Tionghoa Atau Cina, Di Era Reformasi

Di tengah eforia reformasi dan proses demokratisasi di Indonesia ada satu isu yang tak kalah gencarnya diperjuangkan, yaitu tuntutan sebagian anggota masyarakat etnis Cina untuk menghapuskan penggunaan istilah Cina dan menghidupkan kembali secara resmi istilah Tiongkok untuk Negeri Cina dan Tionghoa untuk mengacu pada bangsa dan keturunan Cina. Tuntutan itu timbul didasarkan pada asumsi bahwa istilah Cina dianggap sebagai kata yang digunakan untuk menghina, baik ke alamat Republik Rakyat Cina (RRC) maupun kepada kelompok etnik Cina atau yang sering juga diberi label menyesatkan ; keturunan atau nonpribumi --dua istilah yang hanya digunakan agar tidak menggunakan kata Cina. Tuntutan ini begitu menggebu, sehingga di kalangan beberapa pihak tertentu telah menimbulkan kesan bahwa itu telah melampaui proporsi yang layak.

Banyak pengalaman unik yang saya alami saya sehubungan dengan penggunaan istilah Cina itu. Pada setiap seminar, pertemuan, bedah buku, atau apa saja yang mengacu pada masyarakat keturunan Tionghoa, isu itu selalu muncul sebagai topik perdebatan. Beberapa waktu yang silam saya mendapat undangan untuk menghadiri sebuah acara peluncuran dan bedah buku yang mengupas tentang prasangka terhadap etnis Cina. Ketika tiba di tempat acara ruangan masih lengang karena hanya sekumpulan kecil peminat yang sudah hadir walaupun penitia penyelenggara, saya, dan pembedah sudah siap untuk memulai acara. Akhirnya setelah mulur sampai hampir satu jam acara berjalan juga dengan hadirin yang menduduki kurang dari setengah dari seluruh kursi dalam ruangan acara. Saya akhirnya tahu bahwa ada usaha untuk memboikot acara tersebut dari pihak yang tidak puas atas judul buku yang menggunakan istilah Cina.

Saya pernah pula menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam dialog antara partai-partai politik dengan berbagai organisasi keturunan Tionghoa yang diadakan sebelum pemilihan umum 1999 dan menyebut RRC sebagai Republik Rakyat Cina. Ada seorang hadirin yang begitu emosional dan tersinggung atas penggunaan istilah Cina itu sehingga mengatakan bahwa yang namanya Republik Rakyat Cina itu adalah negara ciptaan Orde Baru pada 1967. Itu lain dengan Republik Rakyat Tiongkok yang diproklamasikan Mao Zedong pada 1949.

Lantas pada sebuah acara peluncuran kamus Bahasa Indonesia-Bahasa Tionghoa beberapa bulan silam ada beberapa orang yang hadir memaksa panitia untuk mengeluarkan petisi berisi tuntutan agar pemerintah membatalkan secara resmi penggunaan istilah Cina dan mengembalikan istilah Tiongkok. Pada resepsi besar di sebuah hotel berbintang lima untuk memperkenalkan perkumpulan persahabatan Indonesia-Tiongkok yang baru saja dibentuk, pidato ketuanya antara lain mengatakan bahwa memperjuangkan penghapusan kata Cina dan memulihkan istilah Tionghoa sebagai salah satu program utama perkumpulan itu. Pemerintah RRC dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) mengambil jalan tengah dengan memperkenalkan penggunaan kata China (baca: Cayne) dari bahasa Inggris. Itu merupakan terobosan yang inovatif, yang sayangnya istilah itu agak aneh karena tidak terdapat dalam kosakata Bahasa Indonesia. Kalaupun ejaan China dimasukkan ke dalam vokabuler Bahasa Indonesia, cara mengucapkannya tetap saja C-i-n-a.

Sebagai salah satu anggota tim penyusun kamus Bahasa Mandarin-Bahasa Indonesia yang diterbitkan University of Indonesia Press, saya pernah menerima sebuah surat yang unik. Si penulis surat mengusulkan agar istilah People's Republic of China dalam Bahasa Inggris diubah menjadi People's Republic of Tiongkok agar kedengarannya pas dengan istilah Republik Rakyat Tiongkok seperti yang diinginkannya.

Sejalan dengan pendapat si penulis surat itu, seorang teman etnis Tionghoa yang setuju dengan penggunaan kata Cina mempunyai pendapat yang tidak kurang uniknya. Ia mengatakan, kalau para penentang kata Cina itu begitu keras untuk memaksakan tuntutannya, mereka harus berjuang di dunia internasional untuk mengubah istilah People's Republic of China menjadi People's Republic of Zhongguo.

