Berbagai Hal tentang Layang Layang (Layangan)
Layang-layang atau layangan merupakan lembaran bahan tipis berkerangka yang diterbangkan ke udara dan terhubungkan dengan tali atau benang ke daratan atau pengendali. Layang-layang memanfaatkan kekuatan hembusan angin sebagai alat pengangkatnya. Dikenal luas di seluruh dunia sebagai salah satu jenis permainan, layang-layang diketahui juga memiliki fungsi ritual, alat bantu memancing atau menjerat, menjadi alat bantu penelitian ilmiah, serta media energi alternatif.
Terdapat berbagai tipe layang-layang layang-layang permainan. Yang paling umum adalah layang-layang hias dan layang-layang aduan (laga). Terdapat pula layang-layang yang diberi sendaringan (koang) yang dapat mengeluarkan suara karena hembusan angin. Layang-layang laga biasa dimainkan oleh anak-anak pada masa pancaroba karena biasanya kuatnya angin berhembus pada masa itu.
Penggunaan layang-layang sebagai alat bantu penelitian cuaca telah dikenal sejak abad ke-18. Contoh yang paling terkenal adalah ketika Benjamin Franklin menggunakan layang-layang yang terhubung dengan kunci untuk menunjukkan bahwa petir membawa muatan listrik. Layang-layang raksasa dari bahan sintetis sekarang telah dicoba menjadi alat untuk menghemat penggunaan bahan bakar kapal pengangkut. Pada saat angin berhembus kencang, kapal akan membentangkan layar raksasa seperti layang-layang yang akan 'menarik' kapal sehingga menghemat penggunaan bahan bakar.
Sejarah dan Asal Muasal Layang-Layang
Catatan pertama yang menyebutkan permainan layang-layang adalah dokumen dari China sekitar 2500 SM. Diperkirakan dari China, layang-layang mulai disebarluaskan ke negara Asia lain seperti Korea, Jepang, Indonesia dan India. Bahkan, permainan layang-layang menyebar ke Barat hingga kemudian populer di Eropa.
Di Asia, layang-layang kerap kali berkaitan dengan upacara keagamaan atau kepentingan agama. Banyak layang-layang dari RRC dibuat berwujud naga dari cerita rakyat. Bentuk tradisional lainnya seperti burung, kupu-kupu, bahkan kelabang. Di Malaysia, menerbangkan layang-layang di atas rumah pada malam hari dipercaya dapat menjauhkan roh jahat. Di Korea, nama bayi yang baru lahir sering dituliskan pada layang-layang, lalu diterbangkan dan dibiarkan terlepas sendiri. Sementara di Jepang menerbangkan layang-layang merupakan kegiatan sosial. Para penduduk desa bersama-sama membangun sebuah layang-layang yang sangat besar. Layang-layang ini berukuran 120 yard persegi, dan dapat diterbangkan hanya pada acara festival saja karena dibutuhkan seluruh penduduk kampung tersebut untuk menaikkannya.
Di Eropa, layang-layang menjadi permainan anak-anak, namun hal ini tidak menarik perhatian yang serius sampai abad ke XVIII. Pada tahun 1749 seorang ilmuwan Scotlandia bernama Alexander Wilson menggunakan beberapa rangkaian layang-layang untuk mengukur temperatur udara pada ketinggian yang berbeda. Tiga tahun kemudian, dalam tahun 1752, Benjamin Franklin melakukan percobaannya yang terkenal untuk membuktikan bahwa petir itu adalah listrik. Layang-layang dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan kite, nama 'kite' sendiri dalam bahasa Inggris diambil dari nama burung pemangsa yang anggun dan lemah gemulai kepak sayapnya saat terbang.
Sementara di sejumlah daerah di Indonesia, fungsi layang-layang berbeda-beda. Di beberapa daerah, layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu, biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian. Layang-layang paling sederhana terbuat dari helai daun yang diberi kerangka dari bambu dan diikat dengan serat rotan. Layang-layang semacam ini masih dapat dijumpai di Sulawesi. Diduga pula, beberapa bentuk layang-layang tradisional Bali berkembang dari layang-layang daun karena bentuk ovalnya yang menyerupai daun. Selain itu, beberapa daerah di Bali, sama seperti Jepang, juga menerbangkan layang-layang sebagai kegiatan sosial. Para penduduk desa bersama-sama membangun sebuah layang-layang yang sangat besar dan menerbangkannya beramai-ramai.
Di Jawa Barat, Lampung, dan beberapa tempat di Indonesia ditemukan layang-layang yang dipakai sebagai alat bantu memancing. Layang-layang ini terbuat dari anyaman daun sejenis anggrek tertentu, dan dihubungkan dengan mata kail. Di Pangandaran dan beberapa tempat lain, layang-layang dipasangi jerat untuk menangkap kalong atau kelelawar.
Penemuan sebuah lukisan gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, pada awal abad ke-21 yang memberikan kesan orang bermain layang-layang menimbulkan spekulasi mengenai tradisi yang berumur lebih dari itu di kawasan Nusantara. Diduga terjadi perkembangan yang saling bebas antara tradisi di China dan di Nusantara karena di Nusantara banyak ditemukan bentuk-bentuk primitif layang-layang yang terbuat dari daun-daunan. Di kawasan Nusantara sendiri catatan pertama mengenai layang-layang adalah dari Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) (abad ke-17) yang menceritakan suatu festival layang-layang yang diikuti oleh seorang pembesar kerajaan.
