Watak Kepemimpinan Siauw Giok Tjhan

Kita ini secara kebudayaan sudah terlanjur hidup di dalam dikotomi-dikotomi yang sebenarnya dibuat sendiri, apakah dikotomi itu untuk menyatakan kecemburuan, apakah untuk menyatakan kecaman terhadap suatu kelompok atau untuk mentertawakan diri sendiri.

Orang Jawa biasa mengatakan: saya ini muslim, tapi Muslim Jawa. Lho saya ini Jawa, tapi orang Muslim. Tidak jelas apa sebenarnya maksud kata yang dibolak balik seperti itu, tetapi rupanya ingin menyatakan bahwa saya ini adalah orang yang utuh, utuh dengan pengertian walaupun saya mengimport agama dari jauh, tapi kearifan lokal masih ada pada diri saya.

Saya ini orang lokal, saya ini orang kampungan, tetapi saya ini merupakan bagian yang begitu universal dalam penghidupan moril dan penghidupan sosial yang diwariskan melalui agama. Saya tidak mau berbicara mengenai agama, karena urusannya panjang. Sebenarnya tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa Islam yang dikehendaki Tuhan seperti maunya Tuhan itu seperti apa. Tidak ada yang tahu.

Tadi saya mendengar Pak Ferry Sonneville mengemukakan bahwa Pak Siauw Giok Tjhan itu orang Indonesia. Juga Pak Ferry Sonneville itu orang Indonesia. Itu belum titik Pak.... Perjuangan kita belum selesai, sehingga kalimat itu belum titik. Tambahan kalimatnya adalah: ... Tapi sampean itu Cino...

Saya mengerti bahwa banyak orang Tionghoa yang tinggal di Tanggerang itu miskin sekali. Hidupnya lebih miskin dari banyak orang di daerah di mana saya berasal. Orang mengakui itu, tapi mereka menyatakan: ... ya mereka itu miskin, tapi Cino...

Saya tidak tahu politik labeling atau menyalahkan seperti itu mempunyai maksud apa. Segregasi sosial? Atau menentukan jarak supaya kita tidak terlalu dekat. Itu aneh, kenapa kita menentukan jarak.

Padahal Tionghoa itu bagian dari ke-Indonesiaan kita. Orang Mentawai itu bagian dari ke-Minangan dan ke-Minangan adalah bagian dari ke-Jawaan dan tentunya ke-Jawaan adalah bagian dari ke- Indonesiaan. Itu, menurut saya yang dikehendaki oleh para pejuang kemerdekaan kita.

Bung Karno bicara tentang Nation dan Character Building. Ia bicara tentang apa yang dibangun adalah sebuah kesatuan dari puing-puing yang berserak-serak di masa lalu sehingga ada bangunan yang kukuh. Sekarang ada ironis sejarah. Dulu masa depan terletak pada kesatuan pada kekukuhan kita berbangsa dan bernegara. Sekarang ada pembalikan yang mungkin menjengkelkan tentara dan pemerintah dan memperhatinkan sementara orang yang mendambakan persatruan. Ironisnya adalah ada pendapat, mungkin untuk menjadi makmur kita sebaiknya hidup bercerai, apa boleh buat, inilah jalan satu-satunya untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik. Ini khususnya ada di kalangan orang-orang Aceh, orang-orang Irian bahkan orang Melayu. Orang Irian baru-baru ini memproklamirkan kemerdekaannya.

Ini memang ironis. Bagi yang berada di kalangan pemerintahan, ini memang menjengkelkan karena yang mereka pikirkan adalah kemakmuran keluarga mereka sendiri dengan menggunakan fasilitas-fasilitas yang memungkinkan kemakmuran keluarganya. Bagi orang tidak kebagian fasilitas dan tidak memiliki kemungkinan menjadi makmur, masalahnya lain.

Mereka merasa prihatin karena setelah perjuangan panjang dan sudah waktunya kita ini mencapai tahap di mana kita saling bercinta ini, kok keadilan tidak dibagi secara baik. Sehingga orang Aceh ditipu oleh penasehat Presiden tentang Aceh. Yang ditipu adalah Presidennya: ... begini Mr. Presiden, yang dibutuhkan orang Aceh itu adalah kesejahteraan...

Marah orang Aceh. Yang mereka butuhkan sekarang bukan kesejahteraan, tetapi keadilan. Saya kira bagi semua yang dibutuhkan adalah keadilan. Kesejahteraan itu adalah buntut otomatis dari keadilan.

Mengapa semua ini terjadi? Jawaban saya adalah: kita ini tidak memiliki manusia yang merdeka yang punya kredibilitas moral utk berani berkata blak-blakan seadanya. Tidak punya. Orang yang bagaimana pintarnya dan memiliki kesarjanaan tinggi ternyata menjadi "pak turut". Watak "pak turut" tentunya adalah nurut terus. Birokrasi itu saya kira, walaupun banyak Profesor dan Doktor, adalah orang-orang taat. Orang taat itu memang selalu menurut perintah, tidak memiliki inisiatif. Nah watak seperti itu yang dominan dalam penghidupan kita sekarang. Orang tidak memiliki kemandirian. Org tidak berani bertaruh dengan diri sendiri dalam berbeda pendapat dengan banyak orang .

Orang itu lalu berpartai-partai supaya menghadapi orang lain bersama orang lain. Itulah yang diikuti oleh pemuda-pemuda kita. Kalau berkelahi tidak satu melawan satu, tapi selalu bergerombolan, berombongan. Dan mematikan orang yang tidak terlibat dalam perkelahian. Orang Tionghoa itu selalu kesikut terus, dari zaman dulu kesikut terus. Kalau tidak kesikut, pasti ada oang yang sengaja dekat untuk menyikut....

Kalau tidak salah tidak bisa. Orang Tionghoa itu kok tidak salah, itu tidak bisa. Kalau orang Jawa tidak bisa salah. Walaupun salah harus dibuktikan tidak salah. Jaksa Agung telah membuktikan itu,.. masa Presiden sudah bilang kalau tidak punya uang sepeserpun di luar negeri, kok kalian tidak percaya, edan... Dia orang Jawa... Kalau orang Cina, memang tidak mungkin tidak punya uang...

Demikianlah logic yang tidak logic di zaman ini. Memang masyarakat kita ini demikian sekarang. Tidak memungkinkan adanya pikiran waras.

Kalau kita perhatikan di dalam masyarakat kita ini memang yang ada hanyalah modus dijadikan. Tidak ada modus menjadi. Itu lain. Kalau modus menjadi itu perlu achievement, perlu prestasi, perlu perjuangan dan perlu pengorbanan. Ini tidak ada di Indonesia. Di Indonesia itu orang ingin dijadikan. Orang yang masih kekanak-kanakkan, tidak tahu apa-apa dijadikan anggota DPR. Duduk di DPR dan MPR untuk dibayar 5 sampai 7 juta sebulan. Itu dikatakan bahwa mereka itu memperjuangkan nasib rakyat. Yah tidak. Mereka tidak bisa dibandingkan dengan orang-orang LSM yang tidak mendapat bayaran. Yah, yang edan adalah orang-orang LSM. Lebih baik minta dijadikan anggota DPR/MPR. Tidak usah bekerja tidak usah berpikir tapi dibayar....

Orientasi kita itu memang kepada kekuasaan utk berakhir pada yang dinamakan singgasana. Dulu, sekarang dan pada masa mendatang masih demikian. Jangan memimpikan Indonesia dalam 5 tahun 10 tahun menjadi surga. Itu memerlukan perjuangan.

Nah, saya ingin menyoroti Pak Siauw Giok Tjhan dari segi bingkai moril politik seperti itu. Ibu Karlina memberi bingkai filsafat. Saya bisanya memberi bingkai politik seperti ini, yang saya karang sendiri...

Pak Siauw itu adalah seorang yang gigih dalam memperjuangkan Nation dan Character building. Saya kira jauh sebelum formil Bung Karno menyatakan kata-kata itu. Beliau sudah bergulat dari awal. Seperti banyak tokoh lainnya yang berbakat, beliau memulai kariernya sebagai wartawan, menjadi anggota parlemen. Tetapi beliau tidak cengengesan, karena bajunya saja sobek...sebagai menteri bajunya sobek sehingga Bung Karno memberikannya tiga baju baru sekaligus... Bung Karno tidak senang dengan baju sobek ... lho, baju sobek itu adalah kewajiban seorang pemimpin, kok disalahkan, bagaimana itu...Pemimpin itu wajib tampil dengan baju sobek...Sekarang ini apa ada pemimpin yang tampil dengan baju sederhana? Tidak ada. Biasanya mereka menggunakan safari dengan berbagai bintang-bintang penghargaan, demi menjaga jarak dengan rakyat.

Pak Siauw ini mengontrakkan dirinya sendiri demi kepentingan orang banyak. Mending yang diperjuangkan itu senang...orang Tionghoa lainnya itu jengkel kepada beliau. Saya bisa membayangkan bagaimana Pak Siauw itu terjepit. Di satu sisi ada sebagian dari pemerintahan, tentara dan berbagai golongan politik lain yang tidak senang dengan orang Tionghoa.

Di lain sisi orang Tionghoa menganggap kan lebih enak memihak Belanda. Apa bisa negara yang muda seperti RI ini menjamin keselamatan kita?...Pengalaman pahit ini secara sosiologis kongkrit, tidak berdasarkan imajinasi. Orang yang memiliki pengalaman kongkrit seperti ini memang sulit untuk diajak berimajinasi. Orang yang mampu berimajinasi dan membayangkan adanya hari depan yang mulia itu, hanyalah orang-orang intelektuil seperti Pak Siauw ini. Beliau sudah melakukan imajinasi ini dengan baik. Tapi dikecam sana sini.

