Menggali Kembali Sastra Melayu Tionghoa

Generasi muda masa kini besar kemungkinan bertanya-tanya "makhluk" apa kiranya yang disebut kesastraan Melayu Tionghoa, sampai didiskusikan di forum-forum internasional? Penuturan Myra Sidharta, kolektor sekaligus pengamat, membuka mata kita akan kehadiran satu genre kesastraan, yang sampai masa belum lama ini dan bagi sebagian besar masyarakat kita, telah terabaikan.

Cerita ini dimulai ketika almarhum MAW Brouwer (seorang rohaniwan dan kolumnis yang tinggal di Bandung - Red.) berkunjung ke rumah saya dan minta agar saya menulis sebuah karangan mengenai wanita peranakan Tionghoa. Saya menolak karena saya bukan sosiolog atau sejarawan, lagi pula tidak tahu banyak tentang masyarakat peranakan Tionghoa. Tapi, MAW bersikeras dan kami pun "bertengkar".

Dia merasa, sudah waktunya ada orang yang menyelidiki wanita Indonesia Tionghoa secara mendalam karena studi-studi yang telah ada merupakan studi mengenai seluruh masyarakat, tidak khusus mengenai wanitanya. Saya tetap menolak sehingga dia marah dan "mengancam" akan melapor kepada Jiang Jing, istri Mao Tse Tung, salah satu anggota Gang of Four yang ketika itu baru ditangkap di RRC.

Ketika MAW telah pulang, saya berpikir lagi dan merasa tidak ada salahnya kalau saya menulis esai itu. Maka mulailah suatu perjalanan yang berlangsung sampai hari ini; jadi sudah kurang lebih 20 tahun. Suatu keputusan yang sangat penting karena saya telah menemukan tujuan hidup saya.

Biasanya kalau MAW datang ke Jakarta ia mengajak saya jalan-jalan untuk melihat perkembangan kota Jakarta, atau meminjam buku-buku saya agar dapat ilham untuk menulis di Kompas. Dalam perjalanan selanjutnya, saya tidak ditemaninya secara fisik, tetapi ingatan kepada anjurannya selalu menyertai saya.

Saya mulai dengan mempelajari bahan-bahan tulisan beberapa pakar seperti Leo Suryadinata, Charles Coppel, Mary Heidhues-Somers, dan menuangkan pengetahuan itu dalam sebuah tulisan yang kemudian bersama tulisan-tulisan lain dimuat dalam buku Kepribadian dan Perubahannya yang disunting oleh MAW dan diterbitkan pada 1979. Meskipun buku itu cukup laris dan mengalami cetak ulang beberapa kali, saya sendiri tidak puas. Saya ingin menulis sesuatu yang lebih baik dan mendalam mengenai perempuan Indonesia Tionghoa.

Ternyata tak cuma menyebarkan ajaran Konfusius

Suatu hari saya mengunjungi toko batik milik Asmoro Damais, putri Prof. Charles Damais, sejarawan terkenal dari Prancis. Asmoro baru pindah rumah dan di satu sudut terdapat setumpukan buku tua. Ketika saya bertanya, Asmoro menganjurkan untuk membaca buku-buku itu, karena memang ditulis oleh pengarang keturunan Tionghoa untuk masyarakat peranakan Tionghoa. Kesastraan ini belum saya kenal sama sekali karena dulu ayah saya membaca kesastraan Belanda, dan bacaan ibu terbatas pada Majalah Istri dan Harian Sin Po, bacaan berbahasa Melayu Tionghoa tempo doeloe.

Buku pertama pinjaman dari Asmoro yang saya baca adalah Dengan Dua Cent Jadi Kaya oleh Thio Tjin Boen. Ternyata sangat menarik dari sudut cerita maupun bahasanya. Ia menulis tentang seseorang yang bukan saja ditinggalkan oleh istrinya, tetapi istrinya juga membawa serta semua kekayaannya! Orang itu kemudian menjadi kaya lagi dengan menangkap kodok di sawah yang dijualnya di kaki lima sesudah dimasak dengan taoco. Bahasa buku itu bahasa sehari-hari kaum peranakan zaman dulu sebelum bahasa Indonesia menjadi bahasa utama.

