Menjadi Tionghoa, Menjadi Indonesia

Sejarah etnis atau masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah sejarah perlawanan. Perlawanan terhadap penindasan, juga perlawanan melawan ketidakadilan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif. Pembekuan hak politik, hingga tidak diperbolehkannya menjadi PNS menjadi pil pahit yang harus ditelan bagi warga Tionghoa pada masa Orde Baru.

Bahkan lebih dari itu, tidak hanya ditenggelamkan dalam penulisan sejarah, masyarakat Tionghoa telah menjadi “tumbal” dan “kambinghitam” rezim demi mempertahankan status quo. Beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998.

Kategori dan klasifikasi “pribumi” dan “non-pribumi” serta “WNI” sejak pertengahan tahun 1960-an tampaknya menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan dan penistaan terhadap masyarakat Tionghoa di banyak daerah.

Padahal menurut Claudine Salmon—peneliti asal Perancis yang mendedikasikan hampir seluruh kariernya untuk meneliti kebudayaan Tionghoa dan juga kebudayaan Tionghoa di Indonesia—dalam bukunya, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, a Provisional Annotated Bibliography (1981), mengatakan, bahwa di Indonesia, tulisnya, kalau ada istilah suku-suku, orang Tionghoa dianggap sebagai suku asing. Tetapi, siapa yang “asing”, siapa yang “pribumi”, sebenarnya tidak terpisah seperti minyak dengan air. Bahkan menurut Claudine, “saya kira sejumlah orang Indonesia yang menganggap diri sebagai orang ’pribumi’ adalah keturunan Tionghoa”.

Sadar akan hal itu, baru pascareformasi atau tepatnya di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah diterbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China. Berdasarkan Keppres No 6/2000 itu, ekspresi budaya, agama, dan kepercayaan bagi etnis Tionghoa telah dibebaskan secara terbuka dengan tanpa ijin.

Kepres inilah yang kemudian mengilhami lahirnya pengakuan tradisi Imlek dirayakan setiap tahun, bahkan dijadikan sebagai hari libur nasional setara dengan hari-hari libur lainnnya. Namun Keppres ini masih sebatas pengakuan simbolik atas ekspresi bagi etnis Tionghoa dalam ranah publik dan belum menyentuh pada ranah agama dan kepercayaan Khonghucu.

Pengakuan negara terhadap ekspresi tradisi China sejatinya bukan hanya menyentuh wilayah budaya, seperti peringatan Imlek setiap tahun, suguhan tarian barongsay dan liong. Tetapi harus menyentuh wilayah agama dan kepercayaan, sehingga yang diperingati sebagai hari libur nasional bukan Tahun Baru Imleknya. Melainkan pada perayaan agamanya, seperti pengakuan negara terhadap hari libur nasional selama ini, selalu identik dengan ekspresi agama bukan budaya, seperti Natal, Waisak, Nyepi, Idul Fitri, Idul Adha, Hijrah, Maulid, Kenaikan Isa As dan lain-lain.

Hal itulah yang juga diresahkan oleh dua tokoh Tionghoa di Yogyakarta, Hari Setyo, ketua umum Perkumpulan Budi Abadi dan Tjundaka Prabowo, pengurus Festival Budaya Tionghoa, ketika ditemui di tempat kediamannya, hari Sabtu (2/2/2008) kemarin.

Baik Setyo maupun Prabowo mengakui, bahwa era reformasi memang menghembuskan angin segar bagi eksistensi masyarakat Tionghoa untuk survive kembali setelah sekian lama “bopeng” menjadi korban kekejaman rezim Orde Baru. Namun sebagai sebuah catatan, era reformasi tidaklah bebas dari kritik dan kekurangan.

“Masyarakat saat ini sudah terbuka dan ada semacam edukasi untuk bisa menerima etnis lain (Tionghoa–red). Secara kultural, kita sudah dapat diterima dengan baik, dan kami pun sangat senang membaur dengan mereka. Tetapi pada level-level tertentu, seperti pencantuman agama dan kode khusus pada KTP bagi warga Tionghoa masih menyisakan problem”, kata salah seorang Tionghoa yang enggan disebutkan identitasnya. “Jadi, tidak perlu melihat wajah atau foto di KTP, orang melihat kode saja pasti tahu: ini orang China”, imbuhnya lagi.

Proses akulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat sekitar sebenarnya bukan lagi hal baru. Sebab dalam sejarah, kita ingat, pembantaian etnis Tionghoa di Batavia 1740, melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram.

Bukankah pula sejarah telah mencatat, kapten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta? Menurut Setyo, proses akulturasi sampai saat ini masih terjalin sangat baik. Ia juga menambahkan, “asal anda tahu, keanggotaan Perkumpulan Budi Abadi juga melibatkan masyarakat di luar Tionghoa, atau dalam hal ini masyarakat yang menganut agama Islam”.

Karena itu ke depan, sudah sepantasnya pemerintah untuk segera memulihkan hak penuh masyarakat Tionghoa, yang tidak lagi membeda-bedakan dengan etnis lain. Jangan lagi ada katagori warga “pribumi” dan “non-pribumi”.

Apalagi, sangat menarik bila menyimak pendapat Pramoedya Ananta Toer dalam Hoakiau di Indonesia (1998), yang mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa pendatang. Penduduk asli Indonesia yang sesungguhnya terdesak terus oleh pendatang-pendatang, sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya ataupun kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru.

Golongan Tionghoa, lanjut Pram, yang datang kemudian, memasuki masyarakat yang telah menjadi masyarakat baru dan sekaligus menjadi bagian dari masyarakat ini secara integral. Mereka sudah ada sejak nenek moyang kita. Mereka itu sebenarnya orang-orang Indonesia, yang hidup dan mati di Indonesia juga, tetapi karena suatu tabir politik, tiba-tiba menjadi orang
asing yang tidak asing.

Dengan melihat fakta tersebut di atas, disadari atau tidak, boleh jadi darah yang mengalir di dalam tubuh kita sebenarnya berasal dari keturunan Tionghoa. Kita adalah bagian dari mereka. Kita menjadi Tionghoa, sekaligus menjadi warga Indonesia. Ini yang perlu disadari. Semoga.

*Ali Usman, peneliti, dan alumnus program Teologi dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sumber : Ali Usman

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...