PK Ojong dan Asimilasi Keturunan Tionghoa


Pada 24 Maret 1960, PK Ojong, Ong Hok Ham, dan delapan cendekiawan etnis Tionghoa lain di Indonesia menandatangani Piagam Asimilasi. Dalam piagam itu, disebutkan bahwa kesepuluh penandatangan piagam bertekad menjadi “orang Indonesia yang murni dan patriotik” sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, Oktober 1928.

Bagi PK Ojong dan para penandatangan Piagam Asimilasi lainnya, proses asimilasi keturunan Tionghoa harus diartikan sebagai proses peleburan mereka ke dalam penduduk Indonesia sehingga tidak ada lagi istilah “minoritas Tionghoa”. Ketika sebuah peleburan telah terjadi, sebutan “minoritas” dan “mayoritas” memang tidak lagi relevan sebab saat itu yang ada hanyalah “kesatuan sebuah bangsa”.

Kalau kita menganggap bangsa sebagai sebuah “komunitas terbayang”—seperti dikatakan Bennedict Anderson (2001: 8)—maka ikhtiar Ojong untuk mendukung asimilasi sebenarnya mengandung seruan agar warga Tionghoa di Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari “bangsa Indonesia”. Meski secara fisik dan garis lahir mereka memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pribumi, tapi perbedaan itu mesti dikalahkan oleh perasaan solidaritas sebagai satu bangsa. Di sisi lain, Ojong juga berharap agar masyarakat pribumi menerima kehadiran warga Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka.

Seruan Ojong agar asimilasi dilakukan sebenarnya sangat relevan sebab bila kita melihat sejarah, pembentukan bangsa Indonesia memang tidak berdasar pada kesamaan fisik atau budaya tapi lebih pada “imajinasi” akan adanya ikatan yang menghubungkan penduduk dari budaya yang berbeda. Maka, perbedaan yang ada dalam hal fisik dan kebudayaan pada hakekatnya bukanlah penghalang terintegrasinya sebuah etnis dengan etnis lainnya.

Kesenjangan antara masyarakat Tionghoa dengan warga pribumi Indonesia sebenarnya berawal dari segregasi yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia memberlakukan pembagian kelas sosial dalam masyarakat dengan menempatkan warga Belanda dan Eropa pada kelas paling atas, warga asing lain seperti Tionghoa dan Arab di lapisan menengah, dan warga bumiputra di level paling bawah (Chrsitanty; 1994: 21-22). Stratifikasi yang berdasar pada tujuan politis inilah yang kemudian membuat sebuah kesenjangan muncul antara warga Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

Ketika Indonesia merdeka, warisan sejarah yang demikian masih dikenang dan karenanya identifikasi warga keturunan Tionghoa sebagai “yang lain” tetap saja muncul. Pada tahun 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, konflik antara warga Tionghoa dan pribumi terjadi di Tangerang dan Kebumen. Saat itu, konflik menjadi sangat serius dan bahkan menimbulkan korban. Konflik itu meletus karena masyarakat pribumi menganggap warga Tionghoa bersikap netral terhadap kolonialisme Belanda dan perjuangan nasionalisme Indonesia. Kenetralan itu pula yang membuat Pemerintah Indonesia waktu menyerukan agar warga Tionghoa menunjukkan sikap mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Konflik dan kesenjangan antara warga Tionghoa dengan masyarakat asli Indonesia itulah yang kemudian mendorong Ojong menggagas asimilasi sesuai pemikiran dia. Berbeda dengan beberapa tokoh asimilasi lain saat itu, Ojong—dan juga Ong Hok Ham—berpendapat bahwa hambatan terbesar dari proses asimilasi justru terletak pada lemahnya orientasi keindonesiaan dari warga Tionghoa sendiri. Oleh karena itu, menurutnya, warga keturunan Tionghoa harus memperkuat orientasi keindonesiaannya agar bisa mencapai asimilasi yang meliputi aspek biologis, ekonomis, politis, sosial, dan kultural.

Pergaulan Ojong yang luas dengan banyak tokoh nasional Indonesia—seperti Mohammad Hatta, Soedjatmoko, Bahrum Rangkuti, dan lain-lain—membuatnya menyadari bahwa keindonesiaan adalah hal mutlak yang mesti dimiliki warga Tionghoa bila ingin melakukan asimilasi. Pengalaman konflik tahun 1946 menunjukkan bahwa sikap setengah-setengah terhadap keindonesiaan bisa dicurigai sebagai sikap yang memihak musuh.

Dalam hal asimilasi inilah Ojong agak berbeda dengan guru dan idolanya, Khoe Wan Shoe, pendiri dan pengelola Surat Kabar Keng Po dan Mingguan Star Weekly. (Parera; 1985: 80). Kalau Khoe Wan Shoe adalah cendekiawan Tionghoa yang kadang masih melihat warga Indonesia asli sebagai “ancaman”—terutama dalam masalah ekonomi atau mata pencaharian—Ojong sudah sepenuhnya percaya bahwa warga pribumi adalah teman sekaligus saudara yang tak perlu ditakuti.

Meski saat kecil Ojong bersekolah di Holandsch-Chineesche School yang merupakan sekolah khusus anak Tionghoa, ia tidak tumbuh menjadi pribadi yang berpikiran sempit. Bahkan ketika kemudian dia menyadari pentingnya asimilasi, Ojong mengritik sistem persekolahan masa kecilnya itu karena sistem seperti itu hanya akan menghalangi interaksi antara etnis Tionghoa dan warga pribumi dan memperkecil peluang terciptanya asimilasi.

Ojong yang meninggal pada 31 Mei 1980 merupakan salah satu tokoh Tionghoa yang tidak hanya menyebarluaskan gagasan tentang asimilasi, tapi sekaligus langsung mempraktekkan gagasan tersebut tatkala mengelola beberapa perusahaan media massa. Sebagai wartawan, Ojong juga menyadari bahwa ia harus mendorong integrasi sosial dan menolak konsep segregasi nasional seperti yang diparaktekkan pemerintah kolonial. (Sularto; 2007: 7). Oleh sebab itu, selain usaha kultural dari masyarakat, menurut Ojong, pemerintah juga harus langsung turun tangan secara struktural dalam mendorong terjadinya proses asimilasi. Kabut Institut

Oleh: Haris Firdaus (Dimuat di Kompas Jawa Tengah, 3 Maret 2008)
readmore »»  

Imajinasi dan Kenapa Perlu Asimilasi ?

Seorang kawan memberikan catatan penting atas esai saya, berjudul “PK Ojong dan Asimilasi Keturunan Tionghoa”, yang dimuat di Kompas Jawa Tengah beberapa waktu lalu. Kawan saya itu bilang bahwa saat ini tidak banyak keturunan Tionghoa yang mau mengusahakan asimilasi. Mereka, kata kawan saya tadi, lebih suka bekerja dan tinggal di luar negeri. Esai di bawah ini adalah semacam catatan pembanding dari catatan kawan saya tadi.

Persoalan yang muncul terkait posisi warga keturunan Tionghoa di Indonesia sedikit atau banyak berurusan dengan persoalan “imajinasi”. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekannya di sebuah pagi pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia pada dasarnya adalah sebuah “imajinasi”. Ia dibayangkan ada, dengan batas tertentu, serta simbol-simbol yang memberi penguat atas “imajinasi” tadi.

Bennedict Anderson menyebut kemunculan nasionalisme dunia ketiga adalah akibat logis dari imperialisme sekaligus dipengaruhi penyebaran gagasan “cinta tanah air” di dunia pertama. Mengikuti pendapat yang demikian, gagasan tentang bangsa—sebagai sebuah “komunitas terbayang”—di dunia ketiga mulai dianggit dengan sebuah simbol pemersatu: solidaritas sebagai rakyat yang terjajah oleh satu bangsa tertentu.

Maka, bisa kita lihat bahwa pembentukan identitas sebagai bangsa Indonesia akhirnya menggunakan imperialisme Belanda sebagai “rujukan”. Artinya, entitas yang akhirnya dilekati identitas sebagai “bangsa Indonesia” adalah sebuah wilayah—sekaligus penduduk di dalamnya—yang sama-sama dijajah oleh Belanda. Perasaan solidaritas sebagai “bangsa” terjajah adalah simbol yang menyatukan imajinasi tentang bangsa tadi.

Jadi, bukan letak geografis atau persamaan budaya yang akhirnya “membentuk” gagasan tentang apa itu “bangsa Indonesia”. Dari sini, bisa kita telusuri kenapa kemudian keturunan Tionghoa di Hindia Belanda amat sulit diidentifikasi sebagai bangsa Indonesia ketika akhirnya wadah dari bangsa itu—sebuah negara—telah terbentuk setelah proklamasi oleh Soekarno dan Hatta.

Tidak masuknya warga keturunan Tionghoa dalam entitas yang disebut sebagai “bangsa Indonesia” itu bukan karena perbedaan garis lahir maupun keturunan. Kalau seandainya pembedaan demikian yang dipakai, bangsa Indonesia tak akan pernah terbentuk—atau minimal akan sangat sulit terbentuk—karena bangsa tersebut terdiri dari pelbagai kebudayaan beserta garis lahir dan kompleks karakteristik masing-masing.

Tidak masuknya warga keturunan Tionghoa dalam “bangsa Indonesia” saat itu, lebih karena fakta bahwa warga keturunan Tionghoa tidak masuk menjadi bagian dari “rakyat yang terjajah” oleh imperialisme Belanda. Ketika kolonialisme berkuasa di Hindia Belanda, golongan Tionghoa tidak berada dalam satu “nasib” dengan suku-suku lain di kawasan itu yang akhirnya kemudian mengindetifikasi diri mereka sendiri sebagai Indonesia.

Politik segregasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda memberi keistimewaan pada warga keturunan Tionghoa. Mereka berada dalam level yang lebih tinggi daripada kaum “pribumi” tapi ada dalam strata yang lebih rendah dari kaum Eropa. Kondisi demikian membuat warga keturunan Tionghoa tidak diidentifikasi sebagai “yang sama” oleh suku-suku “pribumi”.

Warga keturunan Tionghoa yang menikmati keleluasaan juga dianggap pro pada pemerintah kolonial sehingga mereka pun menjadi sasaran kebencian sebagian dari kaum “pribumi”. Ketika Indonesia merdeka, dan suku-suku yang terjajah di Hindia Belanda mulai membuat “imajinasi” tentang sebuah komunitas yang menyatukan mereka, mereka tak mengikutsertakan warga keturunan Tionghoa dalam “imajinasi” tadi.

Bagaimanapun, kenyataan segregasi dalam masa kolonial dan kecurigaan bahwa keturunan Tionghoa sebenarnya memihak Belanda membuat kelompok-kelompok yang kemudian menghimpun diri menjadi bangsa Indonesia itu akhirnya mengidentifikasi keturunan Tionghoa sebagai “yang lain”. Apalagi, pemihakan pada revolusi kemerdekaan Indonesia oleh keturunan Tionghoa juga belum dinyatakan secara tegas.

Maka, seperti kata Thung Ju Lan (peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), sikap elite politik “pribumi” terhadap etnis Tionghoa dipenuhi dengan “keraguan dan ketidakpercayaan”. Semasa demokrasi liberal, kecurigaan itu berkembang menjadi sikap yang terlalu berlebihan karena diekspresikan melalui struktur kebijakan dari pemerintah.

Pada awal 1950 misalnya, Menteri Kesejahteraan RI, Djuanda, mengumumkan kebijakan tentang impor perdagangan yang hanya membolehkan pengusaha “pribumi” melakukan impor untuk jenis barang tertentu. Kebijakan yang sering disebut sebagai “Politik Benteng” itu tentu saja merugikan para pengusaha Tionghoa di Indonesia.

Pada 19 Maret 1956, Mr Assaat—yang pernah menjadi Penjabat Presiden Republik Indonesia—, dalam sebuah pidatonya pada Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, mengatakan bahwa “perlu diberi perlindungan khusus di bidang ekonomi kepada warga negara Indonesia asli”.

Pernyataan itu sepintas “wajar-wajar” saja. Namun, pidato Mr Assat tadi ternyata berkembang menjadi sebuah gerakan “pribumisasi” yang mendapat sambutan luas dari penduduk di beberapa pulau seperti Jawa, Lombok, Sumatera, dan Sulawesi.

Sjafruddin Prawiranegara juga memberikan dukungannya pada ide itu. Pada Kongres Masyumi, Desember 1956, ia mengatakan bahwa perlu dibentuk kelas pengusaha nasional yang sehat melalui “penyaringan alami” bagi kelompok pribumi. Secara ekstrem, Sjafruddin bahkan menganjurkan agar dalam tempo dua tahun semua toko kecil hanya dimiliki oleh orang Indonesia.

Gagasan “pribumisasi” tadi tentu saja tidak muncul hanya karena beban sejarah jaman kolonial. Kondisi ekonomi Indonesia saat itu memang sedang didominasi oleh golongan Tionghoa. Hampir semua toko—baik toko kelontong, bahan bangunan, sampai warung makan—dimiliki oleh keturunan Tionghoa. Dominasi oleh etnis Cina itu kemudian memunculkan reaksi dari kelompok pribumi karena kelompok yang terakhir ini gagal dalam melakukan persaingan bisnis. Kegagalan bisnis itu kemudian ditebus dengan mengeluarkan ide-ide agar pemerintah melakukan pembatasan terhadap bisnis Tionghoa.

Lalu, muncullah “malapetaka” itu: Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 yang melarang orang asing melakukan perdagangan dalam level eceran di tingkat kabupaten ke bawah dan wajib mengalihkan usaha mereka tangan pribumi. Peraturan ini terutama memang ditujukan buat orang Cina. Akibatnya, hampir sekitar 500 ribu pengusaha Cina babak belur dalam hal ekonomi.

Peraturan itu juga yang kemudian mengakibatkan eksodus besar-besaran etnis Cina dari Indonesia menuju kampung asalnya. Hilangnya mata pencaharian, sekaligus munculnya gelombang pengusiran bahkan sempat ada penembakan oleh militer Indonesia terhadap dua perempuan Tionghoa, makin membuat gelombang migrasi besar-besaran terjadi.
***

Di jaman orde baru, etnis Tionghoa “disingkirkan” antara lain karena dosa masa lalu dari Baperki (Bapan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia)—organisasi yang berhajat “mewarganegarakan warga Tionghoa”—yang dianggap terlalu condong ke arah PKI.

Di jaman reformasi, kebebasaan berekspresi etnis ini mulai diberi tempat. Terakhir, SBY sudah menandatangani surat keputusan yang memungkinkan keturunan Tionghoa bisa mendapatkan segala dokumen yang berkaitan dengan hak mereka sebagai warga negara Indonesia.

Apa yang ingin saya tekankan dalam esai ini adalah bahwa pembentukan sebuah bangsa adalah hasil dari sebuah “pembayangan”. Karenanya, integrasi etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia agaknya mesti juga melewati proses “pembayangan” itu. Dalam proses tadi, anggota-anggota dari sebuah bangsa sebagai “komunitas terbayang” melakukan sebuah pengidentifikasian tentang siapa yang masuk sebagai anggota dari komunitas mereka dan siapa yang tidak.

Tapi, “pembayangan” itu tadi hanya bisa berlangsung bila ada situasi-situasi pendorong dalam dunia faktual. Pada titik inilah asimilasi menjadi perlu. Asimilasi, secara kamus, bisa berarti penyatuan atau peleburan sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat lingkungan sekitar.