Buku kedua tidak begitu lucu karena berkisah tentang seorang gadis yang ingin menikah dengan lelaki pilihan sendiri. Ia diusir oleh ayahnya tetapi dibantu oleh pembantunya. Meskipun begitu, ia kemudian meninggal karena suatu penyakit misterius. Beberapa buku lagi menyajikan tema yang sama. Perempuan harus patuh kepada ayah atau suaminya, kalau tidak, mereka akan "dibunuh" oleh pengarangnya.

Cerita itu membuat saya berpikir, "Tujuan apa sebenarnya yang ada di benak para pengarang? Apakah ada hubungan dengan ajaran Konfusius yang mengatakan bahwa kehidupan perempuan ditentukan oleh tiga kepatuhan: sebagai gadis, perempuan harus patuh kepada ayahnya; sebagai istri kepada suaminya; dan sebagai janda kepada anaknya."

Dari sini mulailah pencarian saya untuk mendapatkan lebih banyak bahan. Saya membaca buku-buku ini di Perpustakaan Nasional yang di masa itu masih berada di Gedung Museum Gajah. Di sana saya dapat mempelajari tulisan ilmiah mengenai masyarakat peranakan Tionghoa. Di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin saya juga berkenalan dengan buku-buku silat dan terjemahan dari bahasa asing oleh para penulis Tionghoa. Ternyata sastra Melayu Tionghoa tidak hanya untuk menyebarkan ajaran Konfusius, melainkan juga memberi informasi tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia maupun asing.

Perkenalan dengan Claudine Salmon dan suaminya, Denys Lombard, memperluas pengetahuan saya tentang kesastraan ini. Claudine sudah menekuni kesastraan ini sejak 1969, lebih dari 10 tahun sebelumnya. Saat itu ia merasa telah cukup mengumpulkan bahan-bahan untuk menyelesaikan katalog yang sedang disusunnya. Dengan demikian saya mendapat kesempatan untuk membaca katalog itu sebelum diterbitkannya. Claudine sangat tekun dan teliti serta selalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak diduga-duga, yang merangsang saya berpikir lebih lanjut.

Teman lain yang seminat dengan saya bertambah dan saya pun berkenalan dengan Jakob Sumardjo dari Bandung yang sering mengisi halaman Pikiran Rakyat, sebuah harian di Bandung, dengan tulisannya. Kemudian ada lagi Thomas Rieger, mahasiswa Fakultas Sastra berkebangsaan Jerman yang menulis skripsinya tentang Kwee Tek Hoay. Di AS ada juga Brad Horton yang dapat nama Broto dari teman-temannya di Yogyakarta, serta Ellen Rafferty dari University of Wisconsin. Di Bandung masih ada Lim Wan Li, yang menulis tentang kesastraan Melayu Tionghoa dalam bahasa Mandarin yang dikirim ke majalah-majalah yang diterbitkan di Hongkong.

Mulai berburu

Fase kedua adalah untuk memiliki buku-buku itu. Dari seorang saudara saya, Iwan Fridolin, saya mendapat buku pertama karangan Kwee Tek Hoay berjudul Drama dari Krakatau. Dia juga memberi tahu bahwa dahulu ia membelinya di Terminal Lapangan Banteng, yang kemudian dipindahkan ke Pasar Inpres di Kompleks Pasarsenen, Jakarta. Ketika saya mencari di sana, saya diberi tahu oleh para pedagang buku bahwa ada sebuah kios yang khusus menjual buku-buku itu.

Pedagang itu, Abun namanya, sebenarnya menjual cerita-cerita silat, tetapi dia juga sering bisa mendapat apa yang dia sebut "roman-roman peranakan". Pedagang buku lain di Muara Karang, Djaja Laras, menceritakan bahwa dia telah menjual banyak kepada Universiti Kebangsaan di Malaysia dan Kyoto University di Jepang. Ketika saya mendapat kesempatan pada 1985 untuk mengujungi Universiti Kebangsaan, saya menyesal sekali tidak mulai dengan mengoleksi buku-buku lebih dulu karena mereka memiliki banyak sekali buku bekas dari Indonesia, seperti mengenai kesenian dan sejarah Indonesia.