Tulisan ini mencoba untuk mencari alasan mengapa istilah itu seolah-olah menjadi salah satu wacana yang cukup kontraversial dan menjadi isu hangat di kalangan publik Indonesia, khususnya yang keturunan Tionghoa. Apabila kita memandangnya dari sudut etimologi (ilmu akar atau asal-usul kata) istilah Cina itu sebenarnya bukanlah sebuah sebutan yang menghina, malahan bisa dianggap sebagai istilah yang mencerminkian kebanggaan etnis, negara, dan bangsa Cina.

Sejarah Cina
Kata Cina berasal dari nama Ahala Qin (baca Ch'in), dinasti pertama yang mempersatukan seluruh daratan Tiongkok di bawah sebuah pemerintahan pusat yang sangat kuat. Walaupun masa pemerintahan dinasti itu tidak lama (sekitar 225 s.M sampai 210 s.M), di bawah pemerintahan kaisarnya Qin Shihuang, dinasti itu meninggalkan bekas yang sampai kini asal-usulnya masih dapat ditelusuri. Qin Shihuang memerintahkan menghubung-hubungkan Tembok Besar (Chang Cheng) yang telah dibangun oleh negera-negara kota sebelum Qin berkuasa. Tembok Besar adalah satu-satunya karya manusia yang konon bisa dilihat dengan mata telanjang oleh para astronot dari ruang angkasa, berfungsi sebagai dinding penahan buat membendung serangan suku-suku liar dari utara pada masa kuno.

Demikian terkenalnya bangunan itu sehingga menjadi salah satu keajaiban dunia dan sering menjadi lambang Tiongkok. Qin Shihuang juga memerintahkan penyeragaman Huruf Kanji sehingga komunikasi tertulis antarwilayah dapat berjalan lancar. Ia juga memerintahkan penyeragaman lebar as kereta sehingga pembuatan jalan, terutama lebarnya, dapat dilakukan dengan standar: bisa dilalui oleh oleh dua kereta yang datang dari arah berlawanan. Ia juga menyeragamkan timbangan untuk memudahkan transaksi perdagangan.

Namun, Qin Shi Huang juga dikenal sebagai seorang despot yang sangat kejam. Ia pemeluk aliran Legalis (Fajia) yang ajarannya sangat berlawanan dengan ajaran Kong Hu Cu (Konfusius). Dialah yang memerintahkan pembakaran atas buku-buku ajaran Kong Hu Cu dan memerintahkan hukuman dikubur hidup-hidup terhadap 500 sarjana Konfusianis. Akibat dari tindakan brutal Kaisar Qin itu, sebagian dari karya-karya Kong Hu Cu yang disakralkan sebagai kitab suci untuk aliran itu, sampai sekarang belum diketemukan lagi.

Akan tetapi dalam pada itu banyak pemimpin Cina yang sangat mengagumi Kaisar Qin. Kekaguman itu didasarkan pada pendapat bahwa Cina adalah sebuah daratan yang begitu luas merupakan suatun realitas, sehingga diperlukan suatu pemerintah pusat yang kuat untuk mencegah bahaya disintegrasi bangsa. Integrasi dan disintegrasi merupakan salah satu ciri yang rimbul tenggelam dalam perjalanan sejarah Cina sebagai bangsa dan negara. Mendiang Mao Zedong, misalnya, sangat senang mengidentifikasikan dirinya dengan Qin Shi Huangdi di masa modern.

Kekuasaan Kaisar Qin dan kerajaannya tidak berlangsung lama akibat dari kelalimannya sehingga ia sangat dibenci rakyat. Kekaisarannya runtuh begitu Qin Shihuang meninggal dalam suatu perjalanan peninjauan ke seluruh negeri. Namun, suka atau tidak sukanya orang Tionghoa akan istilah Cina dan dinasti Qin, kata itu telah memunculkan istilah-istilah yang berasal dari nama dinasti itu. Orang Rusia memakai istilah Kitai sedangkan orang Arab mengatakan Shin --ingat ungkapan yang dikutip dari sabda Nabi Muhammad SAW ; "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina." Orang Inggris menggunakan istilah Chinayang kemudian menjadi umum di seluruh dunia Melayu dengan kata Cina, yang menurut hasil riset Leo Suryadinata, telah digunakan sejak awal abad-17. Teks-teks semi klasik di Cina sendiri sempat menggunakan istilah Zhina.