Mengikuti PK Ojong, proses peleburan dalam sebuah asimilasi harus diarahkan sampai pada suatu kondisi di mana istilah “minoritas Tionghoa” menjadi tak ada. Untuk mencapai kondisi demikian, perlu asimilasi yang komprehensif sekaligus butuh campur tangan pemerintah, kata Ojong.

Melalui asimilasi, eksklusivitas jadi hilang. Dalam artinya yang luas, asimilasi sebenarnya sudah terjadi. Bagaimanapun, interaksi antara warga Tionghoa dengan masyarakat pribumi sedikit banyak akan mengakibatkan “peleburan” sifat-sifat asli masyarakat keturunan Tionghoa ke dalam sifat-sifat “pribumi”.

Tapi, kalau kemudian asimilasi diartikan “secara amat ideal”, seperti yang dikatakan Ojong, tentu asimilasi belum sepenuhnya berhasil. Perlu usaha kultural dari masyarakat—baik “pribumi” maupun keturunan Tionghoa—sekaligus usaha struktural dari pemerintah.

Sampai di sini, saya belum bisa menjawab pesimisme kawan saya soal “niatan” warga keturunan Tionghoa saat ini untuk melakukan asimilasi. Tapi, saya percaya, tak semua dari mereka tak memiliki orientasi keindonesiaan: sebuah bekal utama dalam melakukan asimilasi. Sumber : Rumah Mimpi


readmore »»  

Menggali Kembali Sastra Melayu Tionghoa

Generasi muda masa kini besar kemungkinan bertanya-tanya "makhluk" apa kiranya yang disebut kesastraan Melayu Tionghoa, sampai didiskusikan di forum-forum internasional? Penuturan Myra Sidharta, kolektor sekaligus pengamat, membuka mata kita akan kehadiran satu genre kesastraan, yang sampai masa belum lama ini dan bagi sebagian besar masyarakat kita, telah terabaikan.

Cerita ini dimulai ketika almarhum MAW Brouwer (seorang rohaniwan dan kolumnis yang tinggal di Bandung - Red.) berkunjung ke rumah saya dan minta agar saya menulis sebuah karangan mengenai wanita peranakan Tionghoa. Saya menolak karena saya bukan sosiolog atau sejarawan, lagi pula tidak tahu banyak tentang masyarakat peranakan Tionghoa. Tapi, MAW bersikeras dan kami pun "bertengkar".

Dia merasa, sudah waktunya ada orang yang menyelidiki wanita Indonesia Tionghoa secara mendalam karena studi-studi yang telah ada merupakan studi mengenai seluruh masyarakat, tidak khusus mengenai wanitanya. Saya tetap menolak sehingga dia marah dan "mengancam" akan melapor kepada Jiang Jing, istri Mao Tse Tung, salah satu anggota Gang of Four yang ketika itu baru ditangkap di RRC.

Ketika MAW telah pulang, saya berpikir lagi dan merasa tidak ada salahnya kalau saya menulis esai itu. Maka mulailah suatu perjalanan yang berlangsung sampai hari ini; jadi sudah kurang lebih 20 tahun. Suatu keputusan yang sangat penting karena saya telah menemukan tujuan hidup saya.

Biasanya kalau MAW datang ke Jakarta ia mengajak saya jalan-jalan untuk melihat perkembangan kota Jakarta, atau meminjam buku-buku saya agar dapat ilham untuk menulis di Kompas. Dalam perjalanan selanjutnya, saya tidak ditemaninya secara fisik, tetapi ingatan kepada anjurannya selalu menyertai saya.

Saya mulai dengan mempelajari bahan-bahan tulisan beberapa pakar seperti Leo Suryadinata, Charles Coppel, Mary Heidhues-Somers, dan menuangkan pengetahuan itu dalam sebuah tulisan yang kemudian bersama tulisan-tulisan lain dimuat dalam buku Kepribadian dan Perubahannya yang disunting oleh MAW dan diterbitkan pada 1979. Meskipun buku itu cukup laris dan mengalami cetak ulang beberapa kali, saya sendiri tidak puas. Saya ingin menulis sesuatu yang lebih baik dan mendalam mengenai perempuan Indonesia Tionghoa.

Ternyata tak cuma menyebarkan ajaran Konfusius

Suatu hari saya mengunjungi toko batik milik Asmoro Damais, putri Prof. Charles Damais, sejarawan terkenal dari Prancis. Asmoro baru pindah rumah dan di satu sudut terdapat setumpukan buku tua. Ketika saya bertanya, Asmoro menganjurkan untuk membaca buku-buku itu, karena memang ditulis oleh pengarang keturunan Tionghoa untuk masyarakat peranakan Tionghoa. Kesastraan ini belum saya kenal sama sekali karena dulu ayah saya membaca kesastraan Belanda, dan bacaan ibu terbatas pada Majalah Istri dan Harian Sin Po, bacaan berbahasa Melayu Tionghoa tempo doeloe.

Buku pertama pinjaman dari Asmoro yang saya baca adalah Dengan Dua Cent Jadi Kaya oleh Thio Tjin Boen. Ternyata sangat menarik dari sudut cerita maupun bahasanya. Ia menulis tentang seseorang yang bukan saja ditinggalkan oleh istrinya, tetapi istrinya juga membawa serta semua kekayaannya! Orang itu kemudian menjadi kaya lagi dengan menangkap kodok di sawah yang dijualnya di kaki lima sesudah dimasak dengan taoco. Bahasa buku itu bahasa sehari-hari kaum peranakan zaman dulu sebelum bahasa Indonesia menjadi bahasa utama.

Buku kedua tidak begitu lucu karena berkisah tentang seorang gadis yang ingin menikah dengan lelaki pilihan sendiri. Ia diusir oleh ayahnya tetapi dibantu oleh pembantunya. Meskipun begitu, ia kemudian meninggal karena suatu penyakit misterius. Beberapa buku lagi menyajikan tema yang sama. Perempuan harus patuh kepada ayah atau suaminya, kalau tidak, mereka akan "dibunuh" oleh pengarangnya.

Cerita itu membuat saya berpikir, "Tujuan apa sebenarnya yang ada di benak para pengarang? Apakah ada hubungan dengan ajaran Konfusius yang mengatakan bahwa kehidupan perempuan ditentukan oleh tiga kepatuhan: sebagai gadis, perempuan harus patuh kepada ayahnya; sebagai istri kepada suaminya; dan sebagai janda kepada anaknya."

Dari sini mulailah pencarian saya untuk mendapatkan lebih banyak bahan. Saya membaca buku-buku ini di Perpustakaan Nasional yang di masa itu masih berada di Gedung Museum Gajah. Di sana saya dapat mempelajari tulisan ilmiah mengenai masyarakat peranakan Tionghoa. Di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin saya juga berkenalan dengan buku-buku silat dan terjemahan dari bahasa asing oleh para penulis Tionghoa. Ternyata sastra Melayu Tionghoa tidak hanya untuk menyebarkan ajaran Konfusius, melainkan juga memberi informasi tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia maupun asing.

Perkenalan dengan Claudine Salmon dan suaminya, Denys Lombard, memperluas pengetahuan saya tentang kesastraan ini. Claudine sudah menekuni kesastraan ini sejak 1969, lebih dari 10 tahun sebelumnya. Saat itu ia merasa telah cukup mengumpulkan bahan-bahan untuk menyelesaikan katalog yang sedang disusunnya. Dengan demikian saya mendapat kesempatan untuk membaca katalog itu sebelum diterbitkannya. Claudine sangat tekun dan teliti serta selalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak diduga-duga, yang merangsang saya berpikir lebih lanjut.

Teman lain yang seminat dengan saya bertambah dan saya pun berkenalan dengan Jakob Sumardjo dari Bandung yang sering mengisi halaman Pikiran Rakyat, sebuah harian di Bandung, dengan tulisannya. Kemudian ada lagi Thomas Rieger, mahasiswa Fakultas Sastra berkebangsaan Jerman yang menulis skripsinya tentang Kwee Tek Hoay. Di AS ada juga Brad Horton yang dapat nama Broto dari teman-temannya di Yogyakarta, serta Ellen Rafferty dari University of Wisconsin. Di Bandung masih ada Lim Wan Li, yang menulis tentang kesastraan Melayu Tionghoa dalam bahasa Mandarin yang dikirim ke majalah-majalah yang diterbitkan di Hongkong.

Mulai berburu

Fase kedua adalah untuk memiliki buku-buku itu. Dari seorang saudara saya, Iwan Fridolin, saya mendapat buku pertama karangan Kwee Tek Hoay berjudul Drama dari Krakatau. Dia juga memberi tahu bahwa dahulu ia membelinya di Terminal Lapangan Banteng, yang kemudian dipindahkan ke Pasar Inpres di Kompleks Pasarsenen, Jakarta. Ketika saya mencari di sana, saya diberi tahu oleh para pedagang buku bahwa ada sebuah kios yang khusus menjual buku-buku itu.

Pedagang itu, Abun namanya, sebenarnya menjual cerita-cerita silat, tetapi dia juga sering bisa mendapat apa yang dia sebut "roman-roman peranakan". Pedagang buku lain di Muara Karang, Djaja Laras, menceritakan bahwa dia telah menjual banyak kepada Universiti Kebangsaan di Malaysia dan Kyoto University di Jepang. Ketika saya mendapat kesempatan pada 1985 untuk mengujungi Universiti Kebangsaan, saya menyesal sekali tidak mulai dengan mengoleksi buku-buku lebih dulu karena mereka memiliki banyak sekali buku bekas dari Indonesia, seperti mengenai kesenian dan sejarah Indonesia.

Seperti lazimnya seorang kolektor, memburu buku-buku Melayu Tionghoa akhirnya menjadi obsesi saya. Hampir setiap minggu saya mengunjungi kios Abun di Pasarsenen, dan merasa sangat bahagia kalau dapat membawa pulang setumpukan buku atau majalah.

Pedagang di Muara Karang sempat bentrok dengan saya karena dia telah menjual buku-buku ini kepada Library of Congress (LOC) atas permintaan University of Wisconsin di AS. Untung kepala perwakilan perpustakaan ini, Gene Smith, teman baik saya dan dia memutuskan untuk selanjutnya menawarkan buku-buku ini kepada saya dahulu, sisanya baru boleh ditawarkan kepada LOC.

Namun, saya memang sering tidak berdaya karena harga sebuah buku sudah melonjak sampai Rp 8.000 - Rp 10.000,-. Sedangkan harga pertama yang saya bayar Rp 100,- per eksemplar. Tapi dengan para pedagang itu saya sampai saat ini menjalin hubungan baik.

Setiap kali saya mendapat petunjuk mengenai koleksi buku Melayu Tionghoa, saya pergi melihat. Di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, ada seorang yang agak nyentrik, Pak Jenggot namanya. Dia hanya mempunyai buku-buku silat, tetapi rumahnya kecil dan bukunya banyak sehingga ia harus memindahkan buku-buku itu lebih dulu agar tetamunya bisa duduk. Begitu juga kalau ia mau makan. Buku-buku dari meja makan harus dipindahkan dahulu ke lantai dan dikembalikan lagi seusai makan.

Memoar Putri Tjong A Fie

Fase ketiga adalah menulis tentang isi novel-novel itu. Kesempatan pertama datang pada 1984 ketika kelompok kerja mengenai wanita mengadakan seminar tentang wanita Indonesia. Saya membawakan makalah berjudul The Making of a Peranakan Chinese Women. Di situ saya menulis bagaimana seorang wanita peranakan Tionghoa dibesarkan dengan ajaran-ajaran Konfusius, yang sangat berdampak sampai masa kini.

Atas petunjuk Claudine, saya mengunjungi Medan. Di sana ada seorang wanita tua tengah menulis memoarnya. Sebagian memoar itu telah diterbitkan di sebuah majalah di Malaysia berjudul Memories of A Nonya. Pertemuan pertama dengan si penulis sangat mengesankan. Queeny Chang, nama wanita itu, mulai menulis memoarnya ketika sudah berusia 80 (cukilannya dimuat di Intisari Mei 1982). Ia putri konglomerat kaya Tjong A Fie. Selain memoar, Queeny juga menulis beberapa cerpen, yang pernah saya bahas untuk Majalah Archipel.

Memoarnya dibukukan dan diterbitkan di Singapura. Saya hadir pada peluncurannya di Pameran Buku Singapura dan melihatnya dikelilingi para penggemar yang berdesakan minta tanda tangan. Dia tertawa melihat saya dan membuat janji untuk jalan-jalan pada keesokan harinya. Saya jemput dia dengan taksi dan kami pergi bersama ke sebuah wihara tempat Queeny bersembahyang dan menyumbang lilin serta minyak sebagai rasa terima kasih. Tidak lama kemudian Queeny terserang stroke dan meninggal setelah beberapa tahun di Singapura.

Pada 1985 saya merasa ingin mengunjungi Makassar karena saya dengar di sana ada orang yang dahulu pernah menerjemahkan semua cerita silat dalam bahasa Lontara yang ditulisnya dengan sebuah pi, alat tulis yang dipakai orang Tionghoa. Kebetulan Claudine sedang menyusun tulisan mengenai Makassar, dan dia serta rekannya, Gilbert Harmonic, sedang menangani bagian sastranya. Dia minta agar saya dapat membantu.

Di Makassar saya menginap di rumah pasien suami saya yang juga mengantar saya ke tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Saya juga diperkenalkan dengan Yo Kau Chiau (Yang Wen Chiao), seorang penulis yang banyak menceritakan kepada saya tentang keadaan kesastraan di sana.

Saya diantar juga ke rumah Kwee Kheng Liong dan berjumpa dengan putri-putrinya yang membantu saya dengan permintaan Claudine, yaitu mencocokkan beberapa judul dengan ceritanya. Mereka memperlihatkan buku-buku itu yang berada di sebuah ruangan tingkat atas. Namun, ketika kami selesai, saya mendapatkan mereka asyik membaca cerita-cerita itu, dan tampaknya sudah lupa pada saya! Koleksi ayah mereka cukup banyak, tersimpan di beberapa lemari buku. Alangkah sayangnya kalau buku-buku itu tidak dipelihara dengan baik di masa yang akan datang.

THB, Bung Karno, dan Pil Kita

Saya juga pernah ke Slawi untuk mencari jejak Tan Hong Boen (THB), seorang penulis yang juga memakai nama samaran Im Yang Tjoe. THB memang luar biasa karena dia sebenarnya seorang wartawan yang sering mengkritik Belanda. Dia beberapa kali dipenjarakan, dan suatu kali pernah berada di penjara bersama Bung karno.

Dari pertemuan dengan Bung Karno, timbul gagasan untuk menulis biografinya. Di samping biografi Bung Karno itu THB menulis sejumlah novel yang menarik. Tapi, ia menjadi sangat terkenal karena ia pernah menyusun buku "apa dan siapa" berjudul Orang-orang Tionghoa Terkemuka di Pulau Jawa.

THB sudah meninggal ketika saya mengunjungi rumahnya di Slawi. Tapi, keponakannya berada di sana untuk mengurus Yayasan Ki Hajar Sukuwiyono yang didirikan untuk memberikan beasiswa kepada siswa-siswa sekolah dasar dan menengah yang tidak mampu di sekitar Slawi. Setiap tahun yayasan itu memberikan 45 beasiswa untuk murid SD, 17 untuk SLTP, dan delapan untuk SMU.

THB menjadi sangat kaya karena dalam perjalanannya keliling Pulau Jawa, yang selalu dia tempuh dengan sepeda dan mengenakan baju putih-putih, ia menemukan resep "obat" yang dia beri nama "Pil Kita", semacam vitamin yang berguna terutama bagi sopir-sopir yang harus menempuh perjalanan panjang.

Setelah membaca beberapa cerita silat, saya pun tertarik untuk menulis tentang Khoo Ping Ho (KPH), penulis kondang dari Solo. Saya bertemu dengan (almarhum) KPH setelah menanyakan alamat rumahnya kepada tukang becak. Ternyata semua orang di sekitar alamatnya kenal dengan penulis cerita silat ini. KPH sangat terbuka dan menceritakan seluruh riwayatnya kepada saya.

Saya juga mendapat kesempatan melihat percetakannya. Ada dua macam percetakan dipakainya. Yang satu sangat modern dengan alat-alat IBM untuk mencetak buku-buku. Yang lain percetakan lamanya, karena KPH tidak tega memberhentikan karyawan yang telah setia mengikutinya selama 30 tahun atau lebih. Mereka ditugaskan untuk pencetakan yang kecil-kecil seperti label untuk jamu, karcis parkir, dsb.

Buah karya KPH sungguh banyak dan memenuhi beberapa lemari. Ketika itu KPH juga masih aktif menulis cerita, antara lain untuk beberapa surat kabar daerah. Perkenalan dengan Bu Khoo juga sangat mengasyikkan. Wanita setengah baya ini ternyata hobinya mendaki gunung; hampir semua gunung di Jawa dan Sumatra telah didakinya.

Tulisan saya disajikan di sebuah simposium di San Franscisco dan diterima dengan baik, karena orang asing sangat tertarik pada cerita-cerita silat. Makalah itu kemudian diminta oleh Denys Lombard yang ingin memuatnya di Majalah Archipel. Sayangnya, ketika Archipel itu naik cetak, KPH meninggal. Untung saya masih diberi kesempatan menulis sedikit untuk mengenangnya di bawah artikel itu.

Pencipta Put On

Untuk mengumpulkan data tentang pengarang peranakan saya tidak selalu perlu menempuh perjalanan jauh. Di Jakarta saya juga berbincang dengan almarhum Kho Wan Gie (KWG), artis terkenal dari komik Put On. Put On adalah tokoh yang dimulai pada tahun 1930 di Harian Sin Po, dan berlangsung sampai tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia. Pada 1946 Sin Po terbit lagi tetapi pada 1962 ganti nama menjadi Warta Bakti dan akhirnya dibredel pada 1965.

Saya diterima oleh KWG dengan ramah. Dia berasal dari Indramayu, dan pernah datang pada suami saya untuk berobat. Karena suami saya tidak memungut bayaran dari orang sekampung, dia pernah menghadiahi kami sebuah lukisan yang ia buat di waktu senggang. Saya diizinkan membuat fotokopi semua karyanya. Di samping itu ia masih memberi saya beberapa Majalah Sin Po dari koleksinya.

Pada suatu hari saya ditelepon oleh seorang putranya yang memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal. Saya pergi melayat dan memberi tahu Arswendo Atmowiloto yang menulis sebuah "In Memoriam" mengenai orang yang luar biasa, yang pernah menghibur orang tua maupun muda di Indonesia dengan goresannya yang tampak sederhana tetapi penuh dengan humor ini.

Meskipun KWG telah meninggal pada 1983, saya baru mendapat kesempatan untuk membuat paper tentang dia di tahun 1995 ketika di Leiden diadakan lokakarya mengenai Jakarta. Dari Jakarta ada Julianti Parani dan Yasmine Shebab yang turut serta. Dari Belanda ada Leonard Blusse, Kees Grijns, seorang ahli bahasa Betawi, dan Remco Raben. Ketika saya membawakan paper dan mempertunjukkan beberapa komik dengan overhead projector, beberapa orang tertawa terbahak-bahak.

Di Jakarta saya juga berjumpa dengan Soe Lie Piet (SLP), juga seorang wartawan sekaligus penulis novel, ayah Soe Hok Djien dan Soe Hok Gie, dua aktivis mahasiswa di tahun 1965 - 1966. Soe Hok Gie meninggal pada 1969, tetapi Hok Djien, yang kini lebih dikenal dengan nama Arief Budiman, masih aktif di dunia politik. SLP juga pernah menulis sebuah penuntun pariwisata untuk Pulau Bali dan beberapa novel tentang kehidupan di Bali yang berjudul Lejak dan Jadi Pendita.

Saya juga bertemu dengan Ny. Tjoa Hin Hoey untuk bertanya mengenai ayahnya, pengarang dan redaktur pelbagai majalah, Kwee Tek Hoay (KTH). Banyak keterangan saya peroleh dari Ny. Tjoa, yang juga terkenal sebagai pengarang tetapi terutama sebagai pengasuh Majalah Istri sebelum PD II.

KTH menulis lebih dari 200 novel, buku mengenai agama, dan sandiwara; sungguh suatu prestasi luar biasa di zaman pra-komputer. Ia juga mengasuh beberapa majalah seperti Panorama, Moestika Romas, dan Moestika Dharma, di samping mempunyai pabrik tapioka di Cicurug karena mungkin tulis-menulis tidak memberikan penghasilan cukup.

KTH sangat peduli terhadap kaum wanita, terutama wanita muda yang berbakat menulis. Dia menganjurkan mereka untuk mengirimkan tulisan mereka ke Majalah Panorama. Setelah dikoreksi dia kirimkan kembali tulisan mereka. Barulah setelah diperbaiki, tulisan itu dimuat. Jadi, semacam kursus tertulis untuk mengarang.

Claudine dan saya masih sempat pergi ke Sukabumi menemui seorang pengarang, Hong-le-Hoa namanya. Ketika bertemu, Hong-le-Hoa sudah lanjut usia tetapi masih dapat menceritakan mengenai pelajaran yang ia dapat dari KTH. Sesudah itu ia juga ditugaskan untuk membentuk suatu persatuan jurnalis perempuan. Seruannya untuk bergabung dalam persatuan itu mendapat tanggapan dari Makassar, Semarang, Batavia, Bandung, Surabaya, dan Malang. Mereka saling mengirim foto dan juga pernah berkumpul di Bandung. Setelah mereka semua menikah, hubungan di antara mereka dilanjutkan dengan surat-menyurat.

Nyoo Cheong Seng "menemukan" Fifi Young

Pada 1986 timbullah gagasan untuk menerbitkan buku peringatan untuk merayakan 100 tahun KTH pada 1987. Kami mencari seorang penerbit, dan untunglah Aristides Katoppo dari Pustaka Sinar Harapan bersedia menerbitkan buku itu. Aristides menunjuk saya sebagai penyunting, dan untuk menghubungi beberapa penulis.

Sumbangan datang dari Prancis, Singapura, Selandia Baru, Australia, Jerman, dan dari Indonesia ada Jakob Sumardjo dan saya. Ada yang sanggup menulis mengenai pandangan KTH tentang pendidikan. Ada yang ingin menulis tentang pandangan politiknya. Saya sendiri ingin menangani pandangannya terhadap kaum wanita. Beberapa orang ingin menulis tentang karya-karya sastranya atau pandangan agamanya. Bahkan ada yang mau menulis tentang karya-karyanya yang berhubungan dengan mistik. Ny. Tjoa sendiri berjanji menulis sebuah biografi singkat tentang ayahnya. Maka lengkaplah tulisan kami mengenai penulis yang luar biasa ini.

Sebagai penyunting saya mendapat tugas untuk menyunting dan sekaligus menerjemahkan tulisan dari luar negeri. Namun, ketika penerbit mendapat kesukaran dalam mengumpulkan dana untuk mencetak buku itu, sayalah yang ditugaskan untuk "menodong" beberapa calon sponsor. Meskipun tugas itu cukup berat, saya senang karena berhasil mendapat bantuan dari beberapa teman baik, dan buku diterima dengan baik di kalangan para pakar.

Ketika ingin mempelajari karya-karya KTH di Perpustakaan Nasional, saya pernah diberi majalah yang salah oleh petugas. Yang diberikan adalah Interocean, sebuah majalah tentang perkapalan. Saya membacanya dan memperhatikan bahwa pada 1923 redaktur diganti, dan setelah itu majalah tersebut menjadi majalah kesastraan. Tulisan-tulisannya sangat indah dan menarik serta kebanyakan buah pena sang redaktur, Nyoo Cheong Seng (NCS). Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata NCS baru berusia 21 tahun saat itu. Seorang pemuda berbakat yang penuh cita-cita dan telah dikenal sebagai penulis karena sumbangannya kepada Harian Sin Po dan Hoa Po.

Di samping pekerjaannya sebagai redaktur, NCS juga anggota aktif dari kelompok sandiwara amatir, Soen Thian Gie Hie. Ia sendiri turut serta sebagai pemain, dan pernah sekali mengambil peran sebagai pembantu rumah tangga. Ia pernah menulis naskah sandiwara berjudul Lady Yen Mei. Di situ ia mengkritik orang-orang kaya yang pelit. Dalam sandiwara itu ia menempatkan seorang ibu rumah tangga dari kalangan atas sebagai pemeran utama dan menyebabkan polemik di media masa karena publik merasa tidak pantas ada wanita peranakan yang turut serta dalam aktivitas hiburan.

Tahun 1926 ia meninggalkan Interocean dan bergabung dengan kelompok sandiwara Miss Riboet's Orion di Batavia. Di kelompok itu ia bertemu Tan Kiem Nio, gadis cantik berdarah campuran Cina dan Prancis dari Sungai Liput di Aceh. Ia nikahi Kiem Nio dan membimbingnya menjadi pemain teater yang tidak ada tandingannya ketika itu. Tahun 1932 mereka meninggalkan Orion lalu bergabung dengan Moonlight Crystal Follies di Singapura.

Kiem Nio mengambil nama Fifi Young sebagai nama aktris. Fifi diilhami bintang film Prancis yang terkenal di masa itu, Fifi d'Orsay, dan Young adalah ucapan bahasa Mandarin untuk "Nyoo". Ia sukses besar karena sangat cantik, lagi pula piawai dalam akting dan menari. Kalau mereka bermain di Kuala Lumpur, gubernur Malaya sering datang menonton, dan dialah yang selalu memimpin seruan, "One, two, three, we want Fifi!"

Dengan Fifi, NCS mendapat dua putra dan seorang putri yang mengikuti jejak ibunya. Dua putri lagi meninggal ketika masih bayi, dan NCS menulis karangan yang indah untuk mengenang mereka. Setelah PD II NCS mengalami banyak kesulitan. Ia jatuh cinta pada seorang aktris muda bernama Mipi Malenka. Mipi hanya diberi peran sebagai pemain pembantu sehingga punya banyak waktu luang untuk membantu Nyoo mengetik karangan-karangannya.

Menurut pengakuan NCS sendiri di novelnya Dendang-dendang Makassar, ia sering menulis syair-syair cinta kepada Mipi, yang dia tinggalkan di mesin tik. Setelah membaca, Mipi pun membalas cintanya melalui syair-syair yang ditinggalkan di mesin tik juga. Ketika cinta sudah tidak tertahankan lagi, mereka pun menikah, dan Nyoo membawa Mipi pulang sebagai istri muda. Fifi menerima keadaan ini dan bahkan mendampingi ketika Malenka melahirkan putranya.

Namun, untuk tinggal serumah tentu agak sulit bagi Mipi yang masih belia. Ia meninggalkan rumah dengan membawa putranya, konon ke Makassar. NCS pergi mencarinya tetapi tidak dapat menemukan. Di sana ia malah mendapat tawaran dari Djamaludin Malik untuk membantu dalam kelompok teaternya. Di Makassar ia bertemu Hoo Eng Djie dan beberapa sastrawan lain serta sempat menulis beberapa novel tentang mereka. NCS kemudian bercerai dengan Fifi dan hijrah ke Malang. Di kota ini ia diterima di kalangan seniman yang kira-kira sebaya, dan merasa sangat betah. Oleh teman-teman barunya ia dijodohkan dengan Huang Lin, janda muda dan guru di sekolah Tionghoa.

Ong Kian Bie, fotografer hebat

Dalam pencarian, saya banyak dibantu oleh Hadi Susastro, direktur eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS). Hadi pernah mendapat les piano dari putra Huang Lin dan langsung menghubungi bibinya untuk minta alamat Huang Lin. Setelah mendapat alamat dari Bu Istanto, berangkatlah saya ke Malang. Pertemuan dengan Huang Lin sangat mengharukan karena ia merasa NCS membuatnya sangat bahagia setelah pernikahan pertamanya gagal. Sayang sekali pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Sesudah 10 tahun menikah NCS meninggal pada 1962 karena sakit liver. Tetapi selama itu mereka hampir setiap minggu pergi piknik. Huang Lin diberi les dansa ballroom dan paling sedikit sebulan sekali mereka pergi dansa dengan teman-teman.

Mereka sempat membuka sebuah toko kembang yang diberi nama "Malang Mignon" (mignon adalah bahasa Prancis untuk mungil). Untuk setiap pesanan NCS menyertai syair kecil. Setelah ia meninggal banyak orang masih minta syair untuk karangan bunga mereka, tetapi Huang Lin tidak dapat membuat syair.

Ketika masih hidup, NCS pernah menyatakan niatnya untuk membuat autobiografi. Tetapi ketika dicari, ternyata ia tidak sempat menulisnya karena selalu dibanjiri permintaan-permintaan untuk menulis sandiwara atau cerpen. Sering ia bekerja sampai larut malam. Setelah NCS meninggal, Huang Lin merasa sepi karena tidak lagi mendengar suara mesin tiknya dan bunyi keriak-keriuk NCS mengunyah emping belinjo, camilan kegemarannya. Ia merasa sangat bahagia karena dihormati anak-cucu NCS.

NCS mungkin satu-satunya yang pernah menulis tentang dirinya sendiri. Kalau saya membaca cerita bahwa di mancanegara ada yang dapat menggali riwayat hidup orang terkenal dari surat-surat atau catatan harian yang ditulisnya, seperti Virginia Woolf, Ernest Hemmingway, saya merasa iri hati. Para penulis Indonesia tidak menyimpan surat-suratnya, dan kalaupun pernah menulis catatan harian, buku itu mungkin telah musnah atau dimusnahkan.

Saya tentu tidak akan berhenti mencari meskipun tahu bahwa tugas itu tidaklah mudah. Dalam bentuk sketsa-sketsa kecil ini, saya ingin memberi penghormatan yang layak kepada para pengarang itu yang biasanya tidak diberi perhatian, apalagi penghormatan. Mudah-mudahan saya dapat mengumpulkan lebih banyak mengenai penulis-penulis lain di masa yang akan datang. Sumber : Handlestraat , Intisari
readmore »»  

Peranan Perempuan Tionghoa Indonesia

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, budaya orang Indonesia Tionghoa dikenal memiliki kekhasan yang berbeda dari budaya etnik lain. Dapat dikatakan budaya masyarakat Indonesia Tionghoa sebetulnya hibrida dari budaya China yang dibawa orang-orang China yang datang ke Indonesia dan budaya lokal di mana orang-orang China tersebut menetap. Berbicara tentang budaya hibrida orang Tionghoa, yang sering terlupakan adalah peran penting perempuan Tionghoa sebagai pelangsung dan pembentuk budaya hibrida ini karena kehidupan mereka yang "diam" atau "terdiamkan". Seperti sudah banyak ditulis dalam buku-buku Leo Suryadinata, Charles Coppel, dan Myra Sidharta, kedatangan orang China ke Indonesia pada mulanya tidak disertai istri mereka yang ditinggal di negaranya.

