagian tubuh yang dirasakan kurang sempurna.

Uniknya, para desainer pakaian dan ahli kecantikan umumnya malah kaum lelaki. Mereka yang menentukan mode pakaian yang menarik untuk kaum perempuan dan jenis kosmetik apa yang sesuai untuk mempercantik tubuhnya. Artinya laki-laki yang menentukan apa yang cantik menurut mereka, dan para perempuan membelanjakan uangnya untuk pakaian dan kosmetik guna mempercantik dirinya. Muaranya, laki-laki lah yang menikmati kecantikannya. Bukankah ini juga salah satu bentuk eksploitasi terhadap perempuan?

Kebanyaknya kaum perempuan justru tidak sadar bahwa dirinya dieksploitasi. Anehnya, ada yang dengan senang hati ‘mau’ dieksploitasi. Seperti yang ditulis Effendi Ghazali di sebuah portal berita. “Seringkali wanita merasa tidak ada eksploitasi atas dirinya. Saya suka mengatakan wanita yang mau dieksploitasi adalah pelengkap penderita yang berbahagia. Eksploitasi itu pasti ada.”

Tentang tempat hiburan malam (THM) di Banjarmasin, tidak pernah lepas dari masalah. THM memang dibangun untuk memberikan hiburan, namun kata hiburan dalam konotasi modern bisa berarti ‘hiburan yang macam apa saja yang penting bikin senang’. Tidak peduli hiburan itu bertentangan dengan hukum syara’ dan kaidah moral masyarakat pada umumnya.

Standar THM di manapun termasuk di Banjarmasin mengacu pada standar Internasional. Berkiblat pada negara-negara post modernist dimana minuman keras, musik, dan perempuan merupakan item dasar yang wajib ada di sebuah THM. Belum lagi item-item lain yang hampir tidak pernah ketinggalan mewarni THM seperti narkotika, obat bius, bahkan senjata api.

THM merupakan surga bagi bisnis-bisnis ilegal, prostitusi, pencucian uang, penyelundupan, dan segala yang tidak benar namun menguntungkan. “Sarang penyakit masyarakat”, itulah sebutan kebanyakan masyarakat tentang THM.

Berlandaskan sekularime dan liberalisme yang berbungkus demokrasi, THM menjadi sesuatu yang sah-sah saja dan tidak dapat diganggu gugat keberadaannya. Bagaimana kita sanggup meniadakan THM sedangkan mereka adalah penyumbang pajak dan retribusi terbesar dan paling taat. Situasi ini yang membuat THM menjadi makin disayang oknum-oknum pemerintah tanpa peduli masyarakat sudah sedemikian resah.

THM merupakan wujud dari hedonisme budaya yang sukses diterapkan di Indonesia diantaranya liberalisasi industri media dan hiburan. Segalanya disetting untuk terlepas dari norma. Bahkan organisasi dunia macam WHO begitu menghegemonikan pentingnya ‘kondomisasi’ yang sama artinya menggalakkan seks bebas. RUU APP yang sejatinya dibentuk melindungi harkat dan martabat perempuan justru ditentang habis-habisan.

Begitulah budaya barat, dengan alasan mengangkat derajat perempuan dengan cara memberikan kebebasan kepada perempuan. Tapi, sebetulnya mereka menjerumuskan perempuan ke dalam kehinaan. Gustav Le Bonn dalam bukunya, La Civilasation des Arabes (hlm. 428), menulis, “Dari orang-orang Islam di Arab-lah penduduk Eropa mengadopsi sifat menghormati perempuan, sebagaimana dari orang-orang Arab pula mereka mempelajari kecakapan memacu kuda.”

Islam mengajarkan bagaimana memperlakukan perempuan secara mulia. Ini berbeda dengan perlakuan tentara Eropa waktu itu yang kasar sekali terhadap perempuan. Le Bonn menambahkan, kepentingan perempuan dalam kemajuan (civilization) bangsa Islam di Arab nyata dilihat dengan mengetahui jumlah kaum perempuannya yang terkenal dengan keluasan ilmu dan pengetahuannya.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Eropa saja saat itu justru berkiblat pada Arab (Islam), namun kenapa sekarang kita (Muslim) justru berkiblat ke Eropa. Pantas saja jika negeri ini menjelma menjadi negeri yang tidak bisa memuliakan perempuan. Sudah saatnya kembali pada manhaj Islam sesungguhnya, agar negeri ini terhindar dari segala bencana dan keterpurukan.

Oleh: Widiya Ayu Rekti
Aktivis An-Nisa KSI Al-Mizan FH Unlam

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...