Sepotong Roti Seharga 20 Juta




Harare – Tingkat inflasi melambung lebih dari 100.000% di Zimbabwe. Untuk membeli roti saja, rakyat harus merogoh kocek hingga 20 juta dolar. Tapi hal itu sebanding dengan gaji pegawai pemerintah yang bisa mencapai 4 miliar dolar Zimbabwe setiap bulan.

Menurut prediksi ekonom, banyaknya uang yang bersarang di kantong para pegawai sipil dan nilai tukar dolar Zimbabwe terhadap mata uang asing yang fluktuatif, menyebabkan harga bahan pokok naik hingga 300% atau tiga kali lipat dalam beberapa hari belakangan.

“Harga memang tidak menentu selama sepekan ini,” kata John Robertson, seorang ekonom independen di Harrare, Zimbabwe. Para pelaku retail sengaja menaikkan harga jual barang mengingat daya beli masyarakat juga meningkat.

Gaji seorang pegawai sipil, meningkat dari 100 juta dolar Zimbabwe pada Desember 2007 ke 500 juta dolar Zimbabwe pada Februari 2008. Bahkan, jumlah ini kembali direvisi pekan lalu. Kini, seorang pegawai pemerintah bisa membawa pulang lebih dari 4 miliar dolar Zimbabwe setiap bulan.

Robertson juga menjelaskan, peningkatan gaji dan subsidi menimbulkan reaksi berantai. Konsumen kini mempunyai banyak uang sehingga permintaan terhadap barang-barang di pasar pun meningkat.

Hal ini juga menyebabkan meningginya nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. “Kini US$ 1 meningkat dari 40 juta ke 70 juta dolar Zimbabwe dalam sehari,” imbuhnya.

“Harga minyak goreng dalam kemasan dua liter meningkat dari 45 juta ke 180 juta dolar Zimbabwe dalam sepekan,” tambah Dennis Nikisi, ekonom yang mengakar di Universitas Zimbabwe.

Sedangkan bahan pokok lainnya seperti roti, susu, daging, bahkan obat-oabatan juga terimbas inflasi ini. Antiretrovirals, obat penghambat perkembiakan virus AIDS, pekan lalu beredar dengan harga 200 juta, kini menjadi 1,4 miliar untuk suplai sebulan.

Bagi pegawai sipil mungkin hal ini bukanlah masalah besar. Namun tidak semua orang menempuh profesi ini. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan adalah yang paling parah terimbas inflasi ini. Salah satu yang termasuk dalam golongan ini adalah para pensiunan.

Moffat Ngulube adalah seorang pensiunan berusia 70 tahun menerima 50 juta dolar Zimbabwe setiap bulannya. Uang sejumlah itu hanya bisa digunakan untuk membeli sebuku roti (20 juta), dan sebotol minuman ringan (25 juta).

Sisanya yang hanya 5 juta bahkan tidak cukup untuk membeli tiket bis seharga 10 juta dolar Zimbabwe dari rumahnya menuju Dzivarasekwa yang hanya 20 kilometer di luar Harare.

“Setidaknya saya masih terbantu,” katanya menjelaskan tentang anak-anaknya. Mereka bekerja di luar negeri dan mengiriminya berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Ngulube tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa dibantu anak-anaknya. Seperti ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan pensiunan lainnya.

Sistem kemakmuran di negara ini memang sudah sejak lama mengalami kolaps sehingga tidak bisa mendukung kebutuhan kaum miskin Zimbabwe. Pemerintah sebetulnya sudah berusaha mengatasi masalah ini dengan subsidi dan kendali harga. Namun itu semua hanya mampu menyelamatkan mereka yang kaya.

Deputi Menteri Dalam Negeri Zimbabwe, Morris Sakabuya, mengultimatum para pebisnis yang bermain curang dalam kendali harga. Ia bahkan mengancam akan mencabut izin bisnisnya.

Ia menginginkan agar para pemilik pabrik, toko, hingga ke sektor distribusi, semuanya bersatu. “Sehingga kita bisa memperbaiki kualitas hidup rakyat,” ujarnya.

Pemerintah sudah memaksa pabrikan untuk memotong harga hingga 50% dalam rangka menurunkan tingkat inflasi pada 2007 lalu. Namun, kesulitan memperoleh bahan pokok membuat mereka terjebak di antara dua pilihan, menutup pabrik atau mengurangi produksi.

Pemerintah membuat beberapa revisi untuk mengendalikan harga yang dikeluarkan pada Agustus 2007. Namun sayangnya, langkah ini gagal. Suplai barang masih saja rendah dan biaya produksinya masih tetap tinggi.

Pemerintah seharusnya menjalin kerja sama dengan masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Kebijakan yang dibuat pemerintah kebanyakan mencari amannya saja, tidak bertujuan untuk mengendalikan harga yang bisa membantu kaum miskin.

Malah, mereka merilis uang kertas dengan nilai nominal sebesar 50 juta. Lembaran baru ini nilainya setara dengan US$ 1 saja. Biasanya, lembaran ini digunakan untuk transaksi di pasar gelap. Ini merupakan kali ketiga dalam tiga bulan terakhir bank sentral Zimbabwe mengeluarkan uang dengan nilai nominal tinggi untuk mengatasi inflasi yang telah melampaui rekor negara tersebut. Mereka menyalahkan beberapa negara Barat atas masalah ekonomi yang sedang mereka hadapi ini.

Tingkat inflasi setinggi ini termasuk dalam golongan hyperinflation. Menurut catatan IMF, hanya 13 negara saja yang mengalami inflasi luar biasa sejak 1950. Rata-rata sebuah negara mengalami status ini selama 17 bulan, namun yang terlama dialami Nikaragua, yaitu 59 bulan. [E1/I4] VINA RAMITHA

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...