Peranakan Tionghoa di Balik Layar Kemajuan Bangsa

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan keberagaman etnisnya. Ada orang Batak yang dikenal berpendirian teguh dan suka berbicara lantang, ada orang Madura yang mahir memasak sate, ada orang sunda yang lembut dan sopan, ada orang Banten yang mahir memainkan atraksi debus, ada orang dayak yang pintar berburu, dan masih banyak lagi. Setiap etnis memiliki karakter , kebiasaan , adat istiadat serta kelebihan dan kekurangan masing - masing yang menjadi suatu keindahan tersendiri.

Namun, terlepas dari semua perbedaan yang ada, kita semua adalah satu. Satu keluarga didalam satu bangsa, Bangsa Indonesia. Seperti yang tercantum dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika maupun Undang - Undang Dasar yang menyatakan bahwa kita semua sama, tidak ada perbedaan. Tetapi pada kenyataannya, selama ini tetap ada diskriminasi terhadap keturunan Cina di Indonesia.

Keturunan Cina di Indonesia, atau yang lebih sering disebut dengan kaum peranakan, sering kali mendapatkan perlakuan berbeda di dalam pergaulan masyarakat Indonesia yang didominasi oleh orang - orang asli Indonesia yang menyebut diri mereka pribumi. Padahal jika kita mencoba untuk menengok sejarah, dalam pidatonya, Bung Hatta mengatakan bahwa Republik Indonesia lahir ke dunia dengan pertumpahan darah dan air mata.

Apa yang dicita - citakan Bangsa Indonesia tidak saja hanya ingin melihat negaranya menjadi Negara Hukum, tetapi juga sebagai Negara Peradaban. " R.I. (S) yang berdasarkan demokrasi dan perikemanusiaan akan mengenal hanya satu macam warga negara, dengan tiada membeda - bedakan asal - usulnya" kata Bung Hatta selanjutnya. Lewat Pidato tersebut harusnya kita sadar bahwa baik peranakan maupun pribumi, keduanya adalah sama, sama - sama Bangsa Indonesia.

Yang membedakan keduanya hanyalah soal fisik, mereka yang peranakan, dalam hal ini khususnya peranakan Tionghoa cenderung memiliki warna kulit yang lebih cerah dibandingkan pribumi, namun seiring berjalannya waktu, banyak peranakan Tionghoa yang telah membaur dengan masyarakat setempat hingga terkadang perbedaan fisik pun tak tampak lagi, bahkan hanya segelintir peranakan Tionghoa yang masih paham bahasa leluhur. Karena pada dasarnya kita adalah sama, walaupun berbeda soal fisik di dalam benak kita telah tertanam rasa cinta tanah air yang sama, baik peranakan Tionghoa maupun pribumi sama - sama mencita - citakan Indonesia yang maju.

Jika kita kembali menengok sejarah, kita akan tahu bahwa sebenarnya tidak sedikit peranakan Tionghoa yang telah banyak berjasa bagi bangsa ini. Apakah anda pernah mendengar nama Lie Eng Hok ? Lie Eng Hok adalah seorang WNI keturunan Tionghoa yang pernah merasakan pahit-getirnya ditahan pemerintah kolonial Belanda dan dibuang ke Papua selama 5 tahun ( 1927 - 1932 ), karena dituduh sebagai salah seorang "otak" pemberontakan 1926 di Banten. Lie semasa mudanya aktif sebagai wartawan Sin Po dan bersahabat dengan W.R. Supratman. Lewat sahabatnya tersebut ia banyak belajar tentang cita - cita kebangsaan, sesuatu yang jarang dilakukan oleh pemuda keturunan Tionghoa waktu itu.

Semasa hidupnya Lie banyak mengabdi bagi bangsa ini dengan menjadi mata - mata bagi teman - temannya sesama kaum pergerakan di Semarang. Dengan menjadi pedagang buku bekas, ia sering membeli buku dengan cara mendatangi rumah - rumah orang Belanda. Dari pekerjaan ini ia memperoleh banyak kenalan dan informasi, yang sering ia sebarkan kepada teman - temannya. Ia juga menjadi kurir orang - orang yang dicurigai Belanda di daerah Jawa Tengah yang hendak mengirim surat kepada sesama orang pergerakan di Semarang. Tak jarang pula ia mencarikan mereka penginapan yang aman bila sedang mengadakan rapat di Semarang. Sampai suatu saat peran Lie sebagai penghubung orang - orang pergerakan ketahuan Belanda. Ia kemudian ditangkap dan dibuang ke Papua, ke tempat bagi orang - orang yang tidak disukai Belanda.