Kehidupan yang cukup lama di Indonesia memaksa mereka mengambil perempuan lokal sebagai istri. Keturunan dari perkawinan antara orang China dan penduduk setempat itu menurun kelompok yang dikenal sebagai Tionghoa peranakan. Biasanya lelaki China yang kembali ke China hanya membawa anak laki-laki, sedangkan anak perempuan ditinggal dan dipelihara ibu mereka yang orang setempat. Dari ibu-ibu anak-anak peranakan inilah mereka belajar budaya lokal dan mencampurnya dengan kebiasaan orangtua mereka yang China sehingga muncul budaya hibrida di kalangan mereka dan keturunannya.

Hal paling menonjol yang bisa kita saksikan dalam budaya hibrida apalagi kalau bukan urusan domestik yang sering kali diidentikkan dengan urusan perempuan. Di sekitar pekerjaan domestik inilah biasanya keseharian hidup perempuan. Yang tampak jelas adalah dalam hal busana, makanan, dan bahasa sehari-hari.

BUSANA

Anak-anak perempuan peranakan Tionghoa belajar mengenakan kebaya dan sarung yang biasa dikenakan perempuan setempat di Jawa. Untuk membedakan mereka dari perempuan setempat biasanya motif sarung dan kebaya dibuat berbeda. Batik pekalongan dan lasem dikenal sebagai batik yang bercorak khusus yang dipakai perempuan Tionghoa. Kebayanya juga dikenal sebagai "kebaya encim" yang biasanya ada bordiran di tepi baju.

Kalaupun busana seperti itu sudah jarang kita temui dikenakan oleh masyarakat Tionghoa perempuan sebagai busana sehari-hari, busana ini sudah dimodifikasi sehingga menjadi busana anggun yang banyak dikenakan perempuan Indonesia modern untuk acara hajatan dan acara resmi. Pada umumnya perempuan Tionghoa sejak kecil sudah diajarkan memasak oleh ibunya karena mereka diharapkan kelak dapat mengurus rumah tangga bila sudah menikah.

Para istri orang setempat yang menikah dengan orang China pasti akan berusaha belajar memasak masakan yang biasa dimakan suami Chinanya dengan cara masak dan bumbu-bumbu yang didapat di tempatnya. Dari sinilah muncul masakan yang dinamai dengan nama China, tetapi berselera lokal. Seperti kalau kita makan cap cai, kwetiau, dan berbagai jenis mie. Masakan China yang dimasak di Indonesia tidak lagi memiliki rasa yang sama dengan masakan yang dimasak di China. Masakan hibrid ini ternyata juga digemari orang-orang Tionghoa hingga sekarang maupun oleh orang Indonesia umumnya.

BAHASA

Bahasa yang digunakan orang Tionghoa bisa juga kita sebut sebagai bahasa hibrida. Jarang sekali kita jumpai di kelompok lain di mana kata sapaan mencampurkan dua kata dari budaya berbeda. Contohnya, pada beberapa kelompok masyarakat Tionghoa tertentu, sapaan 'kohde', 'cikngah', dan 'kulik' merupakan gabungan dari dua kata 'engkoh gede', 'tacik tengah', dan 'engku cilik'. Kata pertama berasal dari dialek China, sedangkan kata kedua dari bahasa Jawa. Cara ini mirip dengan cara orang Jawa menyapa, misalnya, 'paklik', 'pakde', atau 'bulik' dan 'bude'. Contoh lainnya adalah 'gue'/'gua' (saya), berasal dari bahasa Tionghoa (dialek Hokkian) 'wa'.

Dari lebih 1.000 kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa China atau dialek China (ditulis dalam buku Kong Yuanzhi Silang Budaya Tiongkok-Indonesia). Yang menarik, dari sekian banyak kata tersebut, yang paling banyak adalah kata-kata yang berhubungan dengan kekeluargaan, makanan dan minuman, serta alat-alat dapur dan rumah tangga. Tentu peranan perempuan Tionghoa di sini amat penting karena pada dasarnya perempuanlah yang sering kali menjadi penerus budaya. Perempuan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kebiasaan sehari-hari dan bagaimana mereka harus hidup, sedangkan suami pada umumnya merasa lebih bertanggung jawab mencari uang untuk keluarga.

Meski demikian, dari sekian banyak buku tentang kehidupan orang Tionghoa, sedikit sekali kita jumpai tentang kehidupan perempuan Tionghoa dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Myra Sidharta dan Melly G. Tan sudah sering mengangkat nama perempuan Tionghoa yang sudah banyak berjasa bagi bangsa Indonesia. Mereka sudah berkiprah di hampir semua bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, susastra, dan pendidikan. Meski demikian, secara umum peranan perempuan Tionghoa masih terasa "terdiamkan", mungkin karena pada umumnya mereka lebih biasa "diam". Sumber : SaintFreeze

Ditulis oleh Esther Kuntjara, Dosen Fakultas Sastra UK Petra, Surabaya
Sedikit tambahan oleh Andung Tan
readmore »»  

Mengenang Siau Giok Tjhan

Pada tanggal 20 November 1981, secara mendadak Siauw Giok Tjhan meninggal dunia, jauh dari tanah air yang ia cintai. Ia meninggal 30 menit sebelum memberi ceramah di dalam sebuah forum terbuka yang diselenggarakan oleh para mahasiswa sejarah dan para akhli Indonesia di Universitas Leiden.

Ceramah yang tidak sempat dipersembahkan Siauw berjudul: Kegagalan Demokrasi Parlementer di Indonesia. Ia tentunya bermaksud mencerJustify Fullitakan pengalamannya sendiri sebagai seorang anggota lembaga legislatif Indonesia dari tahun 1946 hingga tahun 1966, di saat mana, demokrasi, walaupun demokrasi terpimpin, berakhir. Di dalam ceramah itu, Siauw bermaksud untuk mencanangkan optimisme-nya, bahwa kekuasaan militer di Indonesia tidak akan berhasil mengalahkan kekuatan rakyat yang menginginkan demokrasi dan pada akhirnya rakyat Indonesia akan menikmati alam demokratis.

Tempat wafatnya Siauw – di dekat salah satu gedung Universitas Leiden – merupakan tempat simbolis bersejarah. Karena di universitas inilah semangat perjuangan melawan rasisme yang dikembangkan oleh Nazi dimulai di negeri Belanda, ketika Rektor Cleveringa mengajak para kolega dan mahasiswa-nya untuk mogok sebagai tanda protes terhadap dikeluarkannya mahasiswa-mahasiswa Yahudi. Tempat itu simbolis, karena Siauw Giok Tjhan adalah seorang pemimpin karismatik di Indonesia yang dengan gigih melawan diskriminasi rasial yang ditujukan terhadap golongan Tionghoa.

Akan tetapi simbol tempat yang dimaksud di atas tidak lagi relevan bilamana kita bandingkan objektif perjuangan golongan Yahudi di Eropa dan golongan Tionghoa di Indonesia.

Pada akhir abad ke 19, seorang wartawan Austria bernama Theodor Herzl mendorong kelahiran gerakan Zionisme di Eropa, yang setelah perjuangan sengit selama lima dekade dan holocaust di era Nazi, berhasil mendirikan sebuah negara yang dinamakan Israel. Pada awal abad ke 20, orang Tionghoa di Indonesia tidak menginginkan hapusnya golongan mereka sebagai golongan terpisah. Mereka ingin memperbaiki posisi dan status mereka dengan jalan memperkuat posisi komunitas mereka dan membantu usaha memperkuat Tiongkok sehingga ia mampu mencegah penindasan terhadap golongan Tionghoa di luar Tiongkok.

Pada tahun 1934, wartawan muda Siauw Giok Tjhan, yang baru saja lulus dari HBS di Surabaya, memilih jalan lain. Ia masuk Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Orang yang bergabung di dalam partai ini menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka dan oleh karena itu, mereka mendukung perjuangan para pejuang nasionalis mencapai kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, partisipasi Siauw di dalam gerakan mencapai kemerdekaan di zaman kolonial Belanda itu masih berkaitan dengan jaringan komunitas peranakan Tionghoa yang tidak memiliki banyak persamaan dengan mereka yang berasal dari komunitas Tionghoa totok. Bahkan, dalam banyak hal, kedua komunitas itu saling bertolak belakang.

Sebagai editor harian Mata Hari yang menyalurkan aspirasi perjuangan mencapai Indonesia Merdeka dan yang pada masa peperangan Sino-Jepang bersikap anti Jepang, nama Siauw berada di dalam daftar orang yang harus ditahan oleh Jepang ketika mereka masuk dan menduduki Indonesia pada tahun 1942. Anehnya, Jepang membiarkan Siauw, yang berhasil meloloskan diri dari penangkapan di Semarang, hidup sebgai seorang pemilik toko eceran di kota Malang selama masa pendudukan Jepang. Di masa pendudukan Jepang itulah, Siauw berkesempatan untuk meninjau berbagai masalah politik dan memformulasi rencana perjuangan di saat perang dunia ke II berakhir. Pada waktu itu Siauw sudah melihat bahwa ada kemungkinan Indonesia menjadi negara yang merdeka, tetapi sebagai bagian dari “Kemakmuran Bersama” – Commonwealth Belanda dengan status “dominion”.

Di masa itulah, Siauw tampil pertama kalinya sebagai seorang pemimpin masyarakat yang cakap. Dengan menggunakan posisinya sebagai pemimpin Kebotai (semacam polisi Tionghoa) yang diciptakan oleh Jepang, Siauw menjalin hubungan erat dengan para pemimpin organisasi-organisa si para-militer Indonesia yang diciptakan oleh Jepang. Ia mengirakan bahwa organisasi-organisa si para-militer ini akan memainkan peranan penting setelah Jepang meninggalkan Indonesia.

Perkiraan Siauw ternyata tepat. Organisasi-organisa si perjuangan yang revolusioner pada tahun 1945 berasal dari organisasi-organisa si para-militer tersebut di atas. Dan, terjalinnya hubungan baik antara Siauw dan para pemimpin organisasi-organisa si pemuda ini menguntungkan posisi Siauw sendiri. Ia tampil sebagai seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang bisa diterima di Jawa Timur, karena ketika itu tidak banyak sosok Tionghoa yang memiliki pengalaman dalam berjuang.

Ia memperingatkan komunitas Tionghoa, baik yang peranakan maupun yang totok, bahwa kebahagiaan golongan Tionghoa di Indonesia hanya bisa dipastikan tercapai kalau mereka turut berpartisipasi dalam gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1945, ia mendirikan Angkatan Muda Tionghoa. Untuk membuktikan para pejuang Indonesia lainnya bahwa komunitas Tionghoa tidak berpeluk tangan, pada tanggal 9 November 1945, ia mengajak beberapa pemuda Tionghoa dari Malang untuk pergi ke medan pertempuran di Surabaya. Pada tanggal 10 November itu, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan, kelompok Malang itu menemui beberapa pemuda Tionghoa yang juga turut dalam barisan pemuda Indonesia.

Akan tetapi Siauw beranggapan bahwa berjuang untuk revolusi Indonesia sebagai kelompok terpisah adalah tindakan yang salah. Pada waktu itu, para mantan pemimpin PTI sudah memutuskan untuk tidak lagi mendirikan partai yang berasaskan suku atau golongan etnis di zaman kemerdekaan. Oleh karena itu, Siauw, pada tahun 1946, masuk Partai Sosialis, partai gabungan antara partai-partai yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Sjahrir.

Pada tahun 1946, Siauw diangkat sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan antara tahun 1947 dan 1948, ia menjadi menteri negara dengan tugas khusus, memobilisasi potensi sosial dan ekonomi masyarakat Tionghoa dalam mendukung Republik yang baru terbentuk itu. Pada masa yang sama, Siauw turut dalam Inter-Asian Relations Conference yang diselenggarakan di New Delhi, India. Walaupun kehadirannya di KNIP terganggu dengan penahanannya sebagai akibat Peristiwa Madiun dan Serangan Belanda antara tahun 1948 dan 1949, Siauw tetap mempertahankan keanggotaan di Badan Pekerja KNIP. Setelah kedaulatan Indonesia diakui penuh pada tahun 1950, Siauw menjadi anggota DPR dan masuk ke dalam fraksi SKI (Serikat Kerakyatan Indonesia), yang terdiri dari tokoh-tokoh Batak.

Sumbangan penting Siauw di dalam sejarah Indonesia berkaitan dengan cara penyelesaian masalah minoritas Tionghoa yang ia canangkan. Ketika beberapa tokoh Tionghoa ingin mendirikan sebuah organisasi yang akan dinamakan Baperwatt (Badan Permusyawaratan Warga Turunan Tionghoa) pada tahun 1954, untuk menyelesaikan masalah kewarganegaraan Indonesia yang dihadapi golongan Tionghoa, ia diundang untuk membantu melahirkan organisasi ini.

Pengalamannya dalam bidang politik dan reputasi politiknya di dalam berbagai kancah politik menyebabkan ia memiliki kewibawaan politik yang tinggi. Oleh karena itu, dalam rapat pembentukan Baperwatt yang diselenggarakan pada tanggal 13 Maret 1954, Siauw berhasil meyakinkan para peserta rapat untuk mengubah rancangan anggaran dasar Baperwatt. Ia menyatakan bahwa penyelesaian masalah minoritas Tionghoa merupakan bagian dalam perwujudan nasion Indonesia.

Siauw juga menekankan bahwa banyak tokoh politik nasional ketika itu telah mengabaikan tugas sejarah – mewujudkan nasion Indonesia – yang penting ini. Karena mereka menaruh kepentingan partai dan pribadi di atas kepentingan membangun nasion Indonesia, mereka telah melanggar Undang-Undang Dasar yang menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban bagi semua Warga Negara Indonesia. Mereka menjalankan praktek-praktek diskriminasi rasial terhadap masyarakat Tionghoa yang banyak sudah menjadi WNI.

Menurut Siauw, kebijakan rasialistis ini harus dilawan dengan tindakan-tindakan positif dengan meyakinkan seluruh rakyat Indonesia bahwa di negara Indonesia, hanya ada satu bangsa, yaitu bangsa (nasion) Indonesia. Oleh karena itu, organisasi yang dibentuk, menurut Siauw, tidak bisa bernamakan Baperwatt, melainkan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia).

Untuk menunjukkan komitmen-nya, Siauw mendorong dipilihnya kawan lamanya, Sudarjo Tjokrosisworo, seorang wartawan kawakan dari golongan yang dinamakan “asli”, menjadi ketua Baperki cabang Jakarta Raya yang dibentuk pada tanggal 14 Maret 1954.

Akan tetapi, tindakan ini tidak menolong timbulnya persepsi masyarakat dan catatan dalam sejarah bahwa Baperki merupakan organisasi Tionghoa. Walaupun demikian, Siauw senantiasa menyatakan bahwa terpisahnya suku-suku dan golongan-golongan etnis di Indonesia itu adalah warisan kolonialisme dan Baperki mendorong terwujudnya integrasi politik dan sosial golongan Tionghoa di dalam tubuh nasion Indonesia dalam memperbaiki posisi rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Di dalam praktek politik Baperki menganjurkan agar unsur-unsur sosial dalam masyarakat peranakan berintegrasi, memasuki organisasi-organisa si mayoritas yang terbuka bagi semua warganegara sesuai dengan selera masing-masing. Hendaknya pemuda atau mahasiswa peranakan berintegrasi dengan pemuda atau mahasiswa mayoritas dalam satu organisasi; kaum buruh peranakan menjadi anggota-anggota serikat buruh mayoritas, kaum guru peranakan berintegrasi dalam PGRI, dan seterusnya.

