Tionghoa Totok dan Peranakan


Peranakan adalah suatu perkataan yang tidak jelas, bisa peranakan Tionghoa,Belanda, Arab yang umumnya ada di Indonesia. Tetapi karena jumblahnya Peranakan Tionghoa paling banyak dan media massa banyak menulis tentang persoalan integrasi dan asimilasi, maka kalau kita mengatakan sebutan Peranakan dimaksud peranakan Tionghoa, Maka saya pakai sebutan dengan arti yang terachir ini.

Peranakan adalah Orang Tionghoa yang turun menurun sudah tinggal di Indonesia, juga Malaisia dan Singapura. Orang-orang ini dipanggil Peranakan atau lebih chusus lagi yang laki dipanggil Baba dan yang wanita dipanggil Nyonya. Saya membicarakan mereka yang tinggal di Indonesia untuk memperkecil ruangan yang kita bicarakan. Mereka ini umumnya tidak pandai lagi bicara bahasa Tionghoa, dirumah mereka dengan keluarganya bicara dalam bahasa local atau yang Tempo Doeloe dikatakan Bahasa Melajoe Tionghoa,

Mereka sudah mengambil banyak identitas Indonesia, karenanya kebudayaannya sudah campuran . Nyonya doeloe pakai Sarung Kebaya. Tetapi lain motifnya,sarung ini dinamakan sarung Nyonya dan terutama dibuat di Pekalongan. Karena keativan Nyonya dalam masak-memasak maka banyak masakan yang disebut masakan Nyonya.

Umunya mereka tidak punya lagi keluarga di RRT dan orientasinya ialah Negara dimana mereka tinggal. Dijaman Doeloe mereka sekolah Belanda, karenanya banyak diantara mereka pandai bicara bahasa Belanda dan banyak yang tergolong intelek seperti dokter, insinyur, ekonom, pengacara dan guru sekolah, sedikit yang dagang kebanyakan bekerja sebagai pegawai di perusahan. Masuk dalam kelompok ini adalah mereka yang hasil dari kawin campur. Umumnya ayah Tionghoa dan ibu pribumi (Jawa atau suku lainnya). Ada juga yang mengartikan istilah "babah" untuk mereka yang ayahnya Tionghoa dan ibunya Jawa.

Totok adalah mereka yang datang ke Indonesia sesudah wanita juga diperbolehkan oleh kerajaan Ching dinasti keluar negeri dan membawa istrinya. Dalam keluarga mereka tetap bicara bahasa Tionghoa dialek asal mereka datang. Anak-anak mereka tetap sekolah Tionghoa, karena lulusan sekolah Tionghoa tidak diakui baik oleh pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia untuk mempertahankan penghidupan mereka berdagang. Dan karena giat bekerja banyak diantara mereka sukses dalam perdagangan.

Jelas mereka mempertahankan kebudayaan Tiongkok dan orientasi mereka terutama pada Tiongkok. Mereka masih mempunyai keluarga di Tiongkok daratan. Banyak generasi mudanya, karena masih berorientasi kuat ke negara leluhur dan ingin mneruskan pelajarannya Wei-guo (pulang ke negeri leluhur) ke RRT untuk meneruskan pelajarannya, meskipun mereka harus menekan perjanjian tidak boleh menetap kembali di Indonesia.

Karena pada jaman Orde Baru semua sekolahan Tionghoa ditutup, dan "diharuskan" untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia, dilarang kebudayaan Tionghoa di show keluar, maka terpaksa harus bicara bahasa Indonesia. Paman istri saya bahasa Indonesianya lancer, juga teman teman saya (golongan seniornya) yang dulu hampir tidak kenal bahasa Indonesia,sekarang lancar bicara bahasa Indonesia. Saya harus mengakui kekalahan saya dalam hal bahasa Indonesia. Generasi mudanya sekolah Indonesia, yang didirikan oleh golongan Peranakan. Dengan demikian mereka kenal sejarah dan kebudayaan Indonesia lebih baik dari ayah dan ibunya.

Tidak berkelebihan kalau saya katakan disini terjadilah proses integrasi yang berjalan lancar. Dalam pertanyaan saya pada generasi muda anaknya totok, banyak dari mereka yang tidak tahu lagi asal provinsi mereka di Tiongkok daratan. Diantara mereka ini sekarang banyak yang sekolah ke universitas dalam dan luar negeri. Terjadilah pula proses Peranakanisasi dari generasi muda totok.

Dr. Han Hwie-Song

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...