Sentuhan Tionghoa pada Kuliner Lokal

Di Medan, belum lama ini saya mendapat kejutan menyenangkan dengan kehadiran sebuah rumah makan baru. Namanya dalam bahasa Tapanuli: “Onma Tabo”. Kurang lebih artinya: ini lezat!

Sudah dapat diduga, rumah makan ini menyajikan masakan khas Tapanuli. Tetapi, ketika tiba di sana, saya dapati di langit-langit rumah makan yang cukup luas ini bergantungan banyak lampion merah seperti layaknya yang kita temukan di restoran-restoran Tionghoa.

Ternyata, rumah makan ini memang dicerminkan oleh nama dan lampion itu. Masakannya khas Tapanuli, pemilik dan jurumasaknya adalah orang keturunan Tionghoa. Sangat boleh jadi, ini adalah satu-satunya restoran yang seperti itu. Mudah-mudahan akan muncul lainnya.

Saya mulai mengenal kuliner Tapanuli pada awal tahun 1980-an dari teman saya Ben Nahot Marbun. Lapo favoritnya adalah “Dalian Natolu” yang awalnya berlokasi di dekat bundaran Pancoran. Rumah makan ini berpindah-pindah tempat beberapa kali karena pembangunan Jakarta yang begitu pesat, sebelum kemudian lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Beberapa tahun setelah “Dalian Natolu” hilang, muncullah “Lapo Ni Tondongta” yang kini sudah punya beberapa cabang di Jakarta.

Ketika pertama kali muncul, pelanggan “Lapo Ni Tondongta” kebanyakan adalah orang-orang Tapanuli saja. Tetapi, lama kelamaan mulai tampak hadirnya pelanggan dari suku-suku lain – khususnya kaum keturunan Tionghoa. Hal ini mengikuti kecenderungan serupa yang sudah terjadi sebelumnya di Medan. Lapo BPK (Babi Panggang Karo) yang berserakan di Medan dari dulu merupakan tempat makan favorit kaum keturunan Tionghoa pula.

Karena itu, menurut saya, munculnya lapo batak yang dimiliki orang Tionghoa seperti “Onma Tabo” ini sudah kesiangan alias terlambat. Kenapa tidak dari dulu-dulu? Bukankah sudah banyak rumah makan masakan Padang, Jawa, dan Sunda yang dimiliki kaum keturunan Tionghoa?

Yang lebih mengejutkan adalah bahwa kualitas masakan “Onma Tabo” sungguh-sungguh pantas diacungi jempol. Mungkin juga karena saya bukan orang asli Batak, maka selera saya lebih dapat memberi apresiasi pada masakan yang tidak orisinil. Saya belum tahu apa pendapat orang asli Batak terhadap kualitas masakan “Onma Tabo”.

Pesanan saya adalah saksang ayam dan beberapa jenis masakan lain. Saksang biasanya dibuat dari daging babi atau lomok-lomok (babi kecil, suckling pig). Saya tidak pernah mendengar sebelumnya bahwa ternyata ada saksang yang terbuat dari ayam. Jangan salah sangka, saksang tidak selalu harus dimasak dengan darah yang dalam bahasa Batak disebut gota (getah).

Wuih, rasa saksang ayamnya luar biasa. Terasa sangat berempah, namun seimbang. Di “Onma Tabo”, saksang ayamnya dapat dipesan dengan gota atau tanpa gota, karena semua masakan di rumah makan ini dimasak secara individual dan fresh setiap kali ada yang memesan. Citarasa andaliman-nya (bumbu khas Batak yang mirip merica, dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai Chinese pepper) muncul dengan indahnya dalam keseimbangan bersama bumbu-bumbu lainnya. Yang terpekik dari mulut saya ketika mencicipinya adalah: mak nyuss! Tak perlu diperdebatkan lagi!

Kepuasan mencicipi makanan “Onma Tabo” membuat saya tiba-tiba ingin singgah ke rumah makan “Pondok Krakatau” yang kebetulan letaknya tidak jauh dari situ. Sudah agak lama saya mendengar reputasi “Pondok Krakatau” yang baru buka sekitar dua tahun lalu dan selalu ramai diantre penggemar-penggemar fanatiknya.

“Pondok Krakatau” juga dimiliki orang keturunan Tionghoa dan menyajikan masakan Melayu-Minang. Hidangan andalan yang banyak dipesan adalah gulai kepala ikan. Tetapi, seperti biasa, saya justru tidak memesan hidangan populer itu. Sudah terlalu umum. Yang saya pesan adalah ayam lado mudo, yaitu ayam goreng yang ditaburi sambal dari cabe muda yang berwarna hijau. Saya pun segera terpukau dengan makanan sederhana ini. Dalam kesederhanaannya ia memunculkan citarasa yang sungguh kompleks.