Museum Layang-Layang di Indonesia
Museum Layang-Layang di Indonesia
Di Indonesia sendiri telah berdiri Museum Layang-layang Indonesia yang dibuka sejak 21 Maret 2003 lalu. Ada sekitar 350 layang-layang koleksi dari sejumlah negara di dunia, termasuk layang-layang khas daerah Indonesia. Adalah, Endang W Puspoyo yang memprakarsai hadirnya museum ini. Ia yang juga dikenal sebagai ahli kecantikan ini menghibahkan sebidang tanahnya untuk para pencinta layang-layang.
Beragam layang-layang dalam aneka ragam dan bentuk disusun dengan rapi di museum yang terletak di di Jalan H Kamang No 38, Pondok Labu, Jakarta ini. Bentuk dari masing-masing layang-layang ini unik. Karena ada layang-layang yang terbuat dari daun, ada berbentuk capung, delman berikut kudanya, naga, ikan. Bahkan terdapat juga layang-layang berbentuk Harry Potter. Beberapa layang-layang ukurannya sedemikian besar sehingga untuk menaikkannya harus dilakukan oleh beberapa orang. Ada juga layang-layang yang amat kecil, terbuat dari kain sutera buatan RRC.
Layang-Layang Sebagai Energi Alternatif di Masa Depan
Ternyata layang-layang tak melulu hanya dijadikan sebagai alat permainan. Beberapa ahli mulai melirik layang-layang sebagai energi alternatif di masa depan. "Ini lebih sederhana dari turbin angin yang membutuhkan begitu banyak materi," jelas pakar energi Moritz Diehl dari Catholic University di Leuven, Belgia. "Dengan menghemat materi, artinya lebih ekonomis". Biaya yang diperlukan membuat pembangkit listrik dari layang-layang hanya seperempat dari kincir angin.
Faktor utama dalam memanfaatkan angin sebagai energi adalah mengetahui apakah tekanannya akan memperkuat kecepatan objek yang bergerak relatif bersamanya. Untuk alasan ini, kincir angin memang menghasilkan tekanan lebih kuat, yakni 8-10 kali lipat kecepatan angin. Sedangkan layang-layang mampu menghasilkan energi yang sama kuat dengan tekanan angin jika tidak didukung struktur khusus. Ini disebabkan layang-layang memancarkan tekanan melalui jalurnya langsung. Kecepatan itu juga sangat tergantung pada kecepatan angin. Diehl bersama timnya telah melakukan pemodelan pembangkit listrik tenaga layang-layang dan terbukti pembangkit ini cukup andal.
Faktor utama dalam memanfaatkan angin sebagai energi adalah mengetahui apakah tekanannya akan memperkuat kecepatan objek yang bergerak relatif bersamanya. Untuk alasan ini, kincir angin memang menghasilkan tekanan lebih kuat, yakni 8-10 kali lipat kecepatan angin. Sedangkan layang-layang mampu menghasilkan energi yang sama kuat dengan tekanan angin jika tidak didukung struktur khusus. Ini disebabkan layang-layang memancarkan tekanan melalui jalurnya langsung. Kecepatan itu juga sangat tergantung pada kecepatan angin. Diehl bersama timnya telah melakukan pemodelan pembangkit listrik tenaga layang-layang dan terbukti pembangkit ini cukup andal.
Dengan terus menerus memompa sebuah layang-layang, Diehl dan kawan-kawannya berhasil menghasilkan listrik sebesar 5 megawat dari layang-layang seluas 500 meter persegi dengan panjang tali 1,3 kilometer. Selain hemat biaya, menurut Dhiel, layang-layang bisa menjangkau ketinggian lebih tinggi daripada kincir angin. Makin tinggi lokasinya, makin besar pula tekanan anginnya dan makin besar energi yang dihasilkan.
Sementara itu tim ilmuwan dari Delft University of Technology di Belanda juga menciptakan ide serupa. Hanya mereka menerbangkan sejumlah besar layang-layang sekaligus dalam satu jalur seluas 10 kilometer di angkasa. Sistem ini sama kinerjanya dengan roda air. Sistem yang dinamakan Laddermill ini mampu menghasilkan listrik sebesar 100 megawat.
Semua ide tersebut memang cukup cemerlang, hanya tak semudah itu untuk mengomerslkannya. Masih ada beberapa kelemahan, seperti layang-layang bersifat tidak stabil. "Layang-layangnya kelamaan akan berukuran tambah besar dan banyak, dan bisa menelurkan masalah kebutuhan materi dan daya tahan," komentar Bernhard Hoffschmidt dari Solar-Institute Jülich di Aachen University in Germany.
Semua ide tersebut memang cukup cemerlang, hanya tak semudah itu untuk mengomerslkannya. Masih ada beberapa kelemahan, seperti layang-layang bersifat tidak stabil. "Layang-layangnya kelamaan akan berukuran tambah besar dan banyak, dan bisa menelurkan masalah kebutuhan materi dan daya tahan," komentar Bernhard Hoffschmidt dari Solar-Institute Jülich di Aachen University in Germany.
Layang-Layang Terbesar di Dunia
The 'MegaFlag' adalah layang-layang terbesar di dunia saat ini. Layang-layang yang berbentuk bendera Amerika Serikat ini benar-benar dapat terbang dan berukuran 130 meter dan lebar 80 meter atau 10,400 meter persegi. Layang-layang ini didesain tanpa tongkat atau spar. Layang-layang super besar ini dirancang dan dibuat oleh Peter Lynn dari Selandia Baru dan merupakan Pemegang Guinness World Record.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar