Mari Mensyukuri Keberagaman

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum lama ini menghimbau agar warga Tionghoa di Indonesia mau membaur dengan warga lainnya. SBY juga meminta agar aparat Negara memberi pelayanan yang sama kepada mereka. Pernyataan presiden tersebut patut untuk didukung dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Tujuannya tak lain karena negara Indonesia adalah negara yang menghormati keberagaman dan menghormati hak asazi warganya tanpa (idealnya) mengenal diskriminasi.

Realita bahwa pembauran antara warga Tionghoa dengan warga lain belum berjalan seperti diharapkan, sebagian dapat diamini. Termasuk bahwa dalam berbagai urusan administrasi publik, sebagian warga Tionghoa masih diperlakukan secara berbeda.

Namun menilai bahwa kegagalan pembauran menjadi tanggungjawab mutlak semua warga Tionghoa, barangkali bukan sebuah hal yang bijak. Ada pepatah mengatakan, ada asap kalau tidak ada api. Misalnya pandangan bahwa warga Tionghoa hidupnya ekslusif, tidak membaur, dan hanya mau bergaul dengan sesama sukunya saja. Sudah tentu ada latar belakang dibalik sikap ekslusif yang ditunjukkan sebagian warga Tionghoa itu. Termasuk latar belakang kenapa diskriminasi masih cukup subur di negara kita.

Rasa Aman

Persoalan gaya hidup eksklusif, biasanya bertemali dengan rasa aman. Dalam hidup kesehariannya, setiap orang tentu saja berharap bisa melakukan segala aktivitasnya dengan aman. Pengusaha bisa menjalankan aktivitas bisnisnya dengan lancar jika lingkungan sosialnya berjalan aman. Anak-anak bisa belajar dengan tenang di sekolah jika tidak terjadi ancaman pengompasan di sekolah maupun di jalan-jalan. Ibu-ibu rumah tangga dapat melenggang kangkung pergi ke pasar dan belanja dengan tenang tanpa takut diganggu preman. Rasa aman dibutuhkan siapa saja, kapan saja dan dimana saja agar setiap orang bisa hidup aman dan nyaman.

Jika seseorang tidak terpenuhi kebutuhan rasa amannya, maka orang tersebut akan berusaha dengan berbagai upaya untuk bisa memperoleh rasa aman tersebut. Caranya sangat beragam. Tergantung bagaimana tingkat atau gradasi keamanan yang dirasakan orang bersangkutan. Termasuk kapasitas orang tersebut dalam menyikapi ancaman tersebut.

Jika orang tersebut merasa bahwa dari hari ke hari keamanannya terancam terus, bisa jadi orang tersebut akan menyewa petugas jasa keamanan swasta, atau body guard. Tak cukup itu. Rumahnya mungkin dibuat seperti sangkar kandang burung, semua menjadi serba tertutup! Bahkan mungkin masih ditambah lagi dengan memasang alarm, yang sewaktu-waktu dapat berbunyi dan mengingatkan pemilik rumah agar waspada.

Sudah tentu tidak semua orang bisa membentengi rasa aman diri dan keluarganya dengan cara seperti itu. Ilustrasi di atas hanya mungkin dilakukan oleh orang kaya, dan mereka yang kurang memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi ancaman. Tapi itu sah-sah saja. Soalnya, ada juga orang kaya yang tak memiliki body guard. Apalagi membentengi rumah mereka dengan tembok tinggi-tinggi. Orang tersebut barangkali tergolong orang yang berani mengambil resiko. Bahkan mungkin siap menghadapi ancaman kekerasan dalam hidup kesehariannya. Rambut memang boleh saja sama hitam, namun pendapat orang dan bagaimana cara menyikapinya tentu saja tidak mungkin diseragamkan.

Sama seperti ketika terjadi kerusuhan. Ada sebagian orang Tionghoa yang memilih mengungsi ke hotel atau ke luar negeri. Mereka sadar bahwa hidup matinya ditentukan hari itu. Pasalnya ancaman fisik ada di depan mata mereka. Kalaupun ia memilih untuk meninggalkan negaranya dengan cara mengungsi ke luar negri, tidak berarti bahwa mereka kehilangan rasa nasionalismenya. Sebagian orang Tionghoa yang pergi mengungsi ke hotel dan ke luar negri, jelas karena persoalan rasa aman semata. Hal ini lebih karena mereka kerap dijadikan sasaran amuk massa dalam setiap kerusuhan yang muncul. Mereka menjadi sasaran diskriminasi. Bahwa ada sebagian orang Tionghoa yang tidak pergi ke hotel atau luar negri, hal itu bisa jadi berhubungan faktor ketiadaan biaya, atau karena merasa masih aman-aman saja. Atau mungkin saja karena orang-orang Tionghoa tersebut berani menghadapi ancaman kekerasan.