Seperti lazimnya seorang kolektor, memburu buku-buku Melayu Tionghoa akhirnya menjadi obsesi saya. Hampir setiap minggu saya mengunjungi kios Abun di Pasarsenen, dan merasa sangat bahagia kalau dapat membawa pulang setumpukan buku atau majalah.

Pedagang di Muara Karang sempat bentrok dengan saya karena dia telah menjual buku-buku ini kepada Library of Congress (LOC) atas permintaan University of Wisconsin di AS. Untung kepala perwakilan perpustakaan ini, Gene Smith, teman baik saya dan dia memutuskan untuk selanjutnya menawarkan buku-buku ini kepada saya dahulu, sisanya baru boleh ditawarkan kepada LOC.

Namun, saya memang sering tidak berdaya karena harga sebuah buku sudah melonjak sampai Rp 8.000 - Rp 10.000,-. Sedangkan harga pertama yang saya bayar Rp 100,- per eksemplar. Tapi dengan para pedagang itu saya sampai saat ini menjalin hubungan baik.

Setiap kali saya mendapat petunjuk mengenai koleksi buku Melayu Tionghoa, saya pergi melihat. Di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, ada seorang yang agak nyentrik, Pak Jenggot namanya. Dia hanya mempunyai buku-buku silat, tetapi rumahnya kecil dan bukunya banyak sehingga ia harus memindahkan buku-buku itu lebih dulu agar tetamunya bisa duduk. Begitu juga kalau ia mau makan. Buku-buku dari meja makan harus dipindahkan dahulu ke lantai dan dikembalikan lagi seusai makan.

Memoar Putri Tjong A Fie

Fase ketiga adalah menulis tentang isi novel-novel itu. Kesempatan pertama datang pada 1984 ketika kelompok kerja mengenai wanita mengadakan seminar tentang wanita Indonesia. Saya membawakan makalah berjudul The Making of a Peranakan Chinese Women. Di situ saya menulis bagaimana seorang wanita peranakan Tionghoa dibesarkan dengan ajaran-ajaran Konfusius, yang sangat berdampak sampai masa kini.

Atas petunjuk Claudine, saya mengunjungi Medan. Di sana ada seorang wanita tua tengah menulis memoarnya. Sebagian memoar itu telah diterbitkan di sebuah majalah di Malaysia berjudul Memories of A Nonya. Pertemuan pertama dengan si penulis sangat mengesankan. Queeny Chang, nama wanita itu, mulai menulis memoarnya ketika sudah berusia 80 (cukilannya dimuat di Intisari Mei 1982). Ia putri konglomerat kaya Tjong A Fie. Selain memoar, Queeny juga menulis beberapa cerpen, yang pernah saya bahas untuk Majalah Archipel.

Memoarnya dibukukan dan diterbitkan di Singapura. Saya hadir pada peluncurannya di Pameran Buku Singapura dan melihatnya dikelilingi para penggemar yang berdesakan minta tanda tangan. Dia tertawa melihat saya dan membuat janji untuk jalan-jalan pada keesokan harinya. Saya jemput dia dengan taksi dan kami pergi bersama ke sebuah wihara tempat Queeny bersembahyang dan menyumbang lilin serta minyak sebagai rasa terima kasih. Tidak lama kemudian Queeny terserang stroke dan meninggal setelah beberapa tahun di Singapura.

Pada 1985 saya merasa ingin mengunjungi Makassar karena saya dengar di sana ada orang yang dahulu pernah menerjemahkan semua cerita silat dalam bahasa Lontara yang ditulisnya dengan sebuah pi, alat tulis yang dipakai orang Tionghoa. Kebetulan Claudine sedang menyusun tulisan mengenai Makassar, dan dia serta rekannya, Gilbert Harmonic, sedang menangani bagian sastranya. Dia minta agar saya dapat membantu.

Di Makassar saya menginap di rumah pasien suami saya yang juga mengantar saya ke tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Saya juga diperkenalkan dengan Yo Kau Chiau (Yang Wen Chiao), seorang penulis yang banyak menceritakan kepada saya tentang keadaan kesastraan di sana.