Beberapa jenis hidangan lain dari “Pondok Krakatau” yang sempat saya cicipi juga menghadirkan citarasa yang sangat unggul. Dengan cepat para tamu rumah makan ini akan dapat menyimpulkan sendiri bahwa keunggulan “Pondok Krakatau” terletak pada pilihan bahan yang segar dan berkualitas, serta masakannya sendiri yang selalu segar. Mereka tidak memasak makanan dalam volume sangat banyak dan dijual sepanjang hari, melainkan memasak dalam batch kecil. Setiap kali hampir habis, mereka memasak lagi, sehingga terus-menerus fresh.

Di Medan juga ada rumah makan terkenal lain yang dimiliki orang keturunan Tionghoa dan menyajikan masakan Melayu-Minang dengan kualitas juara, yaitu Rumah Makan “Bintang” dengan bawal kukusnya yang legendaris. Ada lagi satu rumah makan seperti itu, tetapi dengan tekanan pada seafood, yaitu Rumah Makan “Waringin”. Di sini, salah satu sajian jagoannya adalah ikan pari goreng saus tauco.

RM “Daun Pisang” di Medan adalah contoh lain. Restoran milik orang keturunan Tionghoa yang menyajikan masakan Melayu-Minang ini lebih berciri masakan peranakan Melayu. Menu yang tidak boleh dilewatkan di sini adalah gulai bibir ikan. Bibir ikan banyak dipakai dalam menu Tionghoa, tetapi dalam versi gulai Melayu baru saya cicipi sekali itu. Bibir-bibir ikannya berinteraksi dengan lembut dan cantiknya di mulut kita. Sungguh-sungguh mak nyuss!

Ada satu rumah makan di Medan yang secara khusus ingin saya tampilkan di sini, yaitu RM “Tabona” yang hanya berdagang kari – kari ayam dan kari lembu (sapi). Karinya dapat dimakan dengan nasi atau dengan bihun. Wah, ini adalah satu menu sarapan yang dahsyat – sekalipun tetap cocok untuk disantap siang maupun malam hari. Setiap pagi rumah makan ini ramai dikunjungi pelanggannya. Menjelang sore sudah habis. Jangan heran, penjual nasi kari ini adalah keturunan Tionghoa. Di Glodok, Jakarta, ada “Kari Lam” yang sangat mirip kualitas “Tabona”.

Di Pontianak, hampir semua pedagang nasi kari juga orang Tionghoa. Nasi kari di Pontianak dijajakan dengan berbagai lauk lain, dan lebih encer dibanding kari “Tabona” di Medan. Sayangnya, di Pontianak sebagian besar pedagang nasi kari juga berjualan nasi campur yang mengandung babi, sehingga tidak dapat dikunjungi oleh kaum Muslim.

Tahun lalu saya pernah menulis berjudul “Papi Tiong” – Padang Tapi Tionghoa. Yaitu tentang rumah-rumah makan yang menyajikan masakan padang milik warga keturunan Tionghoa. Rumah-rumah makan yang saya sebut itu menyajikan masakan minang dengan citarasa yang sedikit diadaptasikan dan diperkaya dengan sentuhan Tionghoa, sehingga menciptakan nuansa yang khas pula.

Di Jawa juga banyak orang-orang Tionghoa yang berdagang masakan khas daerah. Selat Solo yang paling enak di Solo adalah dari kedai “Mekar Sari” di dekat Pasar Kembang, milik seorang keturunan Tionghoa. Jangan lupa, gudeg yang paling enak dan populer di Solo adalah dari RM “Adem Ayem” yang juga dimiliki orang keturunan Tionghoa. Lha wong penjual sate buntel paling terkenal di Solo juga keturunan Tionghoa, yaitu “Sate Tambaksegaran”.

Sekarang bahkan tampak pula kecenderungan baru kaum keturunan Tionghoa membuka rumah makan masakan Sunda dengan sentuhan yang khas pula. Jelas perbedaannya, namun jelas pula kepatuhannya dalam memegang “pakem” masakan Sunda, sehingga sajian-sajiannya tetap memenuhi syarat disebut masakan Sunda.

Di Manado, sejak lama hadir orang-orang keturunan Tionghoa yang berusaha di bidang masakan khas Minahasa. Cuma, di Manado orang-orang keturunan Tionghoa tampaknya tidak memberikan sentuhan khusus untuk melakukan semacam fusion yang menghasilkan kuliner tersendiri.

Kemampuan kuliner orang Tionghoa dan keturunan mereka memang tidak perlu diperdebatkan lagi. Penggabungan kekayaan kuliner Tionghoa dan kuliner lokal di Indonesia hanya akan menambah indahnya pelangi budaya kita.

Bondan Winarno
Sumber : Kompas

Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus melanjutkan pengembaraannya. (Email : bondanw@gmail.com)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...