Jolotundo

Tak banyak yang tahu, sebagian besar umat Hindu di Kabupaten Sidoarjo mengandalkan air Jolotundo untuk konsumsi sehari-hari. Sumber air yang keluar dari perut Gunung Penanggungan itu sarat nilai spiritual. Secara ilmiah, berdasar uji laboratorium, kualitas air Jolotundo lebih bagus ketimbang air kemasan.

"Saya dan keluarga sudah empat tahun ini menggunakan air Jolotundo untuk berbagai keperluan. Untuk konsumsi sehari-hari di rumah jelas pakai air ini," ujar IDA AYU, warga Pondok Jati, Sidoarjo, kepada saya. Ida bersama sekitar 20 umat Hindu saat itu melakukan prosesi pengambilan air suci di kawasan Jolotundo, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto.

Mereka membawa sebuah truk besar (milik TNI Angkatan Darat) berisi belasan jeriken kosong. Jerikan itu kemudian diisi air Jolotundo, satu tempat suci umat Hindu di Jawa Timur. "Kami ke sini kalau jeriken-jerikan di rumah sudah kosong," ujar Ida.

Mengambil air di Jolotundo, bagi pemeluk Hindu taat seperti Ida Ayu dan rombongan, jelas tidak sama dengan mengambil air di Prigen, Pacet, Trawas, dan kawasan sumber air pegunungan lain. Di sini proses ritual harus diikuti secara cermat. Busana yang dikenakan anggota rombongan pun khas Hindu Bali, serba putih, persis ketika mengikuti acara sembahyangan Hindu.

Karena itu, tidak mungkin mereka, misalnya, mengirim anak buah ke Jolotundo untuk mengisi jeriken-jeriken kosong tadi. Jika itu yang terjadi, kata beberapa umat Hindu, maka nilai sakralitasnya hilang. Tak ada bedanya dengan air pegunungan biasa yang dikonsumsi masyarakat umum. "Ini tempat suci, jadi harus ada ritualnya," tutur Ida Ayu lalu tersenyum.

Mula-mula rombongan asal Sidoarjo, Wonoayu, Jabon, dan Porong ini singgah di PETILASAN NAROTAMA, mahapatih terkenal pada masa RAJA AIRLANGGA. Di kompleks yang baru saja direnovasi itu umat Hindu melakukan doa bersama. Setelah itu, mereka berjalan kaki sekitar 200 meter ke Candi Jolotundo. Jaraknya sekitar 150 meter, tapi sangat menanjak.

"Sekalian olahraga karena medannya sangat berat. Kalau setiap hari kita jalan mendaki seperti ini, badan pasti lebih sehat," ujar Letkol ANAK AGUNG.

Bagi rombongan Sidoarjo ini, tanjakan tajam ini bukan perkara besar karena sudah menjadi menu rutin mereka. Istirahat sejenak di pelataran Candi Jolotundo, prosesi dilanjutkan dengan acara mandi bersama. Mandi di petirtaan sekaliber Jolotundo diyakini membawa kesegaran dan kesucian. Orang diingatkan untuk membersihkan kotoran dari tubuh dan jiwanya.

Tempat mandi untuk laki-laki dan perempuan dipisahkan cukup jauh. "Wanita yang sedang datang bulan dilarang masuk ke kolam Jolotundo. Anda juga diharapkan tidak kencing di dalam air," begitu pesan tertulis (dan lisan) yang wajib ditaati semua pengunjung Candi Jolotundo, tak hanya umat Hindu tentu saja.

Rupanya, acara mandi bersama ini begitu penting. Lihat saja, beberapa orang tua sempat 'marah-marah' lantaran anaknya enggan menceburkan diri ke dalam kolam Jolotundo. Asal tahu saja, lokasi Jolotundo yang mencapai 525 meter dari permukaan laut membuat kawasan ini sangat sejuk, apalagi pada petang hari. "Kalau nggak mau mandi, ya, raup saja," imbau salah satu orang tua.

Si Bagus, pelajar SMPN 4 Sidoarjo, masih terlihat ogah-ogahan. "Dingin, malas ah!" kata Bagus bersungut-sungut. Namun, setelah dilobi terus-menerus, Bagus akhirnya menyerah dan mandi di kolam Jolotundo. "Rasanya segar sekali. Saya juga minum air langsung dari pancuran," kata Bagus, kali ini berseri-seri.

