Empat Tahun Disekap di Rumah Mesum !

SEPASANG mata dua gadis belia nampak berkaca-kaca. Mereka tak kuasa melanjutkan cerita. Sedetik kemudian, mereka menjatuhkan wajah mereka ke meja. Erna (21) dan Dhea (25) (bukan nama sebenarnya), dua gadis korban trafficking human (perdagangan manusia) yang dipaksa menjadi budak di rumah mesum, tak kuat menceritakan kisah kelamnya. Keduanya baru saja terbebas dari dunia yang membelenggu mereka sejak empat tahun silam.

Sangat sulit melacak jalur perdagangan manusia. Faktanya, Aliansi Selamatkan Anak Indonesia (ASA) yang concern memerangi human trafficking, merasakan hal itu. Mereka mengaku kesulitan mendapatkan data yang terungkap dari perdagangan manusia. Kebanyakan, kasus seperti itu baru dibahas setelah si pelaku tertangkap. Atau, si korban melapor.

Jalan cerita seperti itu juga yang dialami Erna dan Dhea. Tidak pernah terlintas dalam benak dua perempuan belia dari Purwokerto Jawa Tengah itu, bakal mengalami nasib memilukan. Menjadi korban trafficking human dan dipaksa bekerja melayani lelaki hidung belang di sebuah rumah mesum di Medan. Kasus itu sendiri baru ketahuan setelah aparat kepolisian Medan menggrebek tempat pelacuran tersebut.

Erna kemudian menceritakan bagaimana awalnya ia bisa terdampar di Medan. Layaknya remaja yang tumbuh di kota terbelakang, ia berharap mencari pekerjaan mapan di kota. Lalu datang tawaran dari seorang bernama Ahmad. Ia menawari Erna dan temannya, Dhea, bekerja di sebuah rumah makan di Sumatera. Tertarik, keduanya pun berangkat dengan naik biro perjalanan dengan disopiri Zaenal, teman Ahmad.

Sesampai di Medan, bukan pekerjaan, melainkan bencana yang menghampiri mereka. Mulyanto, bos Zaenal dan Ahmad tiba-tiba membebani Erna dan Dhea dengan utang besar. Dua gadis itu divonis berhutang sebesa Rp 3,5 juta dari uang kendaraan. Imbasnya, mereka harus bekerja untuk Mulyanto di barak yang dijadikan tempat lokalisasi.

"Saya sudah bertanya kenapa kok tiba-tiba saya punya hutang, dia jawab itu biaya kendaraan yang kami naiki dari Jawa ke Medan. Kami lalu disuruh menandatangani perjanjian yang terpaksa kami tandatangani," ujar Erna kepada wartawan dalam acara ASA di Hotel Sofyan, Jakarta, Senin (10/3).

Sejak itulah, mereka bak hidup di neraka. Harus melayani tamu-tamu nakal. Erna mengisahkan, dari sekali melayani tamu itu, ia mendapat upah Rp 75 ribu. Tapi, itu masih dipotong, Rp 15 ribu untuk pengantar si tamu, dan Rp 25 ribu diambil Mulyanto, pemilik barak. Sisanya untuk dirinya.

Penderitaannya bertambah karena setiap bulan ia harus membayar listrik sewa kamar. Sekitar Rp 200 ribu. Ia juga mengaku sering menerima siksaan dari Mulyanto yang kini sudah diamankan oleh aparat. "Saya menjalani kehidupan seperti itu selama empat tahun. Pernah saya dimasukkan di bak kamar mandi dari malam sampai pagi hingga kemudian sakit. Dan saya harus membayar sendiri biaya berobat ke dokter," lanjut Erna dengan suara terisak.

Erna juga mengisahkan bagaimana dirinya pernah hamil selama di barak. Ia juga yang membiayai sendiri biaya persalinan. Tapi kini, setelah anaknya berusia dua tahun, ia sama sekali tidak boleh menjamah anaknya itu oleh Mulyanto. "Anak saya masih di Banjarbaru, umurnya dua tahun, dirawat bos. Dia bilang jangan sentuh. Sampai sekarang saya tidak pernah pegang dia," kata Erna yang tak kuat lagi melanjutkan ceritanya.

Erna masih trauma berat. Saking beratnya, untuk bercerita saja merasa sulit. Tapi Dewi (17) korban perdagangan manusia lainnya, lebih tegar. Meski mengaku masih trauma, dia bisa bercerita panjang lebar. Tentang penderitaannya yang sejak umur 15 tahun dipaksa bekerja di rumah mesum. Tentang upayanya melarikan diri. Juga, tentang perutnya yang kini mengandung lima bulan setelah jadi budak di rumah mesum itu.

Suatu malam, ketika 'majikannya' tertidur pulas. Begitu juga dengan pembantunya. Dan ketika ia melihat pintu belakang rumah terbuka. Maka berlarilah ia. Keluar dari rumah laknat itu. Dewi bercerita bagaimana ia harus berjalan selama dua hari sebelum akhirnya menemukan arah untuk pulang. "Selama dua hari itu saya jalan kaki dan perut saya tidak kemasukan apapun," kata Dewi.

Kini, Dewi bisa kembali berkumpul dengan saudara-saudaranya. Meski begitu, deritanya belum hilang. Ia kini mengandung janin berusia lima bulan yang ia sendiri tak tahu siapa bapaknya. Ia juga mengaku tidak tahu rencana hidupnya ke depan. "Saya hanya ingin merawat anak saya, meski menjadi orang tua tunggal," kata dia.

Oleh ASA, kisah tragis Dewi itu mereka tunjukkan dalam forum internasional tentang perdagangan anak di Wina, Austria, akhir Februari silam. Ketua ASA, Inke Maris menyebut, bahwa dalam trafficking human seperti berlaku hukum pasar. Di mana ada permintaan (demand) dan ada barang (supply). Karena itu, kata dia, salah jika terus-menerus menyalahkan negara/daerah miskin, yang banyak penduduknya dan tidak berpendidikan sehingga menjadi 'pabrik' penyuplai perdagangan manusia.

"Tapi, salahkan juga demand (tuntutan) dari negara- negara maju yang tidak pernah menurunkan permintaan. Ini ibarat transaksi dalam perdagangan, " kata dia.

Inke juga menilai, pemerintah masih kurang proaktif dalam mengatasi masalah perdagangan manusia ini. Menurutnya, pemerintah baru bereaksi ketika sudah ada peristiwa. Ketika sudah muncul korban. "Semoga ke depannya pemerintah bisa lebih concern, dan kami juga akan mencoba lebih mendeteksi tingkah pola para pedagang gelap ini," sambung Inke.

PersdaNetwork/Hadi Santoso

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...