Menjembatani Sekat Komunikasi Antara Tionghoa dan Pribumi

Oleh Lusiana A. Lubis

Indonesia adalah sebuah masyarakat multikultural atau bhineka tunggal ika, yaitu sekumpulan masyarakat sukubangsa dan kebudayaan beragam yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut.

Untuk masyarakat yang heterogen, seperti Sumatera Utara khususnya kota Medan, karena tidak adanya sukubangsa yang dominan maka semua sukubangsa (pribumi) mencoba untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan satu sikap "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung".

Lain halnya dengan Tionghoa Medan, ada kecenderungan kesadaran akan menjunjung nilai-nilai budaya tempatan tidak diindahkan. Hal ini menyebabkan peluang dan kesempatan dalam proses asimilasi/pembauran jauh dari pengharapan. Etnis Tionghoa di Medan bahkan mendapat julukan "China Medan yang Eksklusif" bukan dari warga pribumi saja bahkan dari sesama etnis Tionghoa yang berasal dari luar Medan Sumatera Utara.

Dalam satu bulan belakangan ini sangat ramai dibicarakan tentang konsep asimilasi atau pembauran di antara etnis Tionghoa keturunan dan pribumi. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai media yang ada, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Tambahan lagi, dengan ditegaskannya kembali tentang UU NO.12/2006 tentang kewarganegaraan Indonesia, yang salah satu isinya adalah menempatkan posisi warga Tionghoa dalam persamaan dan kesetaraan dengan warga negara yang lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada perayaan Tahun Baru China, 18 Februari 2008.

Menurut penulis ada beberapa aspek yang dapat menjembatani sekat-sekat komunikasi antarbudaya di antara etnis Tionghoa dengan pribumi ke depannya .

a. Memperbaiki Persepsi Budaya
Persepsi selalu diartikan sebagai proses di mana setiap individu mencoba mempertahankan hubungan dengan dunia di sekitarnya, karena individu tersebut mempunyai kemampuan untuk mendengar, melihat, mencium, menyentuh dan merasa. Kita dapat merasakan apa yang ada di sekitar kita, kita juga dapat menyadari apa yang terjadi di sekitar kita atau di luar kita. Sebenarnya apa yang kita lakukan adalah menciptakan citra dalam segi fisik dan objek sosial dari peristiwa yang kita temukan dalam lingkungan sosial menjadi pengalaman dan pengetahuan yang penuh arti.

Persepsi budaya yang terbentuk di antara etnis yang berbeda budaya, apatah lagi antara etnis pribumi dan etnis migran seperti Tionghoa tentu saja banyak yang berkonotasi negatif (buruk). Hal ini disebabkan karena world view (sistem kepercayaan, nilai-nilai dan perilaku/sikap) yang terbentuk di antara budaya sudah tidak sama. Misalnya saja dalam hal kepercayaan. Pada umumnya masyarakat Indonesia beragama Islam. Dalam ajaran Islam jelas diatur secara jelas dan tegas mana yang hak dan yang batil, halal dan haram, dan lain-lainnya. Bagi etnis Tionghoa mereka umumnya menganut kepercayaan Sinkretisme (ajaran Konfisius, Budha dan Tao), yang wujudnya abstrak dan tersembunyi seakan-akan tanpa disadari oleh mereka sendiri namun aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi daya energi bagi perinsip-perinsip hidupnya. Keadaan ini mempersulit proses asimilasi dalam wujud perkawinan campuran di antara keduanya. Tidak seperti yang terlihat di Filipina, Thailand ataupun negara lainnya yang penduduknya tidak didominasi oleh agama tertentu .
Nilai-nilai yang terbentuk di atas akan mempengaruhi perilaku/sikap seseorang individu seperti warga dari etnis Tionghoa itu diakui oleh pribumi: ulet, pekerja keras, rajin, hemat, cepat dan memiliki semangat wiraswasta yang tinggi di mana pun mereka berada. Sebaliknya perilaku/sikap pribumi terlihat lebih santai/pergerakan lambat sebab merasa berada di rumah sendiri di mana sumber daya alam dan tanah ulayat telah tersedia secara turun temurun. Kemudian, tidak semua sukubangsa bersikap hemat, mandiri, dan mempunyai semangat wiraswasta yang gigih seperti halnya etnis Tionghoa.

