Pertarungan Berbasis Primordialisme

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Pilgubsung yang akan dilangsungkan 16 April 2008 sejak awal sudah menyita perhatian politik rakyat. Di antara fenomena yang menarik adalah bekerjanya faktor sentimen primordial, dan itu memang sangat lazim. Himpun Panggabean dari US XII Medan dengan berani mengatakan kepada salah satu harian lokal bahwa pasangan RE Siahaan dan Suherdi akan tampil sebagai pemenang dalam satu putaran dengan perolehan suara 50 % bahkan ditambah 1.

Dasar perhitungannya ialah komposisi penduduk menurut agama yang jika dapat bersatu dan bulat untuk pasangan ini, dengan ditambah lagi oleh faktor daya pikat pasangan ini untuk kalangan Jawa dan kalangan nasionalis lainnya di luar yang beragama Kristen, termasuk warga Tionghoa. Secara empiris hal itu sudah terjadi di beberapa tempat di Indonesia setelah penerapan model pemilihan langsung berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Undang-undang bahkan memperbolehkan kemenangan satu pasangan dengan hanya memperoleh 25 % lebih dari total suara sah saja. Itulah dasar optimisme dosen Humaniora yang berasal dari Pahae ini.

Tokoh-tokoh Islam di Sumatera Utara sudah sejak awal memikirkan hal ini dan amat khawatir jika dari kalangan mereka akan tampil dua pasangan calon atau bahkan lebih. Bagaimana usaha agar hanya satu pasangan untuk orang Islam, telah didiskusikan berulang kali dan menyita waktu dan pikiran. Namun hasilnya tak seperti diharapkan. Koalisi Umat (KU) yang digagas dan didirikan tidak berhasil, terutama karena memang dia berada jauh di luar pusaran politik yang sesungguhnya. Mungkin saja dalam KU itu ada orang-orang yang pantas menjadi calon di antara tokoh yang ada, namun KU tidak punya keberwibawaan bahkan untuk tindak negosiatif dengan pusaran politik yang menentukan, yakni partai politik.

Di pihak lain partai politik Islam (PKS, PPP, PBR, PBB) ditambah dengan PAN yang dinyatakan sebagai partai yang berbasis pendukung mayoritas Islam, juga tidak ketinggalan melakukan kajian dan diplomasi politik untuk tujuan yang sama. Tetapi itu juga kandas. Salah satu penyebab utama tentulah faktor kekuatan partai yang tidak satu pun mencapai kecukupan syarat sebagai pengusung pasangan calon. Sebetulnya di sinilah ujian ukhuwah itu ternyata gagal dijalani, karena jika ingin melaksanakan hasrat yang mereka kemukakan maka syaratnya hanya satu: bersatu. Faktor lain ialah tokoh-tokoh kunci di balik kelima partai itu pada kenyataannya berada pada level yang kurang lebih sama sehingga keikhlasan yang satu tidak pernah muncul jika peluang terbuka itu diberi saja kepada yang lain.

Benarkah terlalu muda dan tak berpengalaman jika untuk calon gubernur Raden Syafii itu didukung untuk tujuan terpenuhinya obat keresahan mereka? Siapa bilang Ibrahim Sakty Batubara itu tidak memiliki kemampuan untuk itu, dan apa harus pula diragukan jika Gatot Pujonugroho yang diberi jalan? Hasrul Azwar yang selama ini menjadi arsitek di belakang PPP tentulah orang yang juga mumpuni untuk jabatan BK 1 itu. Tetapi itulah mereka. Subjektivisme terlalu dalam dan bersejarah panjang pula. Memang partai politik itu hanyalah sebuah wadah kepentingan politik apriori yang dikukuhkan oleh undangundang. Pantaslah keikhlasan tidak akan pernah muncul, dan benang kusut semakin kusut. Di kubu RE Siahaan dan Suherdi tentulah rasa was-was besar juga. Secara langsung mereka berhadap-hadapan dengan pasangan Benny Pasaribu yang digandeng oleh Tri Tamtomo Panggabean. Kedua pasangan itu tidak mungkin bisa berdamai, karena misi masing-masing pasangan itu hanya untuk satu kata:'menang'.

Jangan katakan RE Siahaan dan Suherdi terlalu muda dan tak berpengalaman, karena terbukti sejak awal pasangan ini mampu tampil elegan dengan entertainment pasangan kombinasi yang secara berani dijajakan jauh-jauh hari dan itu terbukti ampuh dan lolos dalam satu babak prakwalifikasi yang semua tahu begitu sukar dan penuh rintangan. Bagaimana mengatakan tidak kuat bahwa pasangan Tri Tamtomo Panggabean dan Benny Pasaribu itu akhirnya disatukan di KPU setelah menyisihkan sejumlah tokoh kawakan bahkan dalam hal senioritas, termasuk membiarkan ketakikhlasan Rudolf M Pardede yang benar-benar masih ingin memperpanjang masa jabatannya melalui Pilgubsung 2008? Memang tak mudah menghitung kemenangan di antara pasangan-pasangan ini.

Tetapi yang jelas rasa was-was yang muncul atas nama sentimen primordialitas itu tak tahu mau diapakan, dikatakan tak nasionalis tentu salah. Mau dikatakan sektarian tentulah ada benarnya. Biarlah skenario kelima pasangan ini berjalan secara elegan dan santun dengan tanpa niatan untuk sebuah kecurangan sekecil apa pun. Mudah-mudahan mereka, anak-anak bangsa ini, dan kolega-kolega mereka, tidak termasuk dalam kelompok yang sedang menjalankan hal yang salah yang seperti dikritik oleh ilmuan berikut ini: 'Politik, kalau bukan suatu perjuangan kepentingan yang menyamar sebagai persaingan prinsip, pastilah penyelenggaraan masalah-masalah masyarakat untuk kepentingan pribadi' (Ambrose Bierce).

Penulis adalah Koordinator nBASIS dan Dosen Sosiologi Politik Kopertis Wilayah I

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...