Seni Klasik Mandarin, Dulu Dilarang Kini Berkibar

TULUNGAGUNG - Mungkin pengaruh tetesan darah seni orang tua yang mengalir deras dalam tubuhnya membuat Lim Giok San cukup bernyali beranjak dari tempat duduknya. Bocah yang kala itu masih berusia 12 tahun itu langsung tanggap begitu melihat tangan dalang Wayang Potehi, memberi isyarat kepada penonton yang berani tampil kemuka.

Meski belum lihai benar, warga keturunan yang memiliki nama pribumi Santoso itu cukup trampil memainkan dua boneka kayu dalam genggaman tangan kanan dan kirinya. Permainan yang disuguhkannya membuat decak kagum penonton disekitarnya.

"Ayah saya seorang pemain wayang orang. Makanya saya menyukai seni pentas. Saya sudah lama memendam rasa tertarik main wayang potehi. Bukan karena semata ada darah leluhur dalam tubuh saya. Tapi karena seni ini memang harus dilestarikan. Jadi ketika waktu itu ada yang memberi kesempatan bagi saya. Kenapa tidak dilakukan," kenang dia ketika ditemui di kediamannya, kemarin.

Sejak itu, bapak tiga anak yang kini berusia 46 tahun dan suami dari Ny Istiyah (42) itu semangatnya kian bergelora. Tak hanya berkarya dalam tumpukan Wayang Potehi. Seperangkat alat musik klasik mandarin, seperti Yan Jing, alat musik sejenis kecapi 144 senar dengan cara dipukul, Olhu (alat musik gesek), San Sien dan seruling bambu dikuasainya dengan cakap.

Bahkan kini warga Kelurahan Kotoanyar Kecamatan Tulungagung, Jawa Timur ini menjadi satu-satunya pemandu bakat musik mandarin di kota marmer. Anak didiknya pun menyebar di berbagai kota di Jawa Timur. Sebut saja Malang, Surabaya, Kediri dan, Tulungagung sebagai kota yang disinggahinya untuk berbagai ilmu seni yang dimilikinya.

"Semuanya ini saya tekuni secara otodidak. Guru saya adalah ketekunan untuk mendengar dan melihat apa yang dilakukan lingkungan saya, terutama ayah. Kalau untuk saat ini mungkin kegiatan ini sebagai upaya menyambung hidup," tuturnya merendah.

Tempat tinggal seniman langka ini bukanlah tergolong berada. Di lingkungan kampung yang sebagian besar dihuni masyarakat keturunan Tionghoa. Lokasi ini berada di gang kecil yang sempit dan kumuh. Minimnya ruang jalan yang dibatasi tembok tinggi itu membuat alunan alat musik ketuk Yan Jing milik Giok San terdengar bergema ketika berada disana.

Dari balik jendela nako kaca, terlihat kedua mata Giok San setengah terpejam menikmati alunan nada yang dihasilkan dari permainan ketuk dua tangannya. "Ini lagu Ho Sin Nien atau lagu tahun baru untuk perayaan Imlek nanti. Musik dan lagu itu dimainkan di TITD (klenteng) pada saat umat merayakan tahun baru Imlek," tukasnya.

Pada akhirnya Giok San lebih menekuni musik Mandarin daripada menjadi dalang Wayang Potehi. Sebab adik bungsunya, Lim Giok Bing (41) atau bernama pribumi Kuwato telah memilih jalur sebagai seniman Potehi.

Kendati demikian kedua pasangan saudara itu selalu bersama dalam setiap acara pementasan. Yang menarik dalam diri Giok San, meski dalam bermusik sudah terlihat begitu piawai, pria yang lebih menyukai dipanggil "mas" daripada "koh" (sebutan kakak dalam bahasa Tionghoa) itu mengaku harus terus melatih keterampilannya.

Beberapa kali dirinya mengaransemen lagu-lagu daerah seperti Bengawan Solo kedalam alunan nada mandarin. "Biar tidak lupa aja, makanya banyak melakukan eksperimen. Bahkan kalau membuat aransemen baru bisa berjam-jam berdiam sendiri dalam kamar," terangnya santai.

Kebebasanya berekspresi bermain musik mandarin ini ternyata tidak diperolehnya dengan mulus. Pada jaman orde baru, putra ketiga dari empat bersaudara pasangan almarhum Lim Ping Lam alias Kabul Setiyo dan Ny Suparni selalu dihalang-halangi setiap kali hendak melakukan pementasan musik klasik mandarin maupun pagelaran wayang potehi. Beberapa kali rumahnya didatangi petugas bidang sosial politik (sospol) pemkab untuk diinterogasi.

Tekanan itu tidak membuat ciut nyali Giok San bersaudara. Bahkan sempat pertunjukkan yang sudah disiapkannya secara matang akhirnya harus dibubarkan aparat. "Kalau tetap nekat, kami bisa ditangkap. Yang jelas suasana waktu itu serba dilarang dan menakutkan," paparnya. Giok San mengaku merasa beruntung ketika era pengebirian itu berakhir. Kesenian mandarin yang dulunya dilarang kini berkibar bebas. Ia berharap budaya tanah leluhur itu tetap bisa terlestarikan. (Solichan Arif/Sindo/ism)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...