Muncullah stereotipe dari masing-masing etnis, yang mana pribumi mencap etnis Tionghoa sebagai berikut: suka hidup berkelompok-kelompok, lebih suka tinggal pada kawasan tersendiri (eksklusif), hanya mementingkan uang, merasa superior, berpegang teguh kepada budaya leluhur dan kesetiaan kepada negara Indonesia pada saat yang paling baik meragukan dan pada keadaan yang paling buruk bersikap bermusuhan. Bagi etnis Tonghoa, mereka juga memberi cap yang kurang baik bagi pribumi yaitu kerja sedikit uang mau banyak, pemalas, pandainya cuma memeras dan menekan dan urusan dengan pemerintah dipersukar. Hal ini terus berkembang dan akhirnya membentuk persepsi budaya dari masing-masing etnis yang lebih bersifat negatif (berperasangka sosial yang negatif). Padahal tidak semua pribumi seperti itu, atau tidak semuanya etnis Tionghoa keturunan yang seperti itu sekarang ini.
Dengan persepsi budaya yang berbeda, wajar saja asimilasi atau pembauran itu tidak dapat terwujud, hanya sekadar singgah di bibir saja.

b. Merefleksi Bahasa

Menyoroti bahasa, memang diakui oleh pakar-pakar komunikasi antar-budaya bahwa kesulitan dalam memaknai pesan secara bersama (faham dan mengerti) akan menjadi masalah bagi peserta-peserta yang terlibat dalam komunikasi terutamanya dari budaya yang berbeda. Ada kecenderungan munculnya ketersinggungan budaya atau kesalafahaman karena pesan tidak dapat dimengerti secara bersama. Peluang itu sangat jelas kelihatan di kota Medan ini yang mungkin disebabkan tidak adanya budaya yang dominan. Seperti di Sumatera Barat, budaya dominan adalah budaya Padang, maka etnis minoritas seperti halnya etnis Tionghoa berasimilasi dengan bahasa setempat. Begitu juga halnya di Pakanbaru Riau, masyarakat di sana menggunakan bahasa Riau tidak terkecuali etnis Tionghoanya. Sama halnya di pulau Jawa, etnis Tionghoa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa di antara sesamanya.
Kita tidak dapat menyalahkan sepenuhnya etnis Tionghoa semakin nyaman berbahasa China sesama etnisnya (in group) di mana saja mereka bertemu. Secara sadar ataupun tidak disengaja kita pun kadangkala sering melakukan kesalahan yang sama, di mana apabila kita berjumpa dengan in group kita (sesama suku Padang berjumpa menggunakan bahasa Padang, sesama suku Batak berjumpa menggunakan bahasa Batak, sesama suku Karo berjumpa menggunakan bahasa Karo, dll). Mudah-mudahan apa yang penulis katakan ini tidak salah, sebab ini adalah hasil pengamatan penulis. Bukan berarti dengan menggunakan bahasa Indonesia kita kehilangan "bahasa ibu", justru membuat kita semangkin kaya akan keragaman bahasa.

c. Membangun Hubungan Harmonis

Membangun hubungan yang harmonis merupakan suatu dambaan semua warga Indonesia tidak terkecuali etnis/sukubangsa apa orang tersebut. Sekat-sekat komunikasi yang terhambat dapat diatasi dengan adanya jalinan hubungan yang harmonis di antara etnis Tionghoa dan pribumi. Untuk sampai kepada tahap hubungan komunikasi yang harmonis salah satunya dibutuhkan kerjasama dari masing-masing etnis dengan mengubah persepsi budaya yang selama ini terbentuk, prasangka sosial yang lebih berkonotasi negatif, dan adanya jarak sosial dengan ditunjukkan melalui perilaku dalam bersikap dan berbahasa tentunya .
Dalam menjaga suatu hubungan yang harmonis, kita pasti mengharapkan wujudnya suasana keterbukaan dan kepercayaan yang memungkinkan setiap individu yang berbeda budaya untuk saling berbagi informasi, perasaan, bahkan respon-respon terhadap hubungan itu sendiri.

Mungkinkah ini akan terwujud di Medan? Semuanya kembali kepada kita masyarakat Medan. Tidak terkecuali, etnis mana dia atau dari suku-bangsa mana sesorang itu berasal. Mari kita maknai "INI MEDAN BUNG" dengan arti yang sebenar-benarnya, di mana masyarakat Medan adalah masyarakat yang santun dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan keragaman budaya.

* Penulis adalah dosen FISIP USU

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...