Lalu, mengapa sebagian orang Tionghoa di Indonesia berkeberatan dengan istilah tersebut? Konon, salah satu alasannya adalah Dinasti dan Kaisar Qin, karena kelalimannya, telah meninggalkan jejak penuh darah dalam sejarah Cina. Karenanya mereka lebih suka menyebut diri mereka dengan kata Tangren, yang kurang lebih berarti keturunan Ahala Tang, salah satu dinasti yang meninggalkan zaman keemasan, terutama dalam kesenian dan kesusastraan, dalam sejarah Cina. Di kalangan etnis Cina di Indonesia, terutama yang berasal dari Propinsi Fujian (Hokkian), sebutan itu menjadi Tenglang.

Ada teori lain yang mengatakan, yang telah menjadikan kata Cina itu buruk adalah Jepang, yang setelah Restorasi Meiji 1868 muncul sebagai salah satu adikuasa. Para sejarawan umumnya mengatakan, ada semacam percampuran antara cinta dan kekaguman dan benci bangsa Jepang terhadap Cina setelah Reformasi Meiji. Pada satu sisi, para pemimpin Jepang menjelang abad ke-20 sadar akan akar kebudayaan mereka yang berasal dari tanah Tiongkok. Akan tetapi pada sisi lain mereka melihat akan kebobrokan masyarakat dan pemerintahan Cina masa itu yang tengah berada di bawah penjajahan bangsa asing. Atas dasar itu, Cina dan bangsa Cina harus diselamatkan dari jurang penghinaan itu dengan cara mengenyahkan penjajah Barat. Penyerbuan Jepang atas Cina yang terjadi beberapa kali sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 adalah didasari pada 'tugas suci' itu.

Sayangnya, tentara Jepang yang menyerbu Cina yang pada awalnya merupakan misi penyelamatan itu berubah menjadi kolonialisme dan imperialisme. Istilah Shina yang dipakai orang Jepang itu dipakai untuk menghina. Kata yang mengacu ke Cina dalam Bahasa Jepang moderen kini adalah Zugoku, yang mirip bunyi dan artnya dengan Zhonnguo atau Tiongkok. Istilah Tionghoa berasal dari kata Zhonghua yang sebelum akhir abad ke-19 di Cina sendiri istilah itu belum begitu umum dipakai. Di Indonesia istilah Cina bahkan umum dipergunakan tanpa ada kandungan untuk menghina.

Cap Orde Baru Cina
Kemudian, bagaimana kata Zhonghua muncul? Menurut Suryadinata lagi, kata itu banyak sekalai hubungannya dengan maraknya semangat nasionalisme Cina yang mulai bangkit sejak akhir abad-19. Sebenarnya Zhonghua sudah berabad-abad lamanya digunakan sebagai sinonim dari Zhongguo (Tiongkok atau Kerajaan Tengah). Kaum nasionalis Cina menggunakan istilah itu untuk merujuk ke bangsa dan negara Cina modern. Secara etimologis kata Zhonghua berasal dari nama suatu suku bangsa yang hidup di masa purba di kawasan tengah negeri Cina-yang merupakan wilayah tempat munculnya dan berkembangnya kebudayaan Tiongkok. Bahkan kini orang Cina di Asia Tenggara lebih menyukai istilah Huaren untuk etnis Cina dan Huayu untuk Bahasa Cina, daripada istilah standar dalam bahasa Mandarin: Zhongguoren untuk orang Cina, dan Zhongwen untuk Bahasa Cina.

Presiden pertama Cina, Dr. Sun Yat-sen kemudian menggunakan itu untuk nama negara baru di Tiongkok ; Zhonghua Minguo (Republik Cina). Mao Zedong meneruskan penggunaannya ketika membentuk Republik Rakyat Cina (RRC) : Zhonghua Renmin Gongheguo. Istilah Tionghoa mulai mulai muncul di kalangan golongan etnis Cina di Indonesia pada 1900 ketika Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK) dibentuk sebagai sebuah organisasi yang bergerak terutama di bidang pendidikan dan kehidupan keagamaan, khususnya Konfusianisme. Akan tetapi THHK sendiri masih mencampuradukkan penggunaan Tiongkok, Tionghoa dan Cina dalam konstitusi mereka. Sehingga muncullah kata-kata bangsa Cina, negeri Cina atau surat Cina (huruf Kanji) yang berdampingan dengan kata-kata Tionghoa dan Tiongkok yang kini dianggap sebagian etnis Tionghoa sebagai politically correct.

