Geliat Tionghoa dalam Pustaka

Judul: Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman,
Biografi Delapan Penulis Peranakan
Penulis: Myra Sidharta
Penerbit: KPG, Jakarta, 2004
Tebal: xvii + 162 halaman

TAK dapat dimungkiri bahwa jasa kaum peranakan Tionghoa sangat besar dalam perjalanan kebudayaan dan kepustakaan di Indonesia. Nama-nama seperti penerjemah cerita silat Gan KL, penerjemah puisi Mandarin Wilson Tjandinegara, penulis Asmaraman S Kho Ping Hoo, sampai penulis novel laris Marga T dan Mira W, adalah warga keturunan Tionghoa.

Adapun sumbangsih kaum peranakan Tionghoa dalam periode kesusastraan Melayu adalah Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, Tan Hong Boen, dan sejumlah nama lain yang biografinya dapat disimak dalam bunga rampai bersampul merah Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman ini.

Sesuai dengan judulnya, buku ini menghimpun delapan nama penulis peranakan, mulai dari yang tertua Kwee Tek Hoay (1885-1951) sampai Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (1926-1994). Uniknya, Myra Sidharta sebagai penyusun tak lantas hanya mengumpulkan penulis yang rata-rata dalam buku ini adalah novelis dan cerpenis. Nama Ong Pik Hwa, misalnya. Perempuan kelahiran tahun 1906 ini pada zamannya, selain dikenal sebagai pebisnis, juga mengelola penerbitan majalah Fu Len. Majalah ini mungkin pada masa kini dapat digolongkan sebagai "majalah kaum feminis" lantaran bobot materi tulisan yang dikandungnya adalah memajukan kaum wanita dalam wacana kritis walau ruang lingkup sasaran pembacanya adalah wanita keturunan Tionghoa berpendidikan Belanda.

Kendati sasaran pembacanya adalah wanita berpendidikan Belanda, lewat majalah Fu Len, Ong Pik Hwa tetap nasionalis lantaran mengingatkan mereka pada hakikatnya adalah orang Timur sehingga tak perlu hidup secara kebarat-baratan (halaman 133). Pik Hwa sendiri sejak 1935 banyak menulis esai tentang kedudukan perempuan yang masih dipandang rendah dalam bahasa Belanda di majalah Sin Po. Keterlibatan lainnya sebagai redaktur majalah dan penulis artikel tentang perempuan membuat namanya dicari tentara Jepang. Maklum, ia juga menulis artikel politik yang tak simpatik pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dikarenakan latar belakang inilah, Pik Hwa yang dapat disebut sebagai satu-satunya esais dalam buku ini mendirikan majalah Fu Len.

Dalam sejarah nama Njoo Cheong Seng (NCS) juga tak kalah besarnya dibandingkan dengan Kwee Tek Hoay, penulis drama komedi enam babak Allah yang Palsu, yang pernah dipentaskan kelompok Main Teater tahun 2003. NCS sangat dekat dengan perkembangan teater dan film Indonesia sebelum Perang Dunia II. NCS yang juga suami aktris ternama Fifi Young dikenal sebagai sosok yang gigih menghidupkan teater Melayu sambil bekerja sebagai sutradara (halaman 23). Kemauannya menjelajah berbagai tema mengingatkan kita pada sastrawan Motinggo Boesye seperti menulis cerita sensasional yang kontekstual Perkawinan di Randjang Kematian, Toedjoe Kali Bertjere, dan Boeaja Soerabaja. Bedanya, cerita sensasional yang ditulis NCS berlebihan dengan pesan moral, sedangkan Boesye cenderung mengarah ke porno.

Walau buku ini semata adalah kumpulan biografi, catatan subyektivitas Myra Sidharta sebagai pengamat juga tak ketinggalan sehingga ada kesan obyektif yang dapat dimaknai sebagai multiinterpretasi pembaca yang barangkali punya kesimpulan sendiri jika pernah membaca atau meneliti karya NCS. Misalnya di halaman 25, Myra menulis ketidaksetujuannya atas penelitian John Kwee dalam tesisnya, Chinese Literature of the Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942, yang menganggap karya NCS umumnya berbicara tentang kepahitan hidup. Myra tak setuju karena NCS juga menulis karakter Gagaklodra yang jenaka, selain ia menambahkan catatan karya-karya NCS kadang terlalu sentimentil dan berlebihan dalam cerita cintanya.