Saya berpikir dan bertanya kepada diri saya sendiri: Orang yang mengontrakkan dirinya demi kepentingan Nation Building seperti Pak Siauw itu sekarang siapa? Menurut saya tidak ada. Dengan menyatakan tidak ada itu, saya tidak bermaksud untuk mengkultuskan Pak Siauw, karena kultus itu tidak baik. Saya melihatnya dengan bingkai politik moril yang saya gambarkan tadi.
Beliau tidak suka dengan pemerintah Tiongkok yang mengecam Indonesia yang baru berdiri. Meskipun Tiongkok adalah negeri leluhurnya, persetan dengan negara leluhur! kalau tidak luhur dalam sikap-sikap tertentu, beliau tentang. Itu sebuah contoh yang baik.

Akan tetapi orang sekarang tidak demikian. Karena orientasi politik sekarang tidak sehat. Bagaimana bisa melawan komandan saya. Bagaimana prajurit itu bisa mengikuti perintah komandannya untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah? Kan bagus kalau ada situsasi di mana sang prajurit itu menembak komandannya sambil menyatakan dengan bangga: ...saya sudah tembak komandan saya, karena dia menyuruh saya membunuhi orang-orang yang tidak bersalah...

Sekarang ini memang ada orang-orang yang ingin mendapat predikat baik seperti ini. Ada dua menteri yang menyatakan ingin mundur. Rupanya ingin disamakan dengan Bung Hatta yang mundur dulu. Tunggu dulu. Mereka mundur dengan rela karena masa jabatannya tunggal sedikit lagi. Coba kalau masa jabatannya masih 10 tahun lagi.

Masa depan kita memerlukan pemimpin yang otentik dan yang provoking. Itu tidak ada sekarang. Coba lihat. Dari Presiden sampai Menteri. Begitu ngomong secara spontan pasti keliru. Ngomong Komas keliru. Komas itu kan Komunikasi Massa di UI... Jadi bekalnya ,wadahnya kecil, isinya kecil, sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Didekati wartawan saja sudah gemetaran...

Watak kita ini memang watak prajurit. Untuk mandiri, berbeda dengan yang lain tidak bisa. Pak Siauw ini adalah cermin dari orang yang berani berbeda. Beda itu wangi. Menteri dengan baju sobek itu berani. Dan itu memang berada dalam frame moril yang benar. Mau dilihat dari segi Islam, saya kira itu yang cocok. Islam yang dulu maupun yang sekarang.

Sekarang kita juga tidak punya atau tidak boleh mempunyai orang yang menyatakan berbeda dengan mainstream. Kalau menyatakan bahwa kebijakan pemerintah keliru, tidak boleh, karena itu cara agitasi dan bertentangan dengan kebudayaan Timur. Kebudayaan Timur itu apa??..Dan yang mengatakan itu tidak cukup tahu tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan Timur. Memang Demikianlah. Orang yang tidak bisa menjadi menteri dijadikan menteri, yang tidak becus menjadi anggota DPR dijadikan anggota DPR.

Pak Siauw itu menjadi anggota DPR itu lama, tapi dengan perjuangan. Beliau menjadi menteri itu susah. Masa seorang Menteri tidur di atas meja. Meja kantor, bukan meja billiard! Itu kan Menteri edan?? Dan di bawah kementeriannya, kira-kira, kok tidak ada yang menyelundupkan uang rakyat. Mungkin juga memang pada waktu itu RI masih miskin, minyak belum digali dan tidak ada orang yang mau nyolong. Yang ingin saya garis bawahi sebenarnya adalah pada zaman itu wataknya bukan watak colongan seperti watak zaman sekarang.

Apa saya kecewa dengan semuanya? Tidak. Saya cukup optimis dengan hari depan kita. kalau nasib bangsa itu kita serahkan kepada rakyat yang berdaulat. Celakanya pemimpin sekarang tidak percaya kepada rakyat. Mereka percaya kepada diri sendirinya.

Yang memberi warna seperti Pak Siauw, warnanya yang di tahun 90-an diterjemahkan sebagai pluralis. Beliau itu menjadi tokoh pluralis. Beliau menjadi tokoh yang sangat inclusive. Memperjuangkan tujuannya dengan banyak golongan. Bergaul dengan orang Islam tidak risih dan memang orang Islam pada zaman itu sangat enak. Ia adalah konco... Dengan siapa saja, pak Siauw campur. Karena Mereka memang menyadari bahwa salam membangun Indonesia kita harus bekerja sama. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengklaim bahwa dia paling cinta RI dan paling berhak melakukan pembangunan.

Demikianlah kita hendaknya mengikuti itu. Kekuasaan dan fasilitas itu hendaknya dibagi dengan rata. Proses reformasi mungkin akan memperbaiki situasi ini.
Oleh : Moh. Sobari

www.kabarindonesia.com

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...