Saya diantar juga ke rumah Kwee Kheng Liong dan berjumpa dengan putri-putrinya yang membantu saya dengan permintaan Claudine, yaitu mencocokkan beberapa judul dengan ceritanya. Mereka memperlihatkan buku-buku itu yang berada di sebuah ruangan tingkat atas. Namun, ketika kami selesai, saya mendapatkan mereka asyik membaca cerita-cerita itu, dan tampaknya sudah lupa pada saya! Koleksi ayah mereka cukup banyak, tersimpan di beberapa lemari buku. Alangkah sayangnya kalau buku-buku itu tidak dipelihara dengan baik di masa yang akan datang.

THB, Bung Karno, dan Pil Kita

Saya juga pernah ke Slawi untuk mencari jejak Tan Hong Boen (THB), seorang penulis yang juga memakai nama samaran Im Yang Tjoe. THB memang luar biasa karena dia sebenarnya seorang wartawan yang sering mengkritik Belanda. Dia beberapa kali dipenjarakan, dan suatu kali pernah berada di penjara bersama Bung karno.

Dari pertemuan dengan Bung Karno, timbul gagasan untuk menulis biografinya. Di samping biografi Bung Karno itu THB menulis sejumlah novel yang menarik. Tapi, ia menjadi sangat terkenal karena ia pernah menyusun buku "apa dan siapa" berjudul Orang-orang Tionghoa Terkemuka di Pulau Jawa.

THB sudah meninggal ketika saya mengunjungi rumahnya di Slawi. Tapi, keponakannya berada di sana untuk mengurus Yayasan Ki Hajar Sukuwiyono yang didirikan untuk memberikan beasiswa kepada siswa-siswa sekolah dasar dan menengah yang tidak mampu di sekitar Slawi. Setiap tahun yayasan itu memberikan 45 beasiswa untuk murid SD, 17 untuk SLTP, dan delapan untuk SMU.

THB menjadi sangat kaya karena dalam perjalanannya keliling Pulau Jawa, yang selalu dia tempuh dengan sepeda dan mengenakan baju putih-putih, ia menemukan resep "obat" yang dia beri nama "Pil Kita", semacam vitamin yang berguna terutama bagi sopir-sopir yang harus menempuh perjalanan panjang.

Setelah membaca beberapa cerita silat, saya pun tertarik untuk menulis tentang Khoo Ping Ho (KPH), penulis kondang dari Solo. Saya bertemu dengan (almarhum) KPH setelah menanyakan alamat rumahnya kepada tukang becak. Ternyata semua orang di sekitar alamatnya kenal dengan penulis cerita silat ini. KPH sangat terbuka dan menceritakan seluruh riwayatnya kepada saya.

Saya juga mendapat kesempatan melihat percetakannya. Ada dua macam percetakan dipakainya. Yang satu sangat modern dengan alat-alat IBM untuk mencetak buku-buku. Yang lain percetakan lamanya, karena KPH tidak tega memberhentikan karyawan yang telah setia mengikutinya selama 30 tahun atau lebih. Mereka ditugaskan untuk pencetakan yang kecil-kecil seperti label untuk jamu, karcis parkir, dsb.

Buah karya KPH sungguh banyak dan memenuhi beberapa lemari. Ketika itu KPH juga masih aktif menulis cerita, antara lain untuk beberapa surat kabar daerah. Perkenalan dengan Bu Khoo juga sangat mengasyikkan. Wanita setengah baya ini ternyata hobinya mendaki gunung; hampir semua gunung di Jawa dan Sumatra telah didakinya.

Tulisan saya disajikan di sebuah simposium di San Franscisco dan diterima dengan baik, karena orang asing sangat tertarik pada cerita-cerita silat. Makalah itu kemudian diminta oleh Denys Lombard yang ingin memuatnya di Majalah Archipel. Sayangnya, ketika Archipel itu naik cetak, KPH meninggal. Untung saya masih diberi kesempatan menulis sedikit untuk mengenangnya di bawah artikel itu.