Nama lain yang juga tak kalah menarik adalah Tan Hoeng Boen (THB), pengarang seribu wajah. Kegemarannya menggunakan nama samaran nyaris menenggelamkan nama aslinya sendiri lantaran hanya ada satu karya yang ditulis dengan nama aslinya! Jika mengacu pada sejarah sastra Barat, kegemaran menggunakan nama samaran THB mengingatkan kita pada Charles Hamilton alias Frank Richards (1875-1961) yang selama 30 tahun kariernya di bidang penulisan menghasilkan 1,5 juta karya dengan banyak nama samaran yang belum termasuk 19 nama pena lainnya, atau di Indonesia sendiri seperti Remy Sylado dan Ray Rizal, dua sastrawan yang kurang dikenal jika disebutkan nama aslinya.

Agak mirip dengan NCS, THB juga dikenal sebagai penulis lintas genre. Dengan nama samaran Kihadjar Dharmopralojo, THB menulis adaptasi legenda Indonesia, Hikayat Raden Patah. Untuk menulis cerita roman, nama samarannya terbilang genit, yaitu menggunakan nama asing, Madame d’Eden Lovely. Dengan nama Kihadjar Sukowiyono, THB mengkhususkan diri sebagai penulis cerita wayang sampai akhir hidupnya. Walau banyak menulis cerita wayang serta roman, kiprah THB juga meninggalkan jejak dalam dunia sastra Indonesia, dengan menerbitkan majalah sastra Boelan Poernama di Semarang tahun 1929.

Buku ini ditutup dengan kisah perjalanan S Kho Ping Hoo (KPH), penulis cerita silat (cersil) yang karya-karyanya masih digemari sampai sekarang. Dalam buku ini kita tak hanya tahu KPH hanyalah penulis cersil. Ya, KPH juga mengelola penerbitan. Agak mirip pada masa kini ketika didirikan banyak penerbit yang juga dirintis oleh penulis seperti Dorothea Rosa Herliany dengan penerbit Indonesia Tera-nya, KPH mendirikan penerbit sendiri untuk mencetak dan mendistribusikan karya-karyanya.

Selain menerbitkan karyanya, KPH juga membantu menerbitkan karya penulis muda yang belum dikenal. Penerbit yang didirikannya terbilang maju walau, menurut Myra, penerbitnya lebih hidup dari usaha percetakannya (halaman 153). Tampaknya darah bisnis dari ayahnya yang seorang tengkulak gula mengalir dalam dirinya. Konon KPH mendirikan penerbit sendiri agar dirinya lebih konsentrasi dalam menulis.

MEMBACA buku ini tentunya tak kalah menarik dibandingkan dengan membaca karya-karya penulis peranakan yang pada masa kini "hanya" diterbitkan dalam bunga rampai Kesastraan Melayu Tionghoa (kecuali Kho Ping Hoo) yang rencananya diterbitkan KPG sebanyak 25 jilid. Ada "cerita dari dalam" yang sedikit membuka tabir para penulis peranakan itu dalam berkarya. Dalam penyusunan buku ini Myra memanfaatkan pula metode wawancara dengan kerabat penulis yang masih hidup, di samping mengulik literatur sejarah sehingga tulisannya menjadi lebih hidup dan enak dibaca.

Langkah penerbitan buku ini tentunya dapat menemani penerbitan referensi lain tentang warga peranakan, seperti Peranakan Idealis Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (juga diterbitkan KPG), Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946), Riwayat Semarang, Cina Semilyar Wajah, Dilema Minoritas Tionghoa, dan lain-lain yang terbilang sangat minim jumlahnya.

Donny Anggoro Editor Sebuah Penerbit di Jakarta
Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...