Sikap ini ternyata dihargai oleh banyak tokoh nasionalis, termasuk Presiden Soekarno yang kemudian mendukung perjuangan Baperki.

Di bawah pimpinan Siauw Baperki berkembang sebagai organisasi yang mampu melindungi posisi massa-nya, masyarakat Tionghoa di Indonesia dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik. Baperki berkembang menjadi organisasi massa Tionghoa terbesar di dalam sejarah Indonesia. Kenyataan ini, yang terwujud karena dukungan Presiden Soekarno dan banyak tokoh kiri, terutama mereka yang berasal dari PKI, menyebabkan kehancuran Baperki dan banyak pemimpinnya ditangkap ketika kekuasaan pemerintahan jatuh ke tangan Jendral Soeharto pada tahun 1965-1966.

Sebagai seorang Marxist, Siauw Giok Tjhan sadar bahwa keberadaan diskriminasi rasial tidak diciptakan dalam situasi “kosong” (vacuum). Ia berkembang akibat adanya struktur ekonomi sosial peninggalan kolonialisme Belanda. Pada awal perkembangan Baperki, Siauw menyatakan harapannya agar segera tercipta iklim politik di dalam masyarakat Indonesia yang tidak memungkinkan berkembangnya diskriminasi rasial. Sebuah formulasi yang agak kabur, akan tetapi dapat diterima oleh banyak pimpinan politik pada masa itu. Setelah tahun 1959, terutama di dalam zaman Demokrasi Terpimpin, mengikuti irama dan slogan politik yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno, formulasi Siauw menjadi tegas. Perkataan “masyarakat” diubah menjadi “masayarakat sosialis”. Perkataan “integrasi” diubah menjadi “integrasi revolusioner” .

Oleh musuh-mush politik Baperki, terutama mereka yang mencanangkan konsep “assimilasi total”, pernyataan-pernyata an Baperki yang didasari oleh formulasi Soekarno ini, dianggap mengandung komunisme. Dengan sendirinya, musuh-musuh Soekarno, terutama banyak perwira Angkatan Darat mendukung kelompok yang menentang konsep “integrasi” dan mendukung konsep “asimilasi total”. Yang dimaksud dengan “assimilasi total” ternyata hanyalah digantinya nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama Indonesia dan hilangnya kebudayaan Tionghoa. Mereka tidak menganjurkan atau memaksakan pergantian agama ke Islam dan kawin campuran. Yang menjadi dasar program assimilasi itu sebenarnya adalah anti-komunisme dan karena itulah program itu diterima oleh sekelompok masayarakat pada ketika itu.

Dengan jatuhnya Soekarno dan dihancurkannya PKI dan partai-partai yang mendukung demokrasi, Baperki turut diserang oleh kelompok kanan.

Pimpinan Baperki menyadari bahwa corat-coret pada dinding-dinding kota sangat berbahaya sebab merupakan kampanye hasutan untuk melancarkan program anti-Tionghoa. Siauw Giok Tjhan, ketua umum Baperki mengajak saya berlobby kepada beberapa menteri yang kami rasa mempunyai simpati terhadap Baperki dan cukup luas pandangannya untuk mengerti betapa gawatnya situasi bagi orang Tionghoa. Diantara menteri yang kami kunjungi adalah Wakil Perdana Menteri I Subandrio.

Siauw menyatakan: “Saya ketua umum Baperki. Saya bertanggung jawab atas tindak tanduk Baperki. Saya minta sekarang ditangkap dan minta hakim membuktikan bahwa tuduhan-tuduhan terhadap Baperki itu benar”. Subandrio hanya menjawab dalam bahasa Ngoko: “aku pahami bahwa kalian khawatir, tapi ketahuilah bahwa aku sendiri takut sebab tidak tahu apa dampak kejadian ini semua. Hanya satu yang kalian boleh tahu. Kalau aku berjumpa dengan Aidit akan kucaci-maki dia”.

Usaha Siauw untuk meredakan arus anti-Tionghoa gagal. Pada bulan November 1965, Siauw Giok Tjhan ditahan. Saya sebagai salah seorang pemimpin Baperki juga ditahan pada bulan yang sama.

Pada waktu saya meringkuk sebagai tahanan politik , lebih dulu di Kilidikus (Kompi Penyelidik Khusus) Lapangan Banteng, kemudian di penjara Salemba dari akhir 1965 sampai 1966, saya hanya satu kali diperiksa dalam rangka apa yang dinamakan penumpasan G30S.

Pemeriksaan itu yang dinamakan interogasi bagi saya merupakan pengalaman sejarah yang dengan gamblang membuktikan bahwa Orde Baru (Orba) diilhami oleh ideologi Nazi Jerman. Istiláh Orde Baru ternyata merupakan terjemahan konsepsi Hitler untuk mewujudkan Neuordnung Europas: Orde Baru Eropa.

Dalam interogasi itu kepada saya diberlakukan azas sebuah negara totaliter : pembalikan fakta dan adanya pelanggaran kaidah negara hukum bahwa penguasalah yang harus membuktikan bahwa seorang terdakwa telah melanggar hukum.

Saya ditanya apa sebab saya ditahan, bukan jaksa yang memberitahukan kepada saya mengapa saya ditahan. Jawab saya singkat: saya tidak tahu. Tanya jaksa: kalau begitu jawablah apa sebab Baperki dilarang oleh semua Pepelrada. Jawab saya: saya tidak tahu tapi saya bisa menerka. Kemudian sang jaksa menyetujui saya untuk bercerita sbb:

Dasar moral kaum Nazi untuk membasmi seluruh umat Yahudi bisa diketemukan dalam buku penyair resmi partai Nazi NSDAP, namanya Dietrich Eckart dan buku yang saya maksudkan berjudul : Der Bolschewismus von Moses bis Lenin, bolsyewisme (komunisme) - sedari nabi Musa sampai Lenin. Dalihnya berbunyi bahwa Yahudi dan komunis itu sinonim. Tidak peduli dia bankir raksasa bernama Rothschildt atau penyair termashur Heinrich Hein mereka komunis, sebab YAHUDI.

Sejalan dengan paham rasis ini sekarang di Indonesia sedang didalihkan bahwa karena RRT negara komunis maka semua orang Tionghoa adalah komunis dan pemimpin-pemimpin masyarakatnya - dalam hal ini terutama yang dari Baperki harus diamankan.

Betapa ganjil prasangka ras ini dapat dilihat dari cora-tcoret pada dinding-dinding kota Jakarta yang berbunyi: “Baperki cukong atau kasir PKI”, tapi sekaligus juga: “Baperki antek atau jongos PKI”. Saya simpulkan bahwa anti-semitisme Nazi sama dengan anti-sinicisme ORBA dengan satu kekecualian. Nazi Jerman dalam undang-undangnya dan pengumuman resmi tidak menggunakan istilah hina Saujude melainkan hanya Jude. Sedangkan oleh ORBA istilah hina Cina digunakan secara resmi, bukan Tionghoa.

Siauw dibebaskan pada bulan Mei 1978 tanpa prose pengadilan apapun. Kartu Penduduknya dibubuhi tanda ET (Eks Tapol). Pada bulan September 1978, ia pergi ke negeri Belanda untuk berobat. Penderitaan di penjara yang berkepanjangan telah mengakibatkan satu matanya buta, satu matanya yang lain hanya memiliki visi 70% dan ia memiliki sakit jantung yang cukup parah.

Pada waktu ia wafat, kelompok yang mendukung assimilasi kelihatannya menang di atas angin. Akan tetapi, kelompok ini ternyata gagal melahirkan tokoh berkaliber Siauw Giok Tjhan yang memiliki visi politik yang luas dan besar. Memang, di zaman Orde Baru yang diciptakan Soeharto, tidak akan mungkin tumbuh pemimpin berkaliber Siauw Giok Tjhan. Yang mungkin tumbuh adalah cukong-cukong yang menjadi kronies pimpinan Orde Baru.

Perjuangan Siauw untuk terwujudnya nasion Indonesia yang ia selalu katakan sebagai nasion yang tidak mengenal diskriminasi rasial dan terwujudnya masyarakat di mana setiap orang bebas dari rasa takut di anak-tirikan, adalah perjuangan, yang menurut Siauw sendiri, memerlukan waktu panjang. Keyakinan ini, yang ia dengan teguh pertahankan hingga detik terakhir dalam hidupnya, membuat Siauw seorang “nation-builder” yang gugur sebagai seorang patriot Indonesia. Ia adalah seorang sosialis yang ingin membawa golongannya berintegrasi ke dalam tubuh nasion Indonesia tanpa menanggalkan kebudayaannya. Sumber : Saurlin
readmore »»  

Trauma Sejarah Masa Lampau Tionghoa

Tragedy masa lampau adalah peristiwa-peristiwa negatif yang terjadi masa silam. Peristiwa adalah dimana orang tidak lagi menjadi tuan atas dirinya , dan terseret secara tak berdaya yang tidak mampu di lawan atau dikendalikan. Hasil dari peristiwa negatif adalah trauma , yang bisa dengan drastis mengubah sikap individu atau kelompok. Walau trauma adalah ekses dari suatu peristiwa , tetapi dia bersifat seperti kamera dengan night mode , membekukan peristiwa , dengan tangan yang gemetar , dan dengan hasil jepretan yang blur , yang akhirnya mengabadikan peristiwa yang sesungguhnya.

Dalam keadaan trauma , yang di pikirkan adalah melebih-lebihkan sisi gelapnya. Dan mengembik seperti kambing . Saya , kenapa saya . Kita , kenapa kita mengalami semua ini? Masa lampau telah lama lewat , dan trauma terus menjerumuskan manusia terus berkubang kepada masa lampau. Terjadi mekanisme repetitif antara mengingat disaat ingin melupakan , vice versa. Hasil dari semua itu adalah prasangka …

Contoh mekanisme repetitif adalah pembahasan memamah biak kembali masa lampau , yang lebih menyerupai mengindoktrinasi massa. Alih - alih mencegah terjadinya perulangan peristiwa negatif seperti kerusuhan Mei , dan kerusuhan lainnya , tetapi hanya menumbuhkan prasangka. Jika di tarik mundur terus ke belakang , inilah penyebab terjadinya perang sepanjang masa. Karl May dalam “Et Pax In Terra” mengatakan ,” Pada mulanya prasangka. Tentu kita melihat hasil tersebut dalam konflik abadi Sinhala dan Tamil yang berusia ratusan tahun. Dan konflik Israel - Arab yang telah berusia ribuan tahun. Prasangka tumbuh besar dan sehat menjadi dendam , permusuhan abadi.

Martin Heideger dalam Discourse of Thinking mengatakan. Massa tidak pelupa , tetapi tidak berpikir . Dalam ketidak berpikiran , massa tidak hanya melupakan , tetapi juga mengingat. Bagian dari ketidak berpikiran adalah prasangka. Dalam pembahasan Nanking . Disini pembahasan yang sempat marak di milist ini lebih menonjolkan emosi daripada rasio. Begitu pula dalam pembahasan lain seperti Soeharto , Cina vs Tionghoa , Kamp konsentrasi .

Orang berlomba mengklaim mengetahui sejarah , dan memanfaatkan sejarah untuk menuding pihak lain (Andaikan Soeharto tidak begini , maka saya tidak akan bernasib begitu), memanfaatkan sejarah untuk menghibur diri (kebudayaan tionghoa yang banyak dicuri oleh barat).Tetapi saya menangkap adanya impotensi dalam menangkap makna sejarah. Berandai - andai dalam dunia yang sempit , andaikan Soeharto tidak begini maka Aku tidak akan begitu. Padahal ada keterkaitan antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Dalam kasus Nanking , ataupun agresi Jepang. Yang disorot adalah dampak kekejamannya saja.

Kenapa perandaian tidak diperluas jauh lebih kompleks. Andaikan Jepang tidak menyerbu Tiongkok , Chiang Kai Sek tetap bercokol di Tiongkok , dan Tiongkok segera akan di pengaruhi Barat. Dalam kausalitas yang sangat kompleks, agresi Jepang menyebabkan Tiongkok semakin kuat. Kenapa tidak dipikir sampai kesana? Dalam kasus Hitler - Yahudi pun demikian , andai tidak terjadi holocaust , negara Israel tidak akan berdiri , dan Amerika Serikat masih tertinggal dari Eropa. Mengingat banyak sekali ilmuwan yahudi yang kabur ke Amerika. Sebenarnya saya bisa menulis jauh lebih kompleks lagi , tetapi tulisan takutnya akan sangat panjang. Intinya adalah , Ada Makna dibalik Penderitaan , betapapun kejamnya

Dalam kasus Tionghoa Indonesia. Andaipun etnis Tionghoa di bonsai , entah itu tangannya , budayanya , bahasanya , agamanya. Itu adalah proses yang pahit yang harus di lewati. Setiap budaya dan entitas budaya mengalami apa yang di namakan ujian. Sama seperti panca indera manusia . Mata yang buta akan menjadikan indera pendengaran dan peraba menjadi semakin peka dan kuat. Dan ketika matanya sembuh , dia menjadi manusia super. Begitu juga dengan tionghoa , segala handicap yang dialami di masa lampau , membuat tionghoa bergerak di sektor bisnis. Dan ketika kebebasan yang dirintis oleh Gus Dur , maka Tionghoa semakin kuat. Hal ini yang harus di renungkan.

Terkadang ada makna dibalik hukuman. Dostoyevsky sendiri pernah mengalami hukuman, justru mendukung adanya hukuman. Luchenetsky menulis dalam “Prison Herald”. “ Kegelapan membuat manusia lebih sensitive pada terang, aktivitas yang dipaksakan dalam penjara membuat dia haus akan hidup, gerak dan kerja. Kesunyian membuat dia merenungkan dalam-dalam “Aku”-nya, sehingga ia memandangnya berdasarkan kondisi sekitarnya, masa lalunya dan kekiniannya, dan memaksanya untuk berpikir tentang masa depan. Lev Tolstoy memang benar ketika dia bermimpi masuk penjara. Pada saat-saat tertentu, orang besar itu kehilangan kata-kata. Dia membutuhkan penjara seperti kemarau membutuhkan hujan.

Saya melihat tionghoa mengalami trauma.Dan solusi yang harus diberikan adalah detraumatisasi. Menghapus kontak dengan masa lampau yang terlalu berlebihan, emosional, menyalahkan pihak lain dan berulang2 atas nama sejarah . Apa benar demikian?. Karena itu hanya menumbuhkan prasangka baru. Atau malah Tionghoa menjadi paranoid. Dan rencana sang pelaku kerusuhan berhasil. Usaha men - trauma-kan tionghoa telah berhasil sukses, dan dibantu secara tidak langsung oleh tionghoa2 pandir yang sok berada terdepan diantara tionghoa. Dan permasalahan tidak akan selesai. Justru dengan cara demikian , peristiwa negative bisa terulang lagi.

Berhentilah menggunakan cara kompulsif , apalagi menyudutkan “cina” dengan interupsi yang sangat “kasar”–, kasta. Gunakan cara yang lebih simpatik. Upaya hukum tentu harus dilakukan terhadap pelaku - pelaku kerusuhan. Adolf Eichmann, pencetus “solusi final” bagi yahudi pun menerima ganjarannya walaupun telah bersembunyi di ujung dunia. Jadi saya yakin pelaku kerusuhan juga akan mengalami ganjaran serupa , jika kekuatan hukum tidak berhasil menyentuhnya , mereka akan mengalami ganjaran setimpal lewat mekanisme kekuatan lain , hukum alam misalkan.