Dengan demikian itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa istilah Cina, setidak-tidaknya sampai akhir abad-19 masih dianggap netral. Penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok semakin populer sejalan dengan naiknya gelombang nasionalisme Cina di kalangan golongan Tionghoa di Indonesia yang terjadi pada dasawarsa kedua abad-20. Sama seperti saudara-saudara mereka di daratan Cina, golongan etnis Tionghoa di Indonesia memandang kata Tionghoa dan Tiongkok sebagai manifestasi dari semangat nasionallisme dan persatuan di kalangan mereka. Namun, perlu dicatat, nasionalisme di kalangan golongann etnik Cina di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh perlakuan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menganggap mereka sebagai warga negara kelas dua.

Setelah itulah istilah Tiongkok dan Tionghoa nampaknya menjadi istilah baku untuk mengacu kepada Cina sebagai negeri dan golongan Cina sebagai kelompok etnis. Apalagi ketika istilah Cina dipakai untuk memaki dan diembel-embeli dengan kata lain seperti Cina loleng, Cina mindring dan sebutan-sebutan degeneratif lainnya, kata Tionghoa lebih disukai ketimbang Cina. Sebutan Cina sebagai hinaan lebih ditekankan lagi ketika Seminar Angkatan Darat di Bandung pada 1968 memutuskan dan menganjurkan kepada pemerintah agar kata Cina dipakai sebagai istilah baku untuk mengacu kepada negeri Cina dan orang Tionghoa. Alasannya, menurut usul yang ditelurkan oleh seminar tersebut, adalah untuk menjamin bahwa pribumi tidak merasa rendah diri. Memang ada kesan bahwa penggunaan istlilah Cina seperti yang diusulkan oleh seminar tersebut dan kemudian dianut oleh pemerintah Orde Baru dimaksudkan sebagai alat untuk menghukum golongan etnis Tionghoa.

Profesor Liang Liji dari Universitas Peking punya argumentasi menarik mengenai penggunaan kedua istilah itu. Dalam sebuah seminar ia mengatakan, sebutan Cina merupakan istilahn yang menghina dan merendahkan.Ia membandingkan kedua kata itu dengan istilah serdadu dan tentara. Kata serdadu, menurut Prof Liang mengacu kapada tentara atau orang yang menyandang senjata untuk kaum kolonialis pada zaman penjajahan sehingga mereka itu dianggap sebagai alat penindas. Karena itulah orang, apalagi kalangan militer, tidak menyukai istilah tersebut dan memilih kata tentara yang erat hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia menentang penjajahan yang memperalat serdadu mereka sebagai alat penindas.

Cina Yang Netral
Kini, dengan adanya perubahan politik dan munculnya gagasan reformasi serta tuntutan untuk adanya demokratisasi, muncullah tuntutan agar sebutan Cina yang dianggap menghina itu dihapuskan dan istilah Tionghoa diberlakukan kembali sebagai sebutan resmi. Begitu kerasnya tuntutan akan perubahan nama itu sehingga ada kesan bahwa para penuntut meninggalkan sikap demokratnya dan menjadikannya sebagai ideologi.

Seorang rekan yang tidak peduli akan penggunaan istilah Cina atau Tionghoa mengatakan kepada saya bahwa para penuntut itu menjalankan taktik memaksa-sesuatu yang sedang umum dalam wacana politik di Indonesia kini. Seorang intelektual muda keturunan Tionghoa yang tidak berkeberatan dengan istilah Cina mengatakan kepada saya, pro-kontra atas penggunaan kata itu telah membuat dirinya mengidap trauma setiap kali harus berbicara di muka publik mengenai topik golongan etnis Cina.

Penelitian yang dilakukan oleh Asim Gunarwan memberikan indikasi bahwa sebenarnya kalangan masyarakat Tionghoa yang berkeberatan atas penggunaan istilah Cina itu terdiri dari golongan tua saja, sedangkan kalangan orang muda tidak terlalu memusingkan tentang hal itu. Bahkan penelitian itu mengatakan, istilah Tionghoa mengandung makna yang mengindikasikan yang mengacu bahwa pemakai sebutan tersebut adalah warganegara Tiongkok dan bukan warganegara Indonesia.

