Mewaspadai Tragedi Kalbar

Oleh Muhammad Khalid, MA

Teka-teki balon Gubsu terjawab sudah, tatkala Komisi Pemilihan Umum Sumut menutup pendaftaran tepatnya pukul 24.00 WIB, Kamis (24/1) tengah malam. Ada pun kelima calon yang diterima terdiri dari H. Syamsul Arifin-Gatot Pujonugroho (Bupati Langkat-PKS), H. Ali Umri-Maratua Simanjuntak (Golkar), R.E. Siahan-Suherdi (Walikota Siantar-PKB), Abdul Wahab Dalimunthe-H.R.Muhammad Syafi'i (Ketua DPRD- PBR) dan Tritamtomo-Benny Pasaribu (mantan Pangdam I BB-PDIP) dengan diantar oleh massa pendukung masing-masing. Mayoritas ummat Islam tentu merasa bangga dengan banyaknya para tokoh Islam bertarung sebagai calon Sumut 1 dan 2, namun di sisi lain tersimpan kekhawatiran yang mendalam bagi penulis dan mungkin mayoritas umat Islam Sumut terhadap pasangan pelangi yang dihadapi.

Elite Islam Sulit Bersatu
Sejak awal 2007 para tokoh Ormas dan Politik Islam sudah membincangkan balon yang bakal menduduki kantor yang beralamat di Jalan P.Diponegoro tepatnya berdampingan dengan Masjid Agung yang merupakan sebagai salah satu kebanggaan warga Muslim Kota Medan. Sejak itu pulalah kepala daerah sudah melakukan kuda-kuda dan ancang-ancang sebagai Gubsu dan bukan sebagai Wakil Gubernur serta siapa yang bakal digandeng dan perahu apa yang cocok untuk mengantarkan dirinya sampai ke dermaga dengan selamat.

Keengganan para balon sebagai wakil karena sampai hari ini Undang-Undang terkait posisi itu belum menentukan untuk mengambil sebuah kebijakan dan keputusan, posisinya terkesan hanya sebagai ban serap dan penggunting pita semata, namun berbeda halnya ketika melihat Jusuf Kalla walau sebagai Wakil Presiden berkat didukung oleh mayoritas anggota DPR RI dari Partai Golkar dan sebagai partai pemenang Pemilu 2004, ia dapat lebih memberikan arti dan warna dalam dinamika perpolitikan di Indonesia, sehingga posisi beliau sangat memiliki daya tawar amat tinggi dan sangat diperhitungkan oleh SBY dalam mengambil sebuah keputusan dan kebijakan. Dari sini, ummat Islam dapat membaca dan berasumsi bahwa para elite, tokoh partai Islam dan partai nasionalis religius lebih mementingkan kelompok dan golongan ketimbang kepentingan ummat pada umumnya. Walaupun mereka sepakat bahwa dipimpin minhum (dari kalangan mereka) adalah sangat menyengsarakan dan terkadang membuat pendangkalan dan menggoyahkan iman.

Hal ini dilandasi oleh Firman Allah dalam surat at-Taubah : ayat 23, 'hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan Bapak-bapak dan saudaramu sebagai pemimpin-pemimpin kamu, jika mereka lebih cenderung kepada kekafiran daripada keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang yang zalim'. Salah satu contoh adalah ketika bingkisan dan bantuan untuk warga Belawan pernah mengusik rasa keimanan masyarakat Sumatera Utara. Apalah daya reaksi ummat Islam di media terkesan bagaikan kerupuk disiram air. Sehingga pantaslah ummat Islam jauh hari telah diprediksi oleh Rasulullah Saw, 'bagaikan buih di lautan' , alias banyak, tetapi tidak mempunyai kekuatan dan mudah dipecah belah oleh pihak lain. Alhasil yang salah adalah mungkin kita yang senantiasa dijuluki sebagai tokoh agama dan pemimpin ummat bila dalam Pilkada nantinya tidak mampu mengantarkan Muslim-Muslim sebagai Sumut 1 dan 2, akibat terpecahnya suara ummat Islam pada ke lima kandidat.

Mewaspadai Tragedi Kalbar
Terdetak di hati penulis ketika membaca artikel Saudara Azhari Akmal Tarigan dengan judul 'Mungkinkan Umat Bersatu dalam Pilgubsu'. Kalau kita cermati yang bersatu sebenarnya adalah ummat, mau ke mana diarahkan, baik ke Utara, Selatan, Timur dan Barat, umat akan tetap bersatu, tetapi setelah kita lihat, yang terpecah adalah para elite dan kandidat dengan segala jurus dikeluarkan untuk menggolkan dirinya. Sudah sepantasnya elite Islam dan para kandidat untuk berpikir ulang dan duduk semeja agar apa yang terjadi di Kalimantan Barat tidak terulang di Sumut, di sana calon Islam hanya dua kandidat melawan minhum sebagai Gubernur dan keturunan Tionghoa sebagai wakilnya. Namun pasca Pilkada terjadi penyesalan karena kandidat lebih dari 1 dari umat Islam berujung pada kekalahan, ujar Prof. Dr. H. Ridwan Lubis tatkala memberikan ceramah hikmah Muharram yang diselenggarakan MUI Sumut di Lapangan Banteng Medan (2/2) lalu dengan thema: 'Merajut Ukhuwah, Menyatukan Langkah, Demi Masa Depan Umat'.

