Menebar Teror Lewat Komik


Komik Memang Asyik

Makin variatif dan canggih saja bentuk hiburan bagi anak-anak. Lalu, bagaimana nasib sarana hiburan yang klasik? Masih digemari. Khususnya komik. Magnetnya, bahkan, mampu menyodok dan jadi bagian dari budaya pop di banyak negara.

Di luar negeri, booming bacaan komik terjadi pada era 1940-an. Berawal dari kisah komik berupa penggalan cerita yang diterbitkan dalam bentuk comic strip.

Belakangan, genre komik berkembang menjadi satu buku utuh seperti yang bisa dibaca saat ini. Beragam tema pun mengemuka dari kreativitas pengarang komik, mulai roman, komedi, dan pahlawan super.

Patut dicatat, apapun genre-nya, komik selalu mengusung cuplikan kisah yang mengilustrasikan kekerasan.

Salah satu pelopornya adalah Jack Kirby, pencipta The Incredible Hulk, Fantastic Four, Captain America, Iron Man, dan lainnya. Kirby, tentu, tak menyangka jika genre pahlawan super dan komik aksi yang dipeloporinya jadi kontroversi hingga kini.

“Semua orang membaca komik,” kata David Hajdu, penulis The Ten-Cent Plague, buku yang menceritakan sejarah sebuah masa. Setidaknya, ribuan buku komik terjual di seluruh dunia setiap harinya. Di AS, komik masih jadi hiburan terfavorit.

Target dari jenis hiburan macam ini adalah anak-anak dan remaja. Maka, banyak ahli berpendapat, buku komik yang mengandung unsur kekerasan bisa menyebabkan seseorang terlibat tindak kriminal. Bahkan, bisa juga mengakibatkan degenerasi pada suatu bangsa.

Di Indonesia, peredaran buku komik belum sebebas di AS atau Jepang. Selama ini, pemerintah berperan penting dalam kontrol peredarannya. Para penerbit komik wajib melaporkan. Jika memang sampai meresahkan masyarakat, komiknya ditarik dari peredaran.

Ketua Umum IKAPI Setia Dharma Madjid menyatakan, peredaran komik memang harus diawasi. "Terutama dampaknya terhadap anak-anak," ujarnya kepada INILAH.COM belum lama ini.

Di industri komik, menurut Setia Dharma, tak berlaku gunting sensor seperti di industri film. IKAPI, katanya, hanya bertugas di jalur legal dengan mengawasi anggotanya.

Kewenangan menyensor materi komik, lanjut Setia Dharma, kemungkinan harus ditangani institusi Kejaksaan. Sebab, saat ini lembaga itu berwenang menarik sebuah buku yang dinilai tidak layak beredar.

Menurut Setia Darma, kontrol atau pengawasan itu datangnya dari para orangtua. Jika pihak keluarga mampu mengawasi dengan baik, efek buruk komik pun dapat dihindari.

Meski begitu, kebanyakan pihak keluarga malah menimpakan kesalahan kepada pihak lain, misalnya penerbit atau pemerintah. Padahal, tidak semua penerbit komik jadi anggota IKAPI.

Pendapat senada disampaikan Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi yang kerap disapa Kak Seto. Menurutnya, pihak orangtua harus konsisten dalam mengawasi materi-materi bacaan bagi si anak. Sebab, aktivitas membaca komik bisa memberikan dampak positif, yakni menumbuhkan kreativitas dan daya imajinasi anak.

"Kegiatan membaca komik memang bisa memberikan pengaruh positif sekaligus negatif. Untuk itu, orangtua harus mengawasi ketat jadwal membaca anaknya. Idealnya, bacaan komik hanya menyita maksimal 10% dari total aktivitas membaca si anak," cetus Kak Seto.

Lalu, apakah komik bisa menyebabkan degradasi moralitas kaum muda suatu bangsa?

Kak Seto menyebutkan, "Sayangnya, saat ini banyak buku komik yang kontennya tidak sesuai dengan karakter usia anak. Misalnya, komik yang menampilkan kemasan pornografi atau kekerasan fisik."

Kak Seto menyayangkan, urusan pendidikan terkait tumbuh kembang anak sering harus dikalahkan oleh kepentingan industrialis. Dampak negatif dari komik kerap terabaikan karena penerbit hanya memandang dari aspek keuntungan.

Seperti komik Jepang dan AS, kebudayaan di kedua negara memang sangat terpengaruh oleh komik lokal. Tapi, di negara maju, pengaruh negatif komik tidak menjadi masalah yang besar. "Sebab, komik sudah menjadi bagian dari pop culture di negara maju," kata Setia Dharma.

Tingkat penilaian terhadap konten komik juga sudah tinggi. Hal itu bertolak belakang dengan yang terjadi di negara berkembang. Generasi muda di negara berkembang, kata Setia Dharma, terkadang gampang terpengaruh konten negatif. "Hal inilah yang harus diwaspadai," tandasnya.

Sama halnya dengan film, komik yang beredar di pasar kini sudah mencantumkan batasan usia yang diperbolehkan. Hanya saja, pembatasan usia pembaca sering tidak efektif akibat lemahnya pengawasan kelembagaan dari pemerintah.

Tanggung jawab itu dikembalikan lagi kepada kontrol publik, utamanya di lingkungan keluarga di rumah. [I3]

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...