Sebagai bahan perbandingan misalnya yang pernah dialami bekas Gubernur Timor Timur, Mario V. Carrascalao, ketika negara itu masih bergabung dengan Indonesia. Ketika terjadi kerusuhan di Timor Timur, kini Timor Leste, dan Mario Carascalao merasa terancam nyawanya, maka ia memilih melakukan eksodus ke Makao, Portugal. Rakyat Timor Timur mencapnya sebagai pengkhianat. Namun Carrascalao sendiri menyatakan bahwa ia akan kembali jika keadaan sudah tenang.

Jadi yang dibutuhkan setiap orang, termasuk orang Tionghoa pada hakikatnya adalah rasa aman. Jika rasa aman mereka terpenuhi, minimal orang-orang Tionghoa yang kini hidup dengan penuh rasa cemas, secara perlahan bisa mengurangi ekslusifisme mereka. Rumah-rumah mereka mungkin tak perlu lagi dibentengi dengan pintu gerbang tinggi-tinggi. Mereka mungkin secara perlahan akan keluar dari kepompong eklusifisme yang mengurung mereka selama ini. Mereka akan mudah untuk membaur bersama warga lainnya.

Rasa aman itu menjadi kebutuhan lintas suku, lintas agama, lintas kepercayaan dan lintas budaya. Tidak peduli Acong, Purba, Paijo atau Syamsul, jika rasa aman mereka terancam, maka mereka berupaya untuk mencegah agar sesuatu yang membahayakan hidupnya tak terjadi.

Sudah tentu bukan hanya faktor rasa tidak aman yang menyebabkan sebagian orang Tionghoa eksklusif. Ada juga faktor lain. Di Medan misalnya hampir seluruh warga hidup tersegegrasi berdasarkan garis suku. Bahkan belakangan mulai muncul berdasarkan garis agama. Dampaknya tidak hanya menimbulkan kantong-kantong perumahan yang disekat garis suku, tapi juga ruang publik yang penuh dengan beragam bahasa ibu.

Diskriminasi dan Stereotipe

Soal diskriminasi yang dialami warga Tionghoa dalam urusan-urusan administrasi publik, harus disikapi secara arif. Diskriminasi dalam realita kehidupan sebenarnya dilakukan siapa saja. Tak peduli suku atau agama yang dianut orang yang mendiskriminasi maupun yang jadi korban didiskriminasi. Akar dari diskriminasi biasanya berkelindan dengan soal stereotipe. Stereotip di sini diartikan sebagai gambaran yang digeneralisir dan tercipta karena prasangka terhadap suatu kelompok tertentu terlalu disederhanakan sehingga seseorang memandang seluruh anggota kelompok itu memiliki sifat pembawaan tertentu, biasanya negatif. Dengan kata lain, dalam pandangan yang stereotipik, suatu kelompok dipandang dan dianggap sama dan sebangun alias homogen.

Stereotipe jika terus-menerus dibiarkan tanpa ada upaya untuk mendekonstruksi, bisa menjadi energi bagi lahirnya sikap diskriminasi. Semisal stereotipe bahwa orang Melayu adalah “pemalas”. Jika stereotip seperti ini dipandang sebagai kebenaran, maka akan terjadi diskriminasi dalam hal penerimaan tenaga kerja terhadap orang Melayu! Sudah tentu, diantara sekian banyak warga Melayu, memang ada yang pemalas. Tapi juga banyak yang rajin bekerja. Persoalan malas atau rajin, tak ada kaitannya dengan soal suku! Namun celakanya cara pandang yang stereotipik telah menggenelarisir seolah semua orang Melayu adalah pemalas.

Sama seperti pandangan bahwa orang Tionghoa suka main KKN jika hendak mengurus suatu hal yang berurusan dengan administrasi publik. Cara pandang seperti ini menjadikan kaum birokrat menganggap seluruh orang Tionghoa yang berurusan dengan mereka bisa “dikerjain’! Lalu lahirlah diskriminasi. Padahal dalam realitanya, tak sedikit orang Tionghoa yang ogah ber-KKN ria! Dalam realitanya, tak sedikit juga orang non Tionghoa yang ber-KKN dalam mengurus surat-surat adminstrasi kependudukan mereka.

Jadi, sekali lagi, soal KKN, soal eksodus, soal kriminalitas, bahkan sampai soal nasionalisme, tak ada hubungannya dengan soal suku! Semua itu berkelindan dengan pilihan hidup yang dipilih masing-masing orang. Berkelindan dengan cara penghayatan seseorang terhadap kedudukannya sebagai warga negara, dengan nasionalisme, dan dengan negara kesatuan Republik Indonesia!Karena itu soal pembauran dan diskriminasi sebaiknya diljadikan kesadaran bersama seluruh entitas yang menghuni wilayah nusantara ini. Caranya dengan mulai mengurangi pola pikir stereotipe terhadap kelompok atau suku di luar kelompok atau suku sendiri. Juga dengan mengurangi secara perlahan tindak diskriminasi terhadap apapun dan terhadap siapapun. Entah dari orang Tionghoa terhadap orang non Tionghoa, atau sebaliknya.

Marilah kita syukuri keberagaman suku yang ada dengan tidak menjadikannya sebagai media untuk saling mengeksploitasi satu sama lain!

* Tulisan ini dimuat di Harian Analisa, Selasa, 4 Maret 2008.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...