Momentum Pilgubsu inilah para elite diharapkan untuk menyelamatkan kepentingan ummat yang lebih besar ketimbang kepentingan pribadi, partai, etnis dan kelompok. Mungkin para kandidat sering bersumbar dan berslogan saat berkuasa di daerahnya, bahwa 'bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh'. Pepatah yang sering diulang tatkala duduk di bangku SD. Pepatah ini mudah dikatakan, tetapi amat berat jika diaplikasikan, apalagi yang terkait dengan kedudukan, jabatan yang berujung kepada pendulangan pundi-pundi deposito, prestise pribadi dan keluarga. Terserah sepakat atau tidak, ini sudah menjadi kegelisahan elemen umat Islam di grassroot terhadap rencana awal Parpol Islam PKS, PPP, PAN, PBR dan PBB untuk mengusung sebuah nama, namun akhirnya hanya sebagai sebuah wacana semata, akibat tidak adanya kata final sebagai calon Gubsu dan wakilnya, karena masing-masing berlomba untuk mengajukan calon masing-masing yang akhirnya harus pecah kongsi.

Jika di Kalbar dua calon ummat Islam sudah keok bagaimana dengan Sumut dengan empat kandidat termasuk calon pelangi di dalamnya, tentu kita sudah pahit merasakan dua tahun belakangan ini apalagi jika lima tahun ke depan, bagaimana nasib umat? Sudah sepantasnya di bulan Muharram yang mulia ini untuk mengkaji ulang peristiwa terbesar yang terjadi di masa Rasulullah Saw bahwa pendukung beliau adalah kaum Muhajirin (orang yang hijrah dan menjadi penggerak panji-panji Islam) dan Anshor (penolong bagi saudaranya seiman untuk kepentingan agama). Mereka sangat siap untuk dipimpin (Jundiyah) dan jika diberi amanah mereka siap sebagai pemimpin (Qiyadah). Terlihat untuk menjadi pemimpin, setiap kandidat terkadang berjibaku dan terlalu bersemangat walau kondisi ummat harus dikorbankan. Penulis bukan mengajari limau berduri, sepantasnya di moment awal tahun 1429 Hijriyah ini, hendaknya para kandidat mengambil pelajaran bagaimana para sahabat lebih mengutamakan kepentingan saudaranya ketimbang dirinya berkenaan dengan situasi dan kondisi di masa Rasulullah Saw.

Ada lima orang sahabat yang kehausan, tatkala mereka menemukan sewadah air, salah seorang sahabat mau meminumnya, tatkala air itu hendak dituangkan ke mulutnya oleh yang pertama, lalu teman yang kedua mengerang kehausan 'air, air, air...haus, haus, haus' lalu air itu diberikan kepada yang kedua begitu seterusnya sampai yang terakhir. Apa hendak dikata, demi kepentingan saudaranya semuanya meninggal dunia akibat kehausan, dalam bahasa agama dikenal dengan itsar. Inilah yang diharapkan kepada kontestan yang akan bertarung untuk lebih memberikan haknya kepada Saudaranya sesama kandidat, yang akhirnya kemenangan itu adalah milik kita semua sebelum nasi menjadi bubur dan akhirnya terjadi penyesalan yang membawa penderitaan bagi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Sumut ini. Walau penulis sadar bahwa gagasan ini bukan semudah membalikkan tapak tangan, tetapi harus dimulai.

Pendaftaran calon, baru beberapa minggu berlalu, waktu masih panjang kira-kira hampir 2 bulan lagi. Rentang waktu inilah untuk mendesain dan mematangkan langkah dan strategi, sudah saatnya kita bersatu, jika di DKI Jakarta dan Kota Medan seluruh Parpol Islam dan nasionalis mampu menjadikan PKS sebagai ''musuh'' bersama walau mereka jelas-jelas seorang Muslim, tetapi kenapa di Pilgubsu ini kita tidak mau untuk bersatu padu, padahal di atas kertas kalangan minhum sudah di ambang kemenangan dengan kalkulasi matematis bahwa umat Islam 63% dan selebihnya minhum, sehingga timbul pertanyaan, ada apa? Legowolah, mari kita ke depankan kepentingan ummat, singkirkan dendam, kepentingan pribadi dan golongan sesaat.

Di samping itu, MUI Sumut harus mempunyai strategi dengan membuat format untuk menentukan satu paket calon tanpa ada rekayasa untuk menggolkan 1 kandidat dan menyingkirkan kandidat lain, seperti melakukan Pemilu Raya Umat Islam di masing-masing kota di seluruh Sumut dan hasilnya dimusyawarahkan dan diputuskan dalam rapat Pleno MUI, bersama Ormas Islam. Tentu dilakukan secara fair play dan kita tidak berharap seperti terjadi dalam sejarah berkenaan diangkatnya Mu'awiyah dan tergusurnya Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah karena disisipi kepentingan pribadi dan kelompok. Terakhir, ingatlah bahwa bersatu kita bisa dan menjadi ummat yang maju. Wallahu'alam.

Penulis adalah Sekretaris MUI Kab. Langkat.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...