Mengetahui sejarah adalah penting , tapi tanpa kemampuan untuk memahami , kontemplasi , dan menggali makna dibalik sebuah “hukuman” adalah sia - sia saja.
Ini adalah garis batas tegas antara kita orang dewasa dengan anak sekolah . Remaja memilki ingatan kuat dalam menghapal sejarah , tetapi kematangan berpikir belum memadai untuk memahami sejarah. Kaum remaja juga dengan mudah terjebak dalam kubu pro dan anti. Berteriak paling kencang dan revolusioner. Bayangkan kalau ada remaja “garda merah” sebagai agen suatu gagasan , dan melakukan praktek kasta terhadap kaum “Cina”. Menerjemahkan gagasan “utopis” penyeragaman istilah tionghoa dengan cara kasar, semestinya menyadari pula mekanisme yang sama yang di lakukan para diktator lain. Sumber : Parahyangan

Baca Juga : Rasialisme Anti-Tionghoa
readmore »»  

Apakah Zodiac Menentukan Jodoh Anda ?


KapanLagi.com - Entah itu ramalan zodiak ataupun shio, banyak orang selalu penasaran ingin tahu jodoh dan kehidupan asmara mereka. Namun benarkan aspek kehidupan cinta seseorang bisa ditentukan zodiak?

Menurut Dr David Voas dari Universitas Manchester, zodiac sama sekali tak memiliki pengaruh pada kehidupan asmara seseorang. Untuk menguji pendapatnya, David bersama tim dari Research Fellow, Centre for Census and Survey Research menganalisa hari kelahiran 20 juta pasangan suami dan istri di Inggris dan Wales.

Riset yang menggunakan data sensus tahun 2001 ini gagal membuktikan keterkaitan antara zodiak dan hubungan asmara maupun kehidupan cinta seseorang.

"Lebih dari 20 juta pasangan menikah di Inggris dan Wales, dan hampir sebagian besar memiliki pasangan yang tidak sesuai dengan unsur zodiak mereka. Jika ada kecenderungan ke arah sana, misalnya Virgo berpasangan dengan Capricorn, atau Libra dengan Leo, kita pasti melihat ada perubahan dalam statistik pernikahan tersebut," jelas David yang meyakini tak ada hubungan khusus antara seseorang dan zodiak.

"Jika kita memiliki 10 juta pasangan, dan hanya ada satu pasangan yang dipengaruhi rasi bintang dan memang berjodoh, kita masih butuh sekitar sepuluh ribu lagi pasangan yang memiliki kombinasi serupa. Tak ada bukti cukup untuk menjelaskan keterkaitan tersebut," tambah David seperti yang dimuat jurnal University of Manchester.

"Para ahli perbintangan menggunakan elemen-elemen perbintangan untuk meramal karakter seseorang. Namun yang dibicarakan oleh orang biasa adalah simbol-simbol matahari atau perbintangan, seberapa besar pengaruhnya, karena bagi sebagian orang hal tersebut masih kabur dan meragukan untuk menentukan pasangan jiwa mereka kelak. Prediksi tersebut bisa jadi justru menjadi pukulan pada keyakinan yang mereka anut," papar Dr Voas yang tak bermaksud merendahkan profesi para ahli astrologi populer seperti Mystic Meg, Russell Grant dan Jonathan Cainer, namun Voas lebih memperhatikan antusiasme publik pada ramalan perbintangan dengan garis jodoh mereka.

"Namun dari pencarian di mesin pencari Google, kata kunci 'cinta' dan 'astrologi' mencapai setengah juta, bahkan buku-buku yang mengangkat tema pasangan jiwa dan zodiak tulisan Linda Goodman salah satunya 'Sun Signs and Love Signs' terjual lebih dari 1 juta copy di seluruh dunia pada 40 tahun terakhir.

"Minat masyarakat yang tinggi terhadap horoskop semakin menguntungkan media, terutama untuk ramalan asmara, karena orang cenderung akan melakukan apapun, termasuk percaya dengan rasi bintang mereka," kata Doktor jurusan School of Social Sciences ini seperti dikutip physorg.com, akhir Maret 2007.

Sebelumnya, riset tentang ilmu perbintangan (astrologi) pernah dilakukan di Eropa, akan tetapi saat dilakukan test menguji para pakar astrologi, untuk mengetahui di mana letak posisi delapan planet-planet besar, ternyata 70 persen peramal tidak bisa mengetahui pengetahuan yang mendasar ini. Lalu, bagaimana mereka bisa menghitung dan mengartikan nasib orang lain, apabila letaknya saja tidak tahu.

Majalah Stern juga pernah melakukan tes pada semua ramalan para astrologi paling top di Eropa, ternyata dari hasil keseluruhan ramalannya selama satu tahun hanya 3 persen saja yang kebetulan mendekati kenyataan. Lalu bagaimana dengan Anda, masihkah berminat mencari pasangan jiwa sesuai zodiak Anda? (physorg/rit)

Sumber : KapanLagi.com
readmore »»  

Sentuhan Tionghoa pada Kuliner Lokal

Di Medan, belum lama ini saya mendapat kejutan menyenangkan dengan kehadiran sebuah rumah makan baru. Namanya dalam bahasa Tapanuli: “Onma Tabo”. Kurang lebih artinya: ini lezat!

Sudah dapat diduga, rumah makan ini menyajikan masakan khas Tapanuli. Tetapi, ketika tiba di sana, saya dapati di langit-langit rumah makan yang cukup luas ini bergantungan banyak lampion merah seperti layaknya yang kita temukan di restoran-restoran Tionghoa.

Ternyata, rumah makan ini memang dicerminkan oleh nama dan lampion itu. Masakannya khas Tapanuli, pemilik dan jurumasaknya adalah orang keturunan Tionghoa. Sangat boleh jadi, ini adalah satu-satunya restoran yang seperti itu. Mudah-mudahan akan muncul lainnya.

Saya mulai mengenal kuliner Tapanuli pada awal tahun 1980-an dari teman saya Ben Nahot Marbun. Lapo favoritnya adalah “Dalian Natolu” yang awalnya berlokasi di dekat bundaran Pancoran. Rumah makan ini berpindah-pindah tempat beberapa kali karena pembangunan Jakarta yang begitu pesat, sebelum kemudian lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Beberapa tahun setelah “Dalian Natolu” hilang, muncullah “Lapo Ni Tondongta” yang kini sudah punya beberapa cabang di Jakarta.

Ketika pertama kali muncul, pelanggan “Lapo Ni Tondongta” kebanyakan adalah orang-orang Tapanuli saja. Tetapi, lama kelamaan mulai tampak hadirnya pelanggan dari suku-suku lain – khususnya kaum keturunan Tionghoa. Hal ini mengikuti kecenderungan serupa yang sudah terjadi sebelumnya di Medan. Lapo BPK (Babi Panggang Karo) yang berserakan di Medan dari dulu merupakan tempat makan favorit kaum keturunan Tionghoa pula.

Karena itu, menurut saya, munculnya lapo batak yang dimiliki orang Tionghoa seperti “Onma Tabo” ini sudah kesiangan alias terlambat. Kenapa tidak dari dulu-dulu? Bukankah sudah banyak rumah makan masakan Padang, Jawa, dan Sunda yang dimiliki kaum keturunan Tionghoa?

Yang lebih mengejutkan adalah bahwa kualitas masakan “Onma Tabo” sungguh-sungguh pantas diacungi jempol. Mungkin juga karena saya bukan orang asli Batak, maka selera saya lebih dapat memberi apresiasi pada masakan yang tidak orisinil. Saya belum tahu apa pendapat orang asli Batak terhadap kualitas masakan “Onma Tabo”.

Pesanan saya adalah saksang ayam dan beberapa jenis masakan lain. Saksang biasanya dibuat dari daging babi atau lomok-lomok (babi kecil, suckling pig). Saya tidak pernah mendengar sebelumnya bahwa ternyata ada saksang yang terbuat dari ayam. Jangan salah sangka, saksang tidak selalu harus dimasak dengan darah yang dalam bahasa Batak disebut gota (getah).

Wuih, rasa saksang ayamnya luar biasa. Terasa sangat berempah, namun seimbang. Di “Onma Tabo”, saksang ayamnya dapat dipesan dengan gota atau tanpa gota, karena semua masakan di rumah makan ini dimasak secara individual dan fresh setiap kali ada yang memesan. Citarasa andaliman-nya (bumbu khas Batak yang mirip merica, dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai Chinese pepper) muncul dengan indahnya dalam keseimbangan bersama bumbu-bumbu lainnya. Yang terpekik dari mulut saya ketika mencicipinya adalah: mak nyuss! Tak perlu diperdebatkan lagi!

Kepuasan mencicipi makanan “Onma Tabo” membuat saya tiba-tiba ingin singgah ke rumah makan “Pondok Krakatau” yang kebetulan letaknya tidak jauh dari situ. Sudah agak lama saya mendengar reputasi “Pondok Krakatau” yang baru buka sekitar dua tahun lalu dan selalu ramai diantre penggemar-penggemar fanatiknya.

“Pondok Krakatau” juga dimiliki orang keturunan Tionghoa dan menyajikan masakan Melayu-Minang. Hidangan andalan yang banyak dipesan adalah gulai kepala ikan. Tetapi, seperti biasa, saya justru tidak memesan hidangan populer itu. Sudah terlalu umum. Yang saya pesan adalah ayam lado mudo, yaitu ayam goreng yang ditaburi sambal dari cabe muda yang berwarna hijau. Saya pun segera terpukau dengan makanan sederhana ini. Dalam kesederhanaannya ia memunculkan citarasa yang sungguh kompleks.

Beberapa jenis hidangan lain dari “Pondok Krakatau” yang sempat saya cicipi juga menghadirkan citarasa yang sangat unggul. Dengan cepat para tamu rumah makan ini akan dapat menyimpulkan sendiri bahwa keunggulan “Pondok Krakatau” terletak pada pilihan bahan yang segar dan berkualitas, serta masakannya sendiri yang selalu segar. Mereka tidak memasak makanan dalam volume sangat banyak dan dijual sepanjang hari, melainkan memasak dalam batch kecil. Setiap kali hampir habis, mereka memasak lagi, sehingga terus-menerus fresh.

Di Medan juga ada rumah makan terkenal lain yang dimiliki orang keturunan Tionghoa dan menyajikan masakan Melayu-Minang dengan kualitas juara, yaitu Rumah Makan “Bintang” dengan bawal kukusnya yang legendaris. Ada lagi satu rumah makan seperti itu, tetapi dengan tekanan pada seafood, yaitu Rumah Makan “Waringin”. Di sini, salah satu sajian jagoannya adalah ikan pari goreng saus tauco.

RM “Daun Pisang” di Medan adalah contoh lain. Restoran milik orang keturunan Tionghoa yang menyajikan masakan Melayu-Minang ini lebih berciri masakan peranakan Melayu. Menu yang tidak boleh dilewatkan di sini adalah gulai bibir ikan. Bibir ikan banyak dipakai dalam menu Tionghoa, tetapi dalam versi gulai Melayu baru saya cicipi sekali itu. Bibir-bibir ikannya berinteraksi dengan lembut dan cantiknya di mulut kita. Sungguh-sungguh mak nyuss!

Ada satu rumah makan di Medan yang secara khusus ingin saya tampilkan di sini, yaitu RM “Tabona” yang hanya berdagang kari – kari ayam dan kari lembu (sapi). Karinya dapat dimakan dengan nasi atau dengan bihun. Wah, ini adalah satu menu sarapan yang dahsyat – sekalipun tetap cocok untuk disantap siang maupun malam hari. Setiap pagi rumah makan ini ramai dikunjungi pelanggannya. Menjelang sore sudah habis. Jangan heran, penjual nasi kari ini adalah keturunan Tionghoa. Di Glodok, Jakarta, ada “Kari Lam” yang sangat mirip kualitas “Tabona”.

Di Pontianak, hampir semua pedagang nasi kari juga orang Tionghoa. Nasi kari di Pontianak dijajakan dengan berbagai lauk lain, dan lebih encer dibanding kari “Tabona” di Medan. Sayangnya, di Pontianak sebagian besar pedagang nasi kari juga berjualan nasi campur yang mengandung babi, sehingga tidak dapat dikunjungi oleh kaum Muslim.

Tahun lalu saya pernah menulis berjudul “Papi Tiong” – Padang Tapi Tionghoa. Yaitu tentang rumah-rumah makan yang menyajikan masakan padang milik warga keturunan Tionghoa. Rumah-rumah makan yang saya sebut itu menyajikan masakan minang dengan citarasa yang sedikit diadaptasikan dan diperkaya dengan sentuhan Tionghoa, sehingga menciptakan nuansa yang khas pula.

Di Jawa juga banyak orang-orang Tionghoa yang berdagang masakan khas daerah. Selat Solo yang paling enak di Solo adalah dari kedai “Mekar Sari” di dekat Pasar Kembang, milik seorang keturunan Tionghoa. Jangan lupa, gudeg yang paling enak dan populer di Solo adalah dari RM “Adem Ayem” yang juga dimiliki orang keturunan Tionghoa. Lha wong penjual sate buntel paling terkenal di Solo juga keturunan Tionghoa, yaitu “Sate Tambaksegaran”.

Sekarang bahkan tampak pula kecenderungan baru kaum keturunan Tionghoa membuka rumah makan masakan Sunda dengan sentuhan yang khas pula. Jelas perbedaannya, namun jelas pula kepatuhannya dalam memegang “pakem” masakan Sunda, sehingga sajian-sajiannya tetap memenuhi syarat disebut masakan Sunda.

Di Manado, sejak lama hadir orang-orang keturunan Tionghoa yang berusaha di bidang masakan khas Minahasa. Cuma, di Manado orang-orang keturunan Tionghoa tampaknya tidak memberikan sentuhan khusus untuk melakukan semacam fusion yang menghasilkan kuliner tersendiri.

Kemampuan kuliner orang Tionghoa dan keturunan mereka memang tidak perlu diperdebatkan lagi. Penggabungan kekayaan kuliner Tionghoa dan kuliner lokal di Indonesia hanya akan menambah indahnya pelangi budaya kita.

Bondan Winarno
Sumber : Kompas

Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus melanjutkan pengembaraannya. (Email : bondanw@gmail.com)

readmore »»  

Mari Mensyukuri Keberagaman

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum lama ini menghimbau agar warga Tionghoa di Indonesia mau membaur dengan warga lainnya. SBY juga meminta agar aparat Negara memberi pelayanan yang sama kepada mereka. Pernyataan presiden tersebut patut untuk didukung dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Tujuannya tak lain karena negara Indonesia adalah negara yang menghormati keberagaman dan menghormati hak asazi warganya tanpa (idealnya) mengenal diskriminasi.

Realita bahwa pembauran antara warga Tionghoa dengan warga lain belum berjalan seperti diharapkan, sebagian dapat diamini. Termasuk bahwa dalam berbagai urusan administrasi publik, sebagian warga Tionghoa masih diperlakukan secara berbeda.

Namun menilai bahwa kegagalan pembauran menjadi tanggungjawab mutlak semua warga Tionghoa, barangkali bukan sebuah hal yang bijak. Ada pepatah mengatakan, ada asap kalau tidak ada api. Misalnya pandangan bahwa warga Tionghoa hidupnya ekslusif, tidak membaur, dan hanya mau bergaul dengan sesama sukunya saja. Sudah tentu ada latar belakang dibalik sikap ekslusif yang ditunjukkan sebagian warga Tionghoa itu. Termasuk latar belakang kenapa diskriminasi masih cukup subur di negara kita.

