Sejarah Aceh dan Hubungannya Dengan Tiongkok

Masjid Baiturrahman dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai pengganti masjid yang sama namanya yang dihancurkan oleh Belanda sebelumnya pada tahun 1874.Jadi dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh, masjid ini dibangun kembali. Peletakan batu pertamanya pada bulan Oktober 1879 dan selesai pada Desember 1881. Arsiteknya adalah seorang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen PU.Bahan bangunannya banyak yang di impor dari luar negeri seperti batu pualam dari Tiongkok dan besi jendela dari Belgia.

Pembangunan Masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie. Bukan saja kontraktornya seorang Tionghoa, para pekerjanya pun hampir sebagian besar terdiri dari pekerja orang Tionghoa yang memiliki ketrampilan khusus, karena bangunan konstruksi dan detailnya cukup rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat bekerja disana ternyata sangat mengecewakan bouwherrnya. (Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami tahun 2004, bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti, walaupun diterjang oleh pasang air laut yang dahsyat.

Jaman Orba

Jaman Orba (Soeharto) adalah masa-masa yang gelap dalam sejarah komunitas Tionghoa di Aceh. Pada 8 Mei 1966, Pangdam Aceh Brigjen Ishak Djuarsa (orang Sunda, bukan Aceh) mengumumkan untuk mengusir semua warga Tionghoa dari Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Akibatnya sekitar 15.000 warga Tionghoa mengungsi dengan baju dan perlengkapan seadanya ke Medan. Mereka ditampung dijalan Metal (kamp Metal), gudang tembakau, bekas sekolah Tionghoa dan klenteng-klenteng. Hal yang sama dilakukan oleh Pangdam Jawa Timur, Jenderal Soemitro ketika itu terhadap warga Tionghoa di Jawa Timur.

Di kota Medan sendiri tembok-tembok penuh dengan coretan-coretan seperti "Orang-orang Cina pulang ! dan sekali Cina tetap Cina !". Di Medan-pun mereka masih diteror, seperti yang dikatakan oleh Pangdam Sumtera Utara pada Oktober 1966, Brigjen Sobirin Mochtar yang mengatakan bahwa demo-demo anti Tionghoa sampai sekarang tidak cukup untuk mematahkan dominasi Tionghoa dalam perekonomian setempat dan harus menolak atau menjual barang kepada orang Tionghoa serta mengawasinya agar orang-orang enggan berbelanja kesana. Ormas Orba seperti KAMI, KAPPI dan KENSI (pengusaha) Sumatera Utara juga menuntut pemerintah untuk mengusir semua warga Tionghoa dari Sumatera Utara dan Indonesia.

Ketika itu Tiongkok yang masih dalam kondisi kembang kempis dalam negerinya sendiri, terpaksa mengirim kapal "Kuang Hua" untuk menjemput warga Tionghoa yang diusir dari Aceh ini. Selama 4 kali pelayaran, kapal Kuang Hua berhasil merepatriasi sebanyak 4000 orang pengungsi Aceh dari Medan. Diberitakan bahwa kondisi kamp-kamp pengungsian di Medan itu sangat buruk kondisinya, air untuk minum pun sengaja dikurangi hingga beberapa pengungsi harus minum dari keran air WC yang disaring dan dikumpulkan.

Pada waktu itu orang-orang Tionghoa harus menolong dirinya sendiri, karena tidak ada negara asing, badan sosial dunia, LSM, atau badan-badan Internasional lainnya yang (mau) membantu. Pada jaman Orba itu, banyak aset-aset komunitas Tionghoa diambil alih dan disita, seperti misalnya gedung sekolah SMA Negeri 2 dan SMP 4 yang sebelumnya adalah bekas sekolah Tionghoa di Banda Aceh. Demikian juga dengan gedung di kawasan Pusong Lhokseumawe yang pernah menjadi SMEA Negeri dan PGA Negeri, atau Gedung Ampera di Langsa yang juga pernah menjadi SMEA dan Komisariat KAPPI di Aceh Timur. Akibat sentimen anti Tionghoa yang keras pada saat itu (antitesis daripada karakter dan tradisi orang Aceh), maka banyak warga Tionghoa meninggalkan Aceh berpindah ke Medan, Jakarta atau kota-kota lainnya di Sumatera atau Indonesia.

Tsunami

Pada peristiwa tsunami tahun 2004, banyak warga Tionghoa Aceh yang menjadi korban dan meninggal. Sekitar 6000 orang Tionghoa telah mengungsi ke Medan dan ditampung di kamp Metal. Di kamp pengungsian Medan ini bukan hanya warga Tionghoa saja yang ditampung untuk mendapatkan akomodasi dan perawatan, warga dari etnis lainpun ditampung di kamp-kamp pengungsian tersebut, tanpa perbedaan..

Diperkirakan sekitar 1000 warga Tionghoa meninggal pada waktu peristiwa tsunami itu yang kebanyakan bermukim di "Peunayong" atau pusat perniagaan, perdagangan atau pecinan di Banda Aceh. Mereka juga banyak yang mengeluh, bahwa toko-tokonya ada yang dijarah ketika itu (sekitar 60% pertokoan di Banda Aceh milik warga Tionghoa). Tidak semua warga Tionghoa itu ekonominya berkecukupan atau kaya di Banda Aceh, warga Tionghoa yang miskin pun dapat dijumpai disana seperti mereka yang tinggal di Kampung Mulia dan Kampung Laksana, yang tak jauh dari Peunayong. Dan tidak semuanya warga Tionghoa dari Banda Aceh ini mengungsi ke Medan, beberapa diantaranya tetap bertahan di Banda Aceh, seperti sepasang suami istri pemilik toko kaca mata "Joy Optikal", dimana separuh pelanggannya telah meninggal dunia. Pemilik toko Jay Optikal, Maria Herawati berkata "Hidup atau Mati, saya akan tetap tinggal di Aceh" (The Christian Science Monitor, February 18, 2005).

Kepedulian komunitas Tionghoa terhadap Aceh dapat dilihat juga dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi dan individu Tionghoa pada waktu pasca bencana tsunami dengan memberikan bantuan yang dibutuhkan, termasuk juga warga Tionghoa Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat seperti ICAA (Indonesian Chinese American Association) yang berkedudukan di Duarte, Los Angeles, California serta Organisasai- organisasi Tionghoa lainnya dari Singapore, Malaysia dan Taiwan juga datang memberikan bantuan.

Pemerintah Tiongkok-pun telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan bangunan untuk membangun sekolah di Aceh. Bantuan dengan berat total 7000 ton itu akan dipakai untuk membangun 60 sekolah yang masing-masingnya terdiri dari 15 kelas. Bantuan ini diberikan sesuai dengan permintaan pemerintah Indonesia. Selain itu Dubes Tiongkok untuk Indonesia , Lan Li Jun, mengatasnamakan sumbangan dari rakyat Tiongkok, memberikan sumbangan 12 juta dolar lebih untuk membangun pemukiman baru dengan 660 unit rumah tipe 42 di Desa Neuheuen, kabupaten Aceh Besar. Selain perumahan yang dibangun diatas lahan seluas 22,4 ha itu, akan dibangun juga gedung TK, SD, pertokoan, Puskesmas, balai pertemuan, tempat bermain dan lapangan sepakbola. Perumahan ini nantinya akan dinamakan Kampung Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Sumber


Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...