MANDI bersama di Candi Jolotundo--yang airnya memancur nonstop itu--tidak boleh pakai sabun. Pengunjung, tak hanya umat Hindu, juga dianjurkan 'pipis' dulu di toilet, sekitar 50 meter dari kolam Jolotundo. Kebiasaan pengguna kolam renang biasa, yang suka kencing di dalam, tidak boleh dilakukan di kolam alami Jolotundo.

Wanita yang tengah menstruasi pun dilarang masuk ke kolam. Tapi dia bisa menikmati air bening dan sehat Jolotundo di kamar mandi Jolotundo sepuas-puasnya. Ini semua untuk menjaga kebersihan, kesehatan, serta kesucian air di Jolotundo. Bayangkan saja kalau warga mandi memakai sabun, keramas, atau (maaf) kencing sembarangan di dalam kolam.

"Umat Hindu jelas sudah sangat paham karena ini jadi tempat suci mereka. Tapi
untuk orang lain pasti selalu kita ingatkan agar menjaga kesucian tempat ini," ujar KAYUN, salah satu dari 14 penjaga (juru kunci) Candi Jolotundo, kepada saya.

Kembali ke acara mandi bersama. Namanya juga orang kota yang jarang menikmati air pegunungan, umat Hindu asal Sidoarjo ini cukup lama berada di dalam kolam. Sekitar 30 menit hingga satu jam mereka berendam di air, sembari sekali-sekali membuka mulut lebar-lebar, menengguk air minum asli pegunungan itu.

"Segar bukan main. Kami sudah pernah ngetes di laboratorium, hasilnya ternyata sangat bagus. Lebih bagus dari air minum dalam kemasan, apalagi air isi ulang," ujar IDA BAGUS OKA, warga Pondok Jati, yang menjadi pemimpin acara ritual di Candi Jolotundo.

Setelah mandi, umat Hindu mengenakan kembali busana putihnya (tak perlu handuk segala) dan siap melanjutkan ritual. Kali ini, mereka duduk bersila di pelataran candi, persis di atas kolam ikan, dan meditasi. Mula-mula dilantunkan puja-puji kepada Sang Hyang Widhi dipimpin Ida Bagus Oka. Diterangi cahaya bulan purnama, prosesi ini menambah mistis suasana Candi Jolotundo malam Minggu.

Sementara itu, pengunjung biasa yang bukan Hindu, termasuk mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya yang tengah camping di kawasan Jolotundo, duduk di ruang tunggu. Mereka memberi kesempatan kepada rombongan dari Sidoarjo untuk menggelar ritual sampai tuntas. Sebuah praktik toleransi antarumat beragama yang layak dilestarikan di muka bumi.

"Ini pengalaman baru bagi saya. Saya akhirnya tahu kalau di Jolotundo ini suasananya sangat religius. Makanya, saya penasaran ke sini dan ingin menikmati mandi di Jolotundo," aku Ahmad, mahasiswa asal Surabaya.

Ritual mandi bersama dan meditasi akhirnya tuntas sekitar pukul 18:30 WIB. Hampir bersamaan, 20-an jerikan besar (50-an liter) berwarna putih telah diisi air dari pancuran Jolotundo. Jeriken-jerikan penuh air tadi kemudian dibawa ke truk militer yang parkir di pintu gerbang Jolotundo. Rombongan pun pulang ke Sidoarjo membawa beban ratusan liter air dari perut Gunung Penanggungan yang muncrat dari Candi Jolotundo.

"Biasanya kami konsumsi sampai satu bulan. Kalau habis, ya, kami datang lagi ke sini untuk mengambil air. Acaranya, ya, seperti ini juga," ujar Ida Ayu.

Sejak tinggal di Sidoarjo, awal 2000, Ida Ayu dan rombongan senantiasa datang kompleks Candi Jolotundo untuk mengambil air. Adapun air PDAM Sidoarjo tidak dipakai untuk minum sehari-hari, tapi mencuci, menyiram, dan sebagainya. Air minum dalam kemasan seperti Aqua, Total, Ades, dll sekadar pelengkap. Konsumsi utama, ya, air Jolotundo.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...