Selain Lie Eng Hok, ada seorang gerilyawan yaitu Almarhum Ferry Sie King Lien yang telah menyumbang jiwa dan raga sebagai harta milik manusia yang paling berharga, demi bangsa ini. Almarhum Ferry Sie gugur dalam Perang Kemerdekaan II di Solo. Ferry adalah seorang gerilyawan kota yang bergerak malam - malam menembaki pos - pos Belanda, menempelkan plakat - plakat untuk memberi dorongan kepada penduduk Solo, menjaga keamanan / perlindungan kepada penduduk dari bahaya rampok dan lain - lain. S

ampai suatu malam, ketika Ferry dan kawan - kawannya mengadakan kegiatan gerilya, mereka tertangkap basah oleh satu regu tentara Belanda, ia dan kawan - kawannya kemudian diberondong dengan tembakan dari panser. Jasad Ferry yang saat itu baru berusia 16 tahun dimakamkan keesokan harinya, dan setelah Tentara Belanda meninggalkan kota Solo, jenazah Ferry dan semua prajurit yang gugur dipindahkan ke Makam Pahlawan Taman Bahagia, Jurug, Solo dalam upacara kebesaran militer. Makam Ferry Sie merupakan satu - satunya makam peranakan Tionghoa di Makam Pahlawan Jurog, Solo.

Jika anda adalah seorang pencinta film, tentunya anda tidak asing lagi dengan nama Soe Hok Gie. Almarhum Soe Hok Gie adalah salah satu tokoh penting mahasiswa. Ia termasuk salah satu tokoh kunci dalam sejarah munculnya Angkatan '66, suatu angkatan dalam sejarah gerakan kaum terpelajar muda di Indonesia yang nyaris jadi legenda, sekaligus mitos. Soe Hok Gie pada masa itu banyak menulis dan membuat catatan - catatan di berbagai media masa. Tulisan - tulisannya yang tajam, menggigit dan seringkali sinis itu membuat rasa kemanusiaan setiap pembacanya seperti dirobek - robek. Lewat tulisan - tulisannya dan kritik - kritik terhadap pemerintah, Soe Hok Gie berusaha untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lie Eng Hok, Ferry Sie King Lien, dan Soe Hok Gie hanya segelintir dari kaum peranakan Tionghoa yang telah banyak mengabdikan dirinya bagi bangsa ini. Selain mereka masih ada nama - nama seperti Biyanti Kharmawan ( Ekonom Internasional yang berjasa memajukan perekonomian Indonesia ), H. Karim Oei ( Sahabat Bung Karno yang banyak memberikan dukungan bagi Bung Karno ketika menjalankan pemerintahan ), Tan King Gwan ( mengharumkan nama Indonesia di bidang olah raga pada Thomas Cup ), Yap Thiam Hien ( seorang pejuang Hak Asasi Manusia di Indonesia ), Oei Jong Tjioe ( penasihat Bung Hatta ), Yap Tjwan Bing ( Salah satu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ), Teguh Karya ( mengharumkan nama bangsa lewat karya - karyanya di dunia teater dan film ), Kwik Gian Gie ( Ekonom dan staf litbang PDI Perjuangan ), Liem Swee King ( mengharumkan nama bangsa dengan menjadi Juara dunia di bidang bulutangkis tahun 1980 ), Rudi Hartono ( Mengharumkan nama bangsa dengan menjadi Juara All England sebanyak delapan kali ) dan masih banyak lagi peranakan tak dikenal yang memperkaya khazanah keindonesiaan. Saya berharap lewat tulisan ini mudah - mudahan timbul harga diri yang wajar di kalangan peranakan Tionghoa. Mereka tidak lagi menjadi orang pinggiran yang mudah tersingkir dan terusir dalam berbakti kepada Tanahair.

Karena sekali lagi pada dasarnya kita semua adalah sama, baik pribumi maupun peranakan sama - sama mencita - citakan Indonesia yang lebih baik. Karena itu marilah kita bersama - sama bersatu dan berjuang demi kemajuan bangsa ini, seperti apa yang telah dicita - citakan para pendahulu bangsa ini.

Dibuat oleh : Deirdre Tenawin
Sekolah Santa Laurensia

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...