Tragedi Mei dan Dilema Tionghoa

Oleh Edi Junaedi dan Rendy Ahluwalia

Setiap kali tanggal 12-15 Mei tiba, kita selalu ingat tragedi terhadap masyarakat Tionghoa pada Mei 1998. Sampai saat ini, 10 tahun sesudah Orde Baru runtuh, warga atau etnis Tionghoa masih menghadapi dilema seputar masalah pluralitas dan heterogenitas serta HAM sebagai dampak dari kompleksitas masalah sosial-ekonomi di Indonesia. Sementara kita tahu, pengadilan HAM atas tragedi Mei tak kunjung usai dan menjadi pembelajaran bersama bagi bangsa kita.

Beragam persoalan ras, identitas, golongan, dan kelas masih dirasakan dalam komunitas Tionghoa sekaligus persoalan-persoalan yang berkaitan dengannya.

Dengan eksistensi golongan Tionghoa sebagai salah satu suku dalam kebangsaan Indonesia, posisinya sebagai warga negara Republik Indonesia, pengakuan-penerimaan dan penghormatan publik terhadap identitas ketionghoaan serta relasi antara golongan Tionghoa dengan struktur politik nasional, semua itu masih menjadi suprastruktur yang turut berpengaruh dalam menentukan opini publik terhadap golongan Tionghoa di Indonesia.

Karena itu, sebagai langkah pertama, golongan Tionghoa perlu menjernihkan kesadarannya tentang hak-hak asasi (HAM) yang melekat pada dirinya sebagai sekelompok manusia yang patut dihargai secara wajar serta memperjelas persepsi mengenai identifikasi dirinya sebelum melangkah lebih jauh ke arena publik seperti arena politik praktis.

Identitas etnik merupakan faktor general yang menentukan indiferensiasi sederhana mengenai posisi dan nasib golongan Tionghoa secara keseluruhan. Publik, pada umumnya, gagal memahami pluralitas Tionghoa yang bercorak dinamis. Ketidakmampuan publik melihat dan menilai komunitas Tionghoa secara benar dan objektif merupakan kegagalan "komunikasi politik" komunitas Tionghoa dalam mengartikulasikan kepentingan dan suaranya.

Indikasi lain dari kegagalan komunikasi politik itu dapat dilihat pada adanya anggapan bahwa perjuangan antidiskriminasi terhadap Tionghoa sebagai gerakan kecengengan.

Hal ini juga merupakan satu sinyalemen dari ketidakberhasilan komunitas Tionghoa untuk merangkul golongan-golongan lain dalam perjuangan menciptakan Indonesia Baru yang bebas dari perilaku rasialis serta meyakinkan publik bahwa masalah Tionghoa adalah juga masalah bangsa seperti halnya masalah bangsa Indonesia juga merupakan masalah komunitas Tionghoa.

Sejarawan Onghokham pernah menyatakan bahwa kaum Tionghoa masih eksklusif, karena itu peleburan mereka ke dalam komunitas pribumi harus terus dilakukan melalui prosesi yang wajar dan alamiah.

Harus diakui pula, seperti kata Benny G. Setiono (ketua INTI - Perhimpunan Tionghoa Indonesia) dan para aktivis HAM di kalangan Tionghoa, persepsi negatif beberapa kelompok ini disebabkan, salah satunya, domain politik, sosial, ekonomi, dan ekspresi budaya Tionghoa dikuasai dan dikelola secara paternalistik oleh segelintir elite Tionghoa yang pada akhirnya menjadi rujukan publik untuk menilai Tionghoa sebagai golongan eksklusif.

Lemahnya kontrol masyarakat Tionghoa terhadap perilaku para elite dan tokoh Tionghoa mempermudah segelintir tokoh Tionghoa untuk menggeser perjuangan masyarakat Tionghoa menjadi kepentingan pribadi yang bersifat elitis. Minimnya evaluasi publik terhadap kebijakan ormas Tionghoa dan gerakan Tionghoa mempersulit lahirnya sebuah gerakan Tionghoa yang lebih matang dan tersistematis dalam mengartikulasikan kepentingan kelompok ini sebagai sebuah kelompok etnis.

Kini, meminjam perspektif Antonius Steven Un -aktivis mahasiswa 1998 berdarah Tionghoa-, sepuluh tahun setelah reformasi bergulir, tantangan bagi gerakan pembangkangan sipil dalam konteks kekinian ialah apakah motivasi gerakan itu untuk public interest atau malah nested interest dan hidden agenda dari pemimpin Gerakan 1998?

Jika memang gerakan itu didasarkan motivasi busuk, niscaya sulit menyentuh hati nurani massa. Bukan rahasia lagi, lembaga swadaya masyarakat yang mengatasnamakan rakyat dalam perjuangannya tetap bermotivasi mencari profit finansial, sehingga malah kerap mengomersialkan kemiskinan dan derita rakyat akibat bencana.

Berikutnya, kata Antonius, apakah gerakan massa mendasarkan perjuangan atas motif cinta kasih, termasuk kepada para penindas? Hal itu penting agar tidak menyuburkan kebencian, kebengisan, dan memustahilkan persaudaran yang pada gilirannya menghasilkan krisis dan konflik sosial baru dalam masyarakat penuh kekacauan tanpa akhir. Lalu, apakah gerakan massa mendasarkan perjuangan atas penghargaan kepada hukum positif yang adil sehingga menghasilkan purifikasi terhadap anarkisme dan kekerasan?

Hampir setiap hari tayangan televisi di Tanah Air membuktikan bahwa gerakan massa amat rentan, kerap penuh praktik kekerasan dan anarkisme.

Karena itu, 10 tahun reformasi harus menjadi cambuk bersama agar etnis Tionghoa dan bumiputera berjalan seiring, berjuang bersama menegakkan hak-hak asasi, keadilan, kebenaran, dan kemaslahatan rakyat, seraya belajar dari kesalahan masa lalu di era Orde Baru. Sejarah masih menyiratkan ruang dan peluang bagi bangsa kita menapak masa depan.

Edi Junaedi dan Rendy Ahluwalia, peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina dan Freedom Foundation. (jawa pos dotcom)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...