Pencipta Put On

Untuk mengumpulkan data tentang pengarang peranakan saya tidak selalu perlu menempuh perjalanan jauh. Di Jakarta saya juga berbincang dengan almarhum Kho Wan Gie (KWG), artis terkenal dari komik Put On. Put On adalah tokoh yang dimulai pada tahun 1930 di Harian Sin Po, dan berlangsung sampai tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia. Pada 1946 Sin Po terbit lagi tetapi pada 1962 ganti nama menjadi Warta Bakti dan akhirnya dibredel pada 1965.

Saya diterima oleh KWG dengan ramah. Dia berasal dari Indramayu, dan pernah datang pada suami saya untuk berobat. Karena suami saya tidak memungut bayaran dari orang sekampung, dia pernah menghadiahi kami sebuah lukisan yang ia buat di waktu senggang. Saya diizinkan membuat fotokopi semua karyanya. Di samping itu ia masih memberi saya beberapa Majalah Sin Po dari koleksinya.

Pada suatu hari saya ditelepon oleh seorang putranya yang memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal. Saya pergi melayat dan memberi tahu Arswendo Atmowiloto yang menulis sebuah "In Memoriam" mengenai orang yang luar biasa, yang pernah menghibur orang tua maupun muda di Indonesia dengan goresannya yang tampak sederhana tetapi penuh dengan humor ini.

Meskipun KWG telah meninggal pada 1983, saya baru mendapat kesempatan untuk membuat paper tentang dia di tahun 1995 ketika di Leiden diadakan lokakarya mengenai Jakarta. Dari Jakarta ada Julianti Parani dan Yasmine Shebab yang turut serta. Dari Belanda ada Leonard Blusse, Kees Grijns, seorang ahli bahasa Betawi, dan Remco Raben. Ketika saya membawakan paper dan mempertunjukkan beberapa komik dengan overhead projector, beberapa orang tertawa terbahak-bahak.

Di Jakarta saya juga berjumpa dengan Soe Lie Piet (SLP), juga seorang wartawan sekaligus penulis novel, ayah Soe Hok Djien dan Soe Hok Gie, dua aktivis mahasiswa di tahun 1965 - 1966. Soe Hok Gie meninggal pada 1969, tetapi Hok Djien, yang kini lebih dikenal dengan nama Arief Budiman, masih aktif di dunia politik. SLP juga pernah menulis sebuah penuntun pariwisata untuk Pulau Bali dan beberapa novel tentang kehidupan di Bali yang berjudul Lejak dan Jadi Pendita.

Saya juga bertemu dengan Ny. Tjoa Hin Hoey untuk bertanya mengenai ayahnya, pengarang dan redaktur pelbagai majalah, Kwee Tek Hoay (KTH). Banyak keterangan saya peroleh dari Ny. Tjoa, yang juga terkenal sebagai pengarang tetapi terutama sebagai pengasuh Majalah Istri sebelum PD II.

KTH menulis lebih dari 200 novel, buku mengenai agama, dan sandiwara; sungguh suatu prestasi luar biasa di zaman pra-komputer. Ia juga mengasuh beberapa majalah seperti Panorama, Moestika Romas, dan Moestika Dharma, di samping mempunyai pabrik tapioka di Cicurug karena mungkin tulis-menulis tidak memberikan penghasilan cukup.

KTH sangat peduli terhadap kaum wanita, terutama wanita muda yang berbakat menulis. Dia menganjurkan mereka untuk mengirimkan tulisan mereka ke Majalah Panorama. Setelah dikoreksi dia kirimkan kembali tulisan mereka. Barulah setelah diperbaiki, tulisan itu dimuat. Jadi, semacam kursus tertulis untuk mengarang.

Claudine dan saya masih sempat pergi ke Sukabumi menemui seorang pengarang, Hong-le-Hoa namanya. Ketika bertemu, Hong-le-Hoa sudah lanjut usia tetapi masih dapat menceritakan mengenai pelajaran yang ia dapat dari KTH. Sesudah itu ia juga ditugaskan untuk membentuk suatu persatuan jurnalis perempuan. Seruannya untuk bergabung dalam persatuan itu mendapat tanggapan dari Makassar, Semarang, Batavia, Bandung, Surabaya, dan Malang. Mereka saling mengirim foto dan juga pernah berkumpul di Bandung. Setelah mereka semua menikah, hubungan di antara mereka dilanjutkan dengan surat-menyurat.