Sahabat baik saya, ilmuwan sosial, budayawan dan saya Arief Budiman yang kini mengajar sebagai profesor Studi Indonesia di Universitas Melbourne, Australia punya
pengalaman dan usul menarik. Dalam sebuah tulisan ia mengatakan, pada mulanya ia sangat tersinggung dan berkeberatan dengan istilah Cina. Akan tetapi, lama kelamaan Arief tidak merasa tersinggung atas dan mengumpamakannya dengan istilah impresionisme dalam seni lukis. Ketika aliran itu muncul untuk pertama kalinya dalam abad ke-19 sebagai sikap seni pemberontakan terhadap aliran naturalisme dan realisme, ia diejek para kritisi dengan sebutan impresionisme. Para pelukis yang memperkenalkan gaya melukis itu, dipelopori oleh Auguste Renoir, justru menggunakan kata impresionisme sebagai istilah untuk memproklamirkan tumbuhnya aliran baru itu. Kini istilah itu justru diterima umum dan menjadi kebanggaan para penganutnya

Arief kemudian memberikan contoh lain tentang istilah Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Bersama teman-temannya yang seniman dan budayawan ia turut menandatangani Manifesto yang menentang antara lain politisasi kebudayaan dan kesenian. Dunia media di Indonesia ketika itu dikuasai oleh orang-orang kiri yang mencemoohkan pernayataan itu dengan sebutan Manikebu yang bunyinya dekat dengan kata yang berarti sperma kerbau. Pada mulanya para Manikebuis tersebut sangat tersinggung dengan istilah tersebut. Namun, karena kata itu dijejalkan setiap hari oleh media ke tengah masyarakat, lama-lama istileh itu menjadi biasa dan diterima para penganutnya dengan sikap netral.

Dengan kata lain kelihatannya Arief hendak mengatakan, penggunaan istilah Cina dalam tigapuluh tahun belakangan ini sudah memasyarakat sehingga maksud untuk menghina itu kini sudah tidak ada lagi. Arief juga mencatat bahwa gelombang reformasi yang tengah melanda Indonesia telah menyebabkan munculnya sebagian orang di kalangan golongan etnis Cina menjadi sangat vokal dalam memperjuangkan penghapusan istilah
Cina itu. Ia menulis :
Masalah orang Cina di Indonesia sangat banyak. Sentimen anti Cina yang masih hidup, orang Cina yang selalu digunakan sebagai kambing hitam kalau ada krisis ekonomi, orang Cina yang selalu diperas dan tidak melawan para pejabat negara, masih harus kita hadapi. Daftarnya sangat panjang. Apakah kita mau menambah daftar ini dengan kepusingan baru, dengan menghidupkan sensitivitas baru sehingga kita akan kembali merasa sakit hati kalau ada orang yang menggunakan istilah Cina, meskipun bukan dengan tujuan untuk menghina?

Sejalan dengan apa yang disampaikan Arief, Komnas HAM, Forum Komunikasi dan Kesatuan Bangsa, dan Gerakan Perjuangan Anti-Diskriminasi (Gandi) mencatat, dewasa ini masih ada tidak kurang dari 30 peraturan pemerintah yang diskriminatif yang pembatalannya masih harus diperjuangkan. Peraturan-peraturan itu terdiri dari masalah kewarganegaraan (4 peraturan), Catatan Sipil (3 peraturan), Kebudayaan dan Adat Istiadat (4 peraturan), agama (4 peraturan), dan pendidikan (4 peraturan).

Kita telah membicarakan tentang pro-kontra penggunaan istilah Cina dan Tionghoa. Lalu, bagaimanakah jalan keluarnya? Pada pendapat saya jalan yang paling baik, kalau kita akan menggunakan kata Cina atau Tionghoa, kita harus mengetahui kepada siapa kita berbicara. Kalau kita berhadapan dengan orang etnis Cina dari golongan tua biasanya mereka sangat sensitif dan tersinggung dengan penggunaan istilah itu. Sedangkan kalangan muda tidak merasakan ketersinggungan itu. Bahkan ada sementara kelompok dari kalangan muda itu merasa heran kalau istilah Cina biasa dipakai untuk menghina. Malahan mereka sama sekali tidak tahu kalau ada istilah Tionghoa.

Saya sendiri berpendapat biarlah kata Cina menjadi sebuah kata netral yang dipakai sepadan maknanya dengan istilah Tionghoa dan Tiongkok untuk merujuk kepada golongan etnis Cina dan negeri Cina. Salah satu kelemahan dalam menulis dalam Bahasa Indonesia adalah kurangnya sinonim, padahal penggunaan kata yang sama terlalu banyak dan berulang-ulang dalam tulisan dalam bahasa apapun, tidak enak dibaca. Karenanya, biarkanlah kata Cina berdampingan dengan Tionghoa dan Tiongkok sebagai sinonim.

http://www.ceritanet.com/15cina.htm

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...