Rasa Aman

Persoalan gaya hidup eksklusif, biasanya bertemali dengan rasa aman. Dalam hidup kesehariannya, setiap orang tentu saja berharap bisa melakukan segala aktivitasnya dengan aman. Pengusaha bisa menjalankan aktivitas bisnisnya dengan lancar jika lingkungan sosialnya berjalan aman. Anak-anak bisa belajar dengan tenang di sekolah jika tidak terjadi ancaman pengompasan di sekolah maupun di jalan-jalan. Ibu-ibu rumah tangga dapat melenggang kangkung pergi ke pasar dan belanja dengan tenang tanpa takut diganggu preman. Rasa aman dibutuhkan siapa saja, kapan saja dan dimana saja agar setiap orang bisa hidup aman dan nyaman.

Jika seseorang tidak terpenuhi kebutuhan rasa amannya, maka orang tersebut akan berusaha dengan berbagai upaya untuk bisa memperoleh rasa aman tersebut. Caranya sangat beragam. Tergantung bagaimana tingkat atau gradasi keamanan yang dirasakan orang bersangkutan. Termasuk kapasitas orang tersebut dalam menyikapi ancaman tersebut.

Jika orang tersebut merasa bahwa dari hari ke hari keamanannya terancam terus, bisa jadi orang tersebut akan menyewa petugas jasa keamanan swasta, atau body guard. Tak cukup itu. Rumahnya mungkin dibuat seperti sangkar kandang burung, semua menjadi serba tertutup! Bahkan mungkin masih ditambah lagi dengan memasang alarm, yang sewaktu-waktu dapat berbunyi dan mengingatkan pemilik rumah agar waspada.

Sudah tentu tidak semua orang bisa membentengi rasa aman diri dan keluarganya dengan cara seperti itu. Ilustrasi di atas hanya mungkin dilakukan oleh orang kaya, dan mereka yang kurang memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi ancaman. Tapi itu sah-sah saja. Soalnya, ada juga orang kaya yang tak memiliki body guard. Apalagi membentengi rumah mereka dengan tembok tinggi-tinggi. Orang tersebut barangkali tergolong orang yang berani mengambil resiko. Bahkan mungkin siap menghadapi ancaman kekerasan dalam hidup kesehariannya. Rambut memang boleh saja sama hitam, namun pendapat orang dan bagaimana cara menyikapinya tentu saja tidak mungkin diseragamkan.

Sama seperti ketika terjadi kerusuhan. Ada sebagian orang Tionghoa yang memilih mengungsi ke hotel atau ke luar negeri. Mereka sadar bahwa hidup matinya ditentukan hari itu. Pasalnya ancaman fisik ada di depan mata mereka. Kalaupun ia memilih untuk meninggalkan negaranya dengan cara mengungsi ke luar negri, tidak berarti bahwa mereka kehilangan rasa nasionalismenya. Sebagian orang Tionghoa yang pergi mengungsi ke hotel dan ke luar negri, jelas karena persoalan rasa aman semata. Hal ini lebih karena mereka kerap dijadikan sasaran amuk massa dalam setiap kerusuhan yang muncul. Mereka menjadi sasaran diskriminasi. Bahwa ada sebagian orang Tionghoa yang tidak pergi ke hotel atau luar negri, hal itu bisa jadi berhubungan faktor ketiadaan biaya, atau karena merasa masih aman-aman saja. Atau mungkin saja karena orang-orang Tionghoa tersebut berani menghadapi ancaman kekerasan.

Sebagai bahan perbandingan misalnya yang pernah dialami bekas Gubernur Timor Timur, Mario V. Carrascalao, ketika negara itu masih bergabung dengan Indonesia. Ketika terjadi kerusuhan di Timor Timur, kini Timor Leste, dan Mario Carascalao merasa terancam nyawanya, maka ia memilih melakukan eksodus ke Makao, Portugal. Rakyat Timor Timur mencapnya sebagai pengkhianat. Namun Carrascalao sendiri menyatakan bahwa ia akan kembali jika keadaan sudah tenang.

Jadi yang dibutuhkan setiap orang, termasuk orang Tionghoa pada hakikatnya adalah rasa aman. Jika rasa aman mereka terpenuhi, minimal orang-orang Tionghoa yang kini hidup dengan penuh rasa cemas, secara perlahan bisa mengurangi ekslusifisme mereka. Rumah-rumah mereka mungkin tak perlu lagi dibentengi dengan pintu gerbang tinggi-tinggi. Mereka mungkin secara perlahan akan keluar dari kepompong eklusifisme yang mengurung mereka selama ini. Mereka akan mudah untuk membaur bersama warga lainnya.

Rasa aman itu menjadi kebutuhan lintas suku, lintas agama, lintas kepercayaan dan lintas budaya. Tidak peduli Acong, Purba, Paijo atau Syamsul, jika rasa aman mereka terancam, maka mereka berupaya untuk mencegah agar sesuatu yang membahayakan hidupnya tak terjadi.

Sudah tentu bukan hanya faktor rasa tidak aman yang menyebabkan sebagian orang Tionghoa eksklusif. Ada juga faktor lain. Di Medan misalnya hampir seluruh warga hidup tersegegrasi berdasarkan garis suku. Bahkan belakangan mulai muncul berdasarkan garis agama. Dampaknya tidak hanya menimbulkan kantong-kantong perumahan yang disekat garis suku, tapi juga ruang publik yang penuh dengan beragam bahasa ibu.

Diskriminasi dan Stereotipe

Soal diskriminasi yang dialami warga Tionghoa dalam urusan-urusan administrasi publik, harus disikapi secara arif. Diskriminasi dalam realita kehidupan sebenarnya dilakukan siapa saja. Tak peduli suku atau agama yang dianut orang yang mendiskriminasi maupun yang jadi korban didiskriminasi. Akar dari diskriminasi biasanya berkelindan dengan soal stereotipe. Stereotip di sini diartikan sebagai gambaran yang digeneralisir dan tercipta karena prasangka terhadap suatu kelompok tertentu terlalu disederhanakan sehingga seseorang memandang seluruh anggota kelompok itu memiliki sifat pembawaan tertentu, biasanya negatif. Dengan kata lain, dalam pandangan yang stereotipik, suatu kelompok dipandang dan dianggap sama dan sebangun alias homogen.

Stereotipe jika terus-menerus dibiarkan tanpa ada upaya untuk mendekonstruksi, bisa menjadi energi bagi lahirnya sikap diskriminasi. Semisal stereotipe bahwa orang Melayu adalah “pemalas”. Jika stereotip seperti ini dipandang sebagai kebenaran, maka akan terjadi diskriminasi dalam hal penerimaan tenaga kerja terhadap orang Melayu! Sudah tentu, diantara sekian banyak warga Melayu, memang ada yang pemalas. Tapi juga banyak yang rajin bekerja. Persoalan malas atau rajin, tak ada kaitannya dengan soal suku! Namun celakanya cara pandang yang stereotipik telah menggenelarisir seolah semua orang Melayu adalah pemalas.

Sama seperti pandangan bahwa orang Tionghoa suka main KKN jika hendak mengurus suatu hal yang berurusan dengan administrasi publik. Cara pandang seperti ini menjadikan kaum birokrat menganggap seluruh orang Tionghoa yang berurusan dengan mereka bisa “dikerjain’! Lalu lahirlah diskriminasi. Padahal dalam realitanya, tak sedikit orang Tionghoa yang ogah ber-KKN ria! Dalam realitanya, tak sedikit juga orang non Tionghoa yang ber-KKN dalam mengurus surat-surat adminstrasi kependudukan mereka.

Jadi, sekali lagi, soal KKN, soal eksodus, soal kriminalitas, bahkan sampai soal nasionalisme, tak ada hubungannya dengan soal suku! Semua itu berkelindan dengan pilihan hidup yang dipilih masing-masing orang. Berkelindan dengan cara penghayatan seseorang terhadap kedudukannya sebagai warga negara, dengan nasionalisme, dan dengan negara kesatuan Republik Indonesia!Karena itu soal pembauran dan diskriminasi sebaiknya diljadikan kesadaran bersama seluruh entitas yang menghuni wilayah nusantara ini. Caranya dengan mulai mengurangi pola pikir stereotipe terhadap kelompok atau suku di luar kelompok atau suku sendiri. Juga dengan mengurangi secara perlahan tindak diskriminasi terhadap apapun dan terhadap siapapun. Entah dari orang Tionghoa terhadap orang non Tionghoa, atau sebaliknya.

Marilah kita syukuri keberagaman suku yang ada dengan tidak menjadikannya sebagai media untuk saling mengeksploitasi satu sama lain!

* Tulisan ini dimuat di Harian Analisa, Selasa, 4 Maret 2008.
readmore »»  

Tionghoa Atau Cina, Di Era Reformasi

Di tengah eforia reformasi dan proses demokratisasi di Indonesia ada satu isu yang tak kalah gencarnya diperjuangkan, yaitu tuntutan sebagian anggota masyarakat etnis Cina untuk menghapuskan penggunaan istilah Cina dan menghidupkan kembali secara resmi istilah Tiongkok untuk Negeri Cina dan Tionghoa untuk mengacu pada bangsa dan keturunan Cina. Tuntutan itu timbul didasarkan pada asumsi bahwa istilah Cina dianggap sebagai kata yang digunakan untuk menghina, baik ke alamat Republik Rakyat Cina (RRC) maupun kepada kelompok etnik Cina atau yang sering juga diberi label menyesatkan ; keturunan atau nonpribumi --dua istilah yang hanya digunakan agar tidak menggunakan kata Cina. Tuntutan ini begitu menggebu, sehingga di kalangan beberapa pihak tertentu telah menimbulkan kesan bahwa itu telah melampaui proporsi yang layak.

Banyak pengalaman unik yang saya alami saya sehubungan dengan penggunaan istilah Cina itu. Pada setiap seminar, pertemuan, bedah buku, atau apa saja yang mengacu pada masyarakat keturunan Tionghoa, isu itu selalu muncul sebagai topik perdebatan. Beberapa waktu yang silam saya mendapat undangan untuk menghadiri sebuah acara peluncuran dan bedah buku yang mengupas tentang prasangka terhadap etnis Cina. Ketika tiba di tempat acara ruangan masih lengang karena hanya sekumpulan kecil peminat yang sudah hadir walaupun penitia penyelenggara, saya, dan pembedah sudah siap untuk memulai acara. Akhirnya setelah mulur sampai hampir satu jam acara berjalan juga dengan hadirin yang menduduki kurang dari setengah dari seluruh kursi dalam ruangan acara. Saya akhirnya tahu bahwa ada usaha untuk memboikot acara tersebut dari pihak yang tidak puas atas judul buku yang menggunakan istilah Cina.

Saya pernah pula menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam dialog antara partai-partai politik dengan berbagai organisasi keturunan Tionghoa yang diadakan sebelum pemilihan umum 1999 dan menyebut RRC sebagai Republik Rakyat Cina. Ada seorang hadirin yang begitu emosional dan tersinggung atas penggunaan istilah Cina itu sehingga mengatakan bahwa yang namanya Republik Rakyat Cina itu adalah negara ciptaan Orde Baru pada 1967. Itu lain dengan Republik Rakyat Tiongkok yang diproklamasikan Mao Zedong pada 1949.

Lantas pada sebuah acara peluncuran kamus Bahasa Indonesia-Bahasa Tionghoa beberapa bulan silam ada beberapa orang yang hadir memaksa panitia untuk mengeluarkan petisi berisi tuntutan agar pemerintah membatalkan secara resmi penggunaan istilah Cina dan mengembalikan istilah Tiongkok. Pada resepsi besar di sebuah hotel berbintang lima untuk memperkenalkan perkumpulan persahabatan Indonesia-Tiongkok yang baru saja dibentuk, pidato ketuanya antara lain mengatakan bahwa memperjuangkan penghapusan kata Cina dan memulihkan istilah Tionghoa sebagai salah satu program utama perkumpulan itu. Pemerintah RRC dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) mengambil jalan tengah dengan memperkenalkan penggunaan kata China (baca: Cayne) dari bahasa Inggris. Itu merupakan terobosan yang inovatif, yang sayangnya istilah itu agak aneh karena tidak terdapat dalam kosakata Bahasa Indonesia. Kalaupun ejaan China dimasukkan ke dalam vokabuler Bahasa Indonesia, cara mengucapkannya tetap saja C-i-n-a.

Sebagai salah satu anggota tim penyusun kamus Bahasa Mandarin-Bahasa Indonesia yang diterbitkan University of Indonesia Press, saya pernah menerima sebuah surat yang unik. Si penulis surat mengusulkan agar istilah People's Republic of China dalam Bahasa Inggris diubah menjadi People's Republic of Tiongkok agar kedengarannya pas dengan istilah Republik Rakyat Tiongkok seperti yang diinginkannya.

Sejalan dengan pendapat si penulis surat itu, seorang teman etnis Tionghoa yang setuju dengan penggunaan kata Cina mempunyai pendapat yang tidak kurang uniknya. Ia mengatakan, kalau para penentang kata Cina itu begitu keras untuk memaksakan tuntutannya, mereka harus berjuang di dunia internasional untuk mengubah istilah People's Republic of China menjadi People's Republic of Zhongguo.

Tulisan ini mencoba untuk mencari alasan mengapa istilah itu seolah-olah menjadi salah satu wacana yang cukup kontraversial dan menjadi isu hangat di kalangan publik Indonesia, khususnya yang keturunan Tionghoa. Apabila kita memandangnya dari sudut etimologi (ilmu akar atau asal-usul kata) istilah Cina itu sebenarnya bukanlah sebuah sebutan yang menghina, malahan bisa dianggap sebagai istilah yang mencerminkian kebanggaan etnis, negara, dan bangsa Cina.

Sejarah Cina
Kata Cina berasal dari nama Ahala Qin (baca Ch'in), dinasti pertama yang mempersatukan seluruh daratan Tiongkok di bawah sebuah pemerintahan pusat yang sangat kuat. Walaupun masa pemerintahan dinasti itu tidak lama (sekitar 225 s.M sampai 210 s.M), di bawah pemerintahan kaisarnya Qin Shihuang, dinasti itu meninggalkan bekas yang sampai kini asal-usulnya masih dapat ditelusuri. Qin Shihuang memerintahkan menghubung-hubungkan Tembok Besar (Chang Cheng) yang telah dibangun oleh negera-negara kota sebelum Qin berkuasa. Tembok Besar adalah satu-satunya karya manusia yang konon bisa dilihat dengan mata telanjang oleh para astronot dari ruang angkasa, berfungsi sebagai dinding penahan buat membendung serangan suku-suku liar dari utara pada masa kuno.

Demikian terkenalnya bangunan itu sehingga menjadi salah satu keajaiban dunia dan sering menjadi lambang Tiongkok. Qin Shihuang juga memerintahkan penyeragaman Huruf Kanji sehingga komunikasi tertulis antarwilayah dapat berjalan lancar. Ia juga memerintahkan penyeragaman lebar as kereta sehingga pembuatan jalan, terutama lebarnya, dapat dilakukan dengan standar: bisa dilalui oleh oleh dua kereta yang datang dari arah berlawanan. Ia juga menyeragamkan timbangan untuk memudahkan transaksi perdagangan.

