Mayat Awet dengan Plastik

Aula California Science Center mendadak berganti rupa bak galeri seni yang dipenuhi patung manusia bergaya seperti atlet. Ada yang berpose sedang memanah, pelari halang rintang, pebasket, bahkan perempuan sedang berlutut. Memang tampak aneh karena semuanya tak ada yang memiliki kulit, tapi jangan salah, semua figur itu adalah manusia asli.

Pakar anatomi Jerman, Gunther von Hagens, sengaja memamerkan jasad manusia yang telah diawetkan lewat proses plastination yang telah dipatenkannya tersebut. Dalam pameran "Body Worlds 3 & The Story of the Heart" di California Science Center di Los Angeles, Amerika Serikat, itu, Hagens mempertunjukkan lebih dari 200 mayat yang telah dikuliti epidermisnya sehingga daging dan jaringan ototnya terlihat jelas.

Tak seluruh jasad dikuliti habis, beberapa masih memiliki sepotong kulit, kuku, atau alis. "Saya ingin setiap orang mengetahui keindahan itu lebih dalam daripada sebatas kulit," kata doktor dari University of Heidelberg itu.

Lewat proses plastination yang dikembangkannya, Hagens mengawetkan mayat manusia dengan memasukkan plastik solid sebagai pengganti cairan tubuh alami, seperti air, darah, dan lemak. Tak sekadar mengawetkan jaringan tubuh, plastination juga memberikan ketegaran, yang memungkinkan mayat dan organnya dipertontonkan dalam sebuah pameran tanpa pengunjung harus menutup hidung dari sengatan bau formalin. Mayat juga tampil utuh, sama sekali tidak kering keriput atau perlu bermeter-meter kain seperti mumi.

Melalui jasad yang telah melalui proses plastination, Hagens menyebutkan plastinates, pria berusia 63 tahun itu ingin memperlihatkan keindahan tubuh manusia sampai ke organ dalamnya. Dia juga ingin orang mau mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat dengan memperlihatkan bagaimana rokok dan minuman keras bisa merusak tubuh.

Beberapa pengunjung pameran memang berhenti merokok setelah melihat perbandingan paru-paru off-white orang yang tidak merokok dengan paru-paru perokok yang dipenuhi bintik hitam gelap. "Orang bisa melihat struktur dan fungsi tubuh yang sehat dan tidak," ujarnya.

Meski begitu, ada satu figur yang membuat beberapa orang bergidik, yaitu potongan janin dari usia yang bervariasi, mulai dari sesaat setelah pembuahan sampai 32 pekan. Pertumbuhan mulai dari cuma bintik kecil sampai menyerupai bayi mungil bisa terlihat jelas.

Pameran yang mempertontonkan mayat ini jelas memancing kontroversi dan perdebatan panjang soal batasan moralitas, seni, dan ilmu pengetahuan. Pemuka agama juga melancarkan kritik karena pertunjukan ini dianggap tidak etis dan terlalu eksplisit bagi anak-anak. Bahkan ada yang menjuluki pria yang selalu mengenakan topi fedora itu sebagai Dr Frankenstein. Namun, hal itu sama sekali tak menyurutkan niat Hagens untuk meneruskan kegiatannya, membantu orang memahami fungsi tubuhnya.

Tak cuma cercaan, Hagens juga harus berhadapan dengan para penegak hukum. Pertengahan April lalu, polisi Jerman dan petugas bea-cukai yang berjumlah 120 orang menggeledah fasilitas tempat Hagens mengawetkan jenazahnya di Heidelberg dan Guben. Mereka mencurigai adanya orang asing yang dipekerjakan secara ilegal di sana sejak 2005.

Hagens juga pernah dituduh melakukan perdagangan mayat secara ilegal. Jasad yang dipamerkannya diduga berasal dari para narapidana, tunawisma, dan orang sakit jiwa yang tidak punya keluarga sehingga tak ada yang mempertanyakan jenazahnya ketika mereka meninggal.

Semua tudingan itu dibantah keras Hagens. Dia menegaskan semua pembelian spesimen dari koleksi rumah sakit atau museum dilakukan secara hati-hati untuk menghindari masalah etika. Dia juga menjual beberapa mayat yang didonasikan kepada institusinya setelah mengalami plastination selama setahun.

Semua jasad yang digunakan Hagens dalam pamerannya memang berasal dari sumbangan pribadi. Ketika mereka setuju menyumbangkan jenazahnya, ada klausul yang mengizinkan jasad itu dijual ke organisasi riset setelah plastination.

Penjualan plastinates ke berbagai universitas dan institusi pendidikan memang tak bisa dihindari. Ongkos untuk mengawetkan satu mayat dengan proses ini butuh biaya yang bervariasi, Rp 348,2-678,2 juta.

Meski dikritik habis-habisan, toh pameran itu selalu dipenuhi orang yang ingin tahu. Diperkirakan jutaan orang telah menyaksikan pameran Hagens. Di Jepang, tak kurang dari dua setengah juta orang berduyun-duyun mengunjungi pameran yang berlangsung sejak 1996-1998 itu. Di Berlin, dalam waktu kurang dari tujuh bulan, 1,4 juta orang juga memadati pameran itu.

Tak sekadar menyaksikan, jumlah orang yang bersedia menyumbangkan tubuhnya setelah meninggal untuk institusi Hagens juga terus meningkat. Sampai Januari 2008, daftar nama donasi tubuh di Institute of Plastination mencapai 8.244 donor hidup dari seluruh dunia. Dari jumlah itu, 7.076 orang adalah warga Jerman dan 659 orang Amerika. Sedangkan donor yang telah meninggal terdiri atas 538 warga Jerman dan 8 dari Amerika.

Eulinda Clarke-Akalann dari Sommerset, Inggris, menyatakan dia ingin mendonasikan tubuhnya karena takut dikubur hidup-hidup. "Saya merasa dengan melakukan hal ini saya bisa membantu memajukan riset medis dan memberikan pencerahan bagi banyak orang tentang tubuh manusia," ujarnya. Tempo

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...