Nyoo Cheong Seng "menemukan" Fifi Young

Pada 1986 timbullah gagasan untuk menerbitkan buku peringatan untuk merayakan 100 tahun KTH pada 1987. Kami mencari seorang penerbit, dan untunglah Aristides Katoppo dari Pustaka Sinar Harapan bersedia menerbitkan buku itu. Aristides menunjuk saya sebagai penyunting, dan untuk menghubungi beberapa penulis.

Sumbangan datang dari Prancis, Singapura, Selandia Baru, Australia, Jerman, dan dari Indonesia ada Jakob Sumardjo dan saya. Ada yang sanggup menulis mengenai pandangan KTH tentang pendidikan. Ada yang ingin menulis tentang pandangan politiknya. Saya sendiri ingin menangani pandangannya terhadap kaum wanita. Beberapa orang ingin menulis tentang karya-karya sastranya atau pandangan agamanya. Bahkan ada yang mau menulis tentang karya-karyanya yang berhubungan dengan mistik. Ny. Tjoa sendiri berjanji menulis sebuah biografi singkat tentang ayahnya. Maka lengkaplah tulisan kami mengenai penulis yang luar biasa ini.

Sebagai penyunting saya mendapat tugas untuk menyunting dan sekaligus menerjemahkan tulisan dari luar negeri. Namun, ketika penerbit mendapat kesukaran dalam mengumpulkan dana untuk mencetak buku itu, sayalah yang ditugaskan untuk "menodong" beberapa calon sponsor. Meskipun tugas itu cukup berat, saya senang karena berhasil mendapat bantuan dari beberapa teman baik, dan buku diterima dengan baik di kalangan para pakar.

Ketika ingin mempelajari karya-karya KTH di Perpustakaan Nasional, saya pernah diberi majalah yang salah oleh petugas. Yang diberikan adalah Interocean, sebuah majalah tentang perkapalan. Saya membacanya dan memperhatikan bahwa pada 1923 redaktur diganti, dan setelah itu majalah tersebut menjadi majalah kesastraan. Tulisan-tulisannya sangat indah dan menarik serta kebanyakan buah pena sang redaktur, Nyoo Cheong Seng (NCS). Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata NCS baru berusia 21 tahun saat itu. Seorang pemuda berbakat yang penuh cita-cita dan telah dikenal sebagai penulis karena sumbangannya kepada Harian Sin Po dan Hoa Po.

Di samping pekerjaannya sebagai redaktur, NCS juga anggota aktif dari kelompok sandiwara amatir, Soen Thian Gie Hie. Ia sendiri turut serta sebagai pemain, dan pernah sekali mengambil peran sebagai pembantu rumah tangga. Ia pernah menulis naskah sandiwara berjudul Lady Yen Mei. Di situ ia mengkritik orang-orang kaya yang pelit. Dalam sandiwara itu ia menempatkan seorang ibu rumah tangga dari kalangan atas sebagai pemeran utama dan menyebabkan polemik di media masa karena publik merasa tidak pantas ada wanita peranakan yang turut serta dalam aktivitas hiburan.

Tahun 1926 ia meninggalkan Interocean dan bergabung dengan kelompok sandiwara Miss Riboet's Orion di Batavia. Di kelompok itu ia bertemu Tan Kiem Nio, gadis cantik berdarah campuran Cina dan Prancis dari Sungai Liput di Aceh. Ia nikahi Kiem Nio dan membimbingnya menjadi pemain teater yang tidak ada tandingannya ketika itu. Tahun 1932 mereka meninggalkan Orion lalu bergabung dengan Moonlight Crystal Follies di Singapura.

Kiem Nio mengambil nama Fifi Young sebagai nama aktris. Fifi diilhami bintang film Prancis yang terkenal di masa itu, Fifi d'Orsay, dan Young adalah ucapan bahasa Mandarin untuk "Nyoo". Ia sukses besar karena sangat cantik, lagi pula piawai dalam akting dan menari. Kalau mereka bermain di Kuala Lumpur, gubernur Malaya sering datang menonton, dan