Namun, Qin Shi Huang juga dikenal sebagai seorang despot yang sangat kejam. Ia pemeluk aliran Legalis (Fajia) yang ajarannya sangat berlawanan dengan ajaran Kong Hu Cu (Konfusius). Dialah yang memerintahkan pembakaran atas buku-buku ajaran Kong Hu Cu dan memerintahkan hukuman dikubur hidup-hidup terhadap 500 sarjana Konfusianis. Akibat dari tindakan brutal Kaisar Qin itu, sebagian dari karya-karya Kong Hu Cu yang disakralkan sebagai kitab suci untuk aliran itu, sampai sekarang belum diketemukan lagi.

Akan tetapi dalam pada itu banyak pemimpin Cina yang sangat mengagumi Kaisar Qin. Kekaguman itu didasarkan pada pendapat bahwa Cina adalah sebuah daratan yang begitu luas merupakan suatun realitas, sehingga diperlukan suatu pemerintah pusat yang kuat untuk mencegah bahaya disintegrasi bangsa. Integrasi dan disintegrasi merupakan salah satu ciri yang rimbul tenggelam dalam perjalanan sejarah Cina sebagai bangsa dan negara. Mendiang Mao Zedong, misalnya, sangat senang mengidentifikasikan dirinya dengan Qin Shi Huangdi di masa modern.

Kekuasaan Kaisar Qin dan kerajaannya tidak berlangsung lama akibat dari kelalimannya sehingga ia sangat dibenci rakyat. Kekaisarannya runtuh begitu Qin Shihuang meninggal dalam suatu perjalanan peninjauan ke seluruh negeri. Namun, suka atau tidak sukanya orang Tionghoa akan istilah Cina dan dinasti Qin, kata itu telah memunculkan istilah-istilah yang berasal dari nama dinasti itu. Orang Rusia memakai istilah Kitai sedangkan orang Arab mengatakan Shin --ingat ungkapan yang dikutip dari sabda Nabi Muhammad SAW ; "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina." Orang Inggris menggunakan istilah Chinayang kemudian menjadi umum di seluruh dunia Melayu dengan kata Cina, yang menurut hasil riset Leo Suryadinata, telah digunakan sejak awal abad-17. Teks-teks semi klasik di Cina sendiri sempat menggunakan istilah Zhina.

Lalu, mengapa sebagian orang Tionghoa di Indonesia berkeberatan dengan istilah tersebut? Konon, salah satu alasannya adalah Dinasti dan Kaisar Qin, karena kelalimannya, telah meninggalkan jejak penuh darah dalam sejarah Cina. Karenanya mereka lebih suka menyebut diri mereka dengan kata Tangren, yang kurang lebih berarti keturunan Ahala Tang, salah satu dinasti yang meninggalkan zaman keemasan, terutama dalam kesenian dan kesusastraan, dalam sejarah Cina. Di kalangan etnis Cina di Indonesia, terutama yang berasal dari Propinsi Fujian (Hokkian), sebutan itu menjadi Tenglang.

Ada teori lain yang mengatakan, yang telah menjadikan kata Cina itu buruk adalah Jepang, yang setelah Restorasi Meiji 1868 muncul sebagai salah satu adikuasa. Para sejarawan umumnya mengatakan, ada semacam percampuran antara cinta dan kekaguman dan benci bangsa Jepang terhadap Cina setelah Reformasi Meiji. Pada satu sisi, para pemimpin Jepang menjelang abad ke-20 sadar akan akar kebudayaan mereka yang berasal dari tanah Tiongkok. Akan tetapi pada sisi lain mereka melihat akan kebobrokan masyarakat dan pemerintahan Cina masa itu yang tengah berada di bawah penjajahan bangsa asing. Atas dasar itu, Cina dan bangsa Cina harus diselamatkan dari jurang penghinaan itu dengan cara mengenyahkan penjajah Barat. Penyerbuan Jepang atas Cina yang terjadi beberapa kali sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 adalah didasari pada 'tugas suci' itu.

Sayangnya, tentara Jepang yang menyerbu Cina yang pada awalnya merupakan misi penyelamatan itu berubah menjadi kolonialisme dan imperialisme. Istilah Shina yang dipakai orang Jepang itu dipakai untuk menghina. Kata yang mengacu ke Cina dalam Bahasa Jepang moderen kini adalah Zugoku, yang mirip bunyi dan artnya dengan Zhonnguo atau Tiongkok. Istilah Tionghoa berasal dari kata Zhonghua yang sebelum akhir abad ke-19 di Cina sendiri istilah itu belum begitu umum dipakai. Di Indonesia istilah Cina bahkan umum dipergunakan tanpa ada kandungan untuk menghina.

Cap Orde Baru Cina
Kemudian, bagaimana kata Zhonghua muncul? Menurut Suryadinata lagi, kata itu banyak sekalai hubungannya dengan maraknya semangat nasionalisme Cina yang mulai bangkit sejak akhir abad-19. Sebenarnya Zhonghua sudah berabad-abad lamanya digunakan sebagai sinonim dari Zhongguo (Tiongkok atau Kerajaan Tengah). Kaum nasionalis Cina menggunakan istilah itu untuk merujuk ke bangsa dan negara Cina modern. Secara etimologis kata Zhonghua berasal dari nama suatu suku bangsa yang hidup di masa purba di kawasan tengah negeri Cina-yang merupakan wilayah tempat munculnya dan berkembangnya kebudayaan Tiongkok. Bahkan kini orang Cina di Asia Tenggara lebih menyukai istilah Huaren untuk etnis Cina dan Huayu untuk Bahasa Cina, daripada istilah standar dalam bahasa Mandarin: Zhongguoren untuk orang Cina, dan Zhongwen untuk Bahasa Cina.

Presiden pertama Cina, Dr. Sun Yat-sen kemudian menggunakan itu untuk nama negara baru di Tiongkok ; Zhonghua Minguo (Republik Cina). Mao Zedong meneruskan penggunaannya ketika membentuk Republik Rakyat Cina (RRC) : Zhonghua Renmin Gongheguo. Istilah Tionghoa mulai mulai muncul di kalangan golongan etnis Cina di Indonesia pada 1900 ketika Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK) dibentuk sebagai sebuah organisasi yang bergerak terutama di bidang pendidikan dan kehidupan keagamaan, khususnya Konfusianisme. Akan tetapi THHK sendiri masih mencampuradukkan penggunaan Tiongkok, Tionghoa dan Cina dalam konstitusi mereka. Sehingga muncullah kata-kata bangsa Cina, negeri Cina atau surat Cina (huruf Kanji) yang berdampingan dengan kata-kata Tionghoa dan Tiongkok yang kini dianggap sebagian etnis Tionghoa sebagai politically correct.

Dengan demikian itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa istilah Cina, setidak-tidaknya sampai akhir abad-19 masih dianggap netral. Penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok semakin populer sejalan dengan naiknya gelombang nasionalisme Cina di kalangan golongan Tionghoa di Indonesia yang terjadi pada dasawarsa kedua abad-20. Sama seperti saudara-saudara mereka di daratan Cina, golongan etnis Tionghoa di Indonesia memandang kata Tionghoa dan Tiongkok sebagai manifestasi dari semangat nasionallisme dan persatuan di kalangan mereka. Namun, perlu dicatat, nasionalisme di kalangan golongann etnik Cina di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh perlakuan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menganggap mereka sebagai warga negara kelas dua.

Setelah itulah istilah Tiongkok dan Tionghoa nampaknya menjadi istilah baku untuk mengacu kepada Cina sebagai negeri dan golongan Cina sebagai kelompok etnis. Apalagi ketika istilah Cina dipakai untuk memaki dan diembel-embeli dengan kata lain seperti Cina loleng, Cina mindring dan sebutan-sebutan degeneratif lainnya, kata Tionghoa lebih disukai ketimbang Cina. Sebutan Cina sebagai hinaan lebih ditekankan lagi ketika Seminar Angkatan Darat di Bandung pada 1968 memutuskan dan menganjurkan kepada pemerintah agar kata Cina dipakai sebagai istilah baku untuk mengacu kepada negeri Cina dan orang Tionghoa. Alasannya, menurut usul yang ditelurkan oleh seminar tersebut, adalah untuk menjamin bahwa pribumi tidak merasa rendah diri. Memang ada kesan bahwa penggunaan istlilah Cina seperti yang diusulkan oleh seminar tersebut dan kemudian dianut oleh pemerintah Orde Baru dimaksudkan sebagai alat untuk menghukum golongan etnis Tionghoa.

Profesor Liang Liji dari Universitas Peking punya argumentasi menarik mengenai penggunaan kedua istilah itu. Dalam sebuah seminar ia mengatakan, sebutan Cina merupakan istilahn yang menghina dan merendahkan.Ia membandingkan kedua kata itu dengan istilah serdadu dan tentara. Kata serdadu, menurut Prof Liang mengacu kapada tentara atau orang yang menyandang senjata untuk kaum kolonialis pada zaman penjajahan sehingga mereka itu dianggap sebagai alat penindas. Karena itulah orang, apalagi kalangan militer, tidak menyukai istilah tersebut dan memilih kata tentara yang erat hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia menentang penjajahan yang memperalat serdadu mereka sebagai alat penindas.

Cina Yang Netral
Kini, dengan adanya perubahan politik dan munculnya gagasan reformasi serta tuntutan untuk adanya demokratisasi, muncullah tuntutan agar sebutan Cina yang dianggap menghina itu dihapuskan dan istilah Tionghoa diberlakukan kembali sebagai sebutan resmi. Begitu kerasnya tuntutan akan perubahan nama itu sehingga ada kesan bahwa para penuntut meninggalkan sikap demokratnya dan menjadikannya sebagai ideologi.

Seorang rekan yang tidak peduli akan penggunaan istilah Cina atau Tionghoa mengatakan kepada saya bahwa para penuntut itu menjalankan taktik memaksa-sesuatu yang sedang umum dalam wacana politik di Indonesia kini. Seorang intelektual muda keturunan Tionghoa yang tidak berkeberatan dengan istilah Cina mengatakan kepada saya, pro-kontra atas penggunaan kata itu telah membuat dirinya mengidap trauma setiap kali harus berbicara di muka publik mengenai topik golongan etnis Cina.

Penelitian yang dilakukan oleh Asim Gunarwan memberikan indikasi bahwa sebenarnya kalangan masyarakat Tionghoa yang berkeberatan atas penggunaan istilah Cina itu terdiri dari golongan tua saja, sedangkan kalangan orang muda tidak terlalu memusingkan tentang hal itu. Bahkan penelitian itu mengatakan, istilah Tionghoa mengandung makna yang mengindikasikan yang mengacu bahwa pemakai sebutan tersebut adalah warganegara Tiongkok dan bukan warganegara Indonesia.

Sahabat baik saya, ilmuwan sosial, budayawan dan saya Arief Budiman yang kini mengajar sebagai profesor Studi Indonesia di Universitas Melbourne, Australia punya
pengalaman dan usul menarik. Dalam sebuah tulisan ia mengatakan, pada mulanya ia sangat tersinggung dan berkeberatan dengan istilah Cina. Akan tetapi, lama kelamaan Arief tidak merasa tersinggung atas dan mengumpamakannya dengan istilah impresionisme dalam seni lukis. Ketika aliran itu muncul untuk pertama kalinya dalam abad ke-19 sebagai sikap seni pemberontakan terhadap aliran naturalisme dan realisme, ia diejek para kritisi dengan sebutan impresionisme. Para pelukis yang memperkenalkan gaya melukis itu, dipelopori oleh Auguste Renoir, justru menggunakan kata impresionisme sebagai istilah untuk memproklamirkan tumbuhnya aliran baru itu. Kini istilah itu justru diterima umum dan menjadi kebanggaan para penganutnya

Arief kemudian memberikan contoh lain tentang istilah Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Bersama teman-temannya yang seniman dan budayawan ia turut menandatangani Manifesto yang menentang antara lain politisasi kebudayaan dan kesenian. Dunia media di Indonesia ketika itu dikuasai oleh orang-orang kiri yang mencemoohkan pernayataan itu dengan sebutan Manikebu yang bunyinya dekat dengan kata yang berarti sperma kerbau. Pada mulanya para Manikebuis tersebut sangat tersinggung dengan istilah tersebut. Namun, karena kata itu dijejalkan setiap hari oleh media ke tengah masyarakat, lama-lama istileh itu menjadi biasa dan diterima para penganutnya dengan sikap netral.

Dengan kata lain kelihatannya Arief hendak mengatakan, penggunaan istilah Cina dalam tigapuluh tahun belakangan ini sudah memasyarakat sehingga maksud untuk menghina itu kini sudah tidak ada lagi. Arief juga mencatat bahwa gelombang reformasi yang tengah melanda Indonesia telah menyebabkan munculnya sebagian orang di kalangan golongan etnis Cina menjadi sangat vokal dalam memperjuangkan penghapusan istilah
Cina itu. Ia menulis :
Masalah orang Cina di Indonesia sangat banyak. Sentimen anti Cina yang masih hidup, orang Cina yang selalu digunakan sebagai kambing hitam kalau ada krisis ekonomi, orang Cina yang selalu diperas dan tidak melawan para pejabat negara, masih harus kita hadapi. Daftarnya sangat panjang. Apakah kita mau menambah daftar ini dengan kepusingan baru, dengan menghidupkan sensitivitas baru sehingga kita akan kembali merasa sakit hati kalau ada orang yang menggunakan istilah Cina, meskipun bukan dengan tujuan untuk menghina?

Sejalan dengan apa yang disampaikan Arief, Komnas HAM, Forum Komunikasi dan Kesatuan Bangsa, dan Gerakan Perjuangan Anti-Diskriminasi (Gandi) mencatat, dewasa ini masih ada tidak kurang dari 30 peraturan pemerintah yang diskriminatif yang pembatalannya masih harus diperjuangkan. Peraturan-peraturan itu terdiri dari masalah kewarganegaraan (4 peraturan), Catatan Sipil (3 peraturan), Kebudayaan dan Adat Istiadat (4 peraturan), agama (4 peraturan), dan pendidikan (4 peraturan).

Kita telah membicarakan tentang pro-kontra penggunaan istilah Cina dan Tionghoa. Lalu, bagaimanakah jalan keluarnya? Pada pendapat saya jalan yang paling baik, kalau kita akan menggunakan kata Cina atau Tionghoa, kita harus mengetahui kepada siapa kita berbicara. Kalau kita berhadapan dengan orang etnis Cina dari golongan tua biasanya mereka sangat sensitif dan tersinggung dengan penggunaan istilah itu. Sedangkan kalangan muda tidak merasakan ketersinggungan itu. Bahkan ada sementara kelompok dari kalangan muda itu merasa heran kalau istilah Cina biasa dipakai untuk menghina. Malahan mereka sama sekali tidak tahu kalau ada istilah Tionghoa.

Saya sendiri berpendapat biarlah kata Cina menjadi sebuah kata netral yang dipakai sepadan maknanya dengan istilah Tionghoa dan Tiongkok untuk merujuk kepada golongan etnis Cina dan negeri Cina. Salah satu kelemahan dalam menulis dalam Bahasa Indonesia adalah kurangnya sinonim, padahal penggunaan kata yang sama terlalu banyak dan berulang-ulang dalam tulisan dalam bahasa apapun, tidak enak dibaca. Karenanya, biarkanlah kata Cina berdampingan dengan Tionghoa dan Tiongkok sebagai sinonim.

http://www.ceritanet.com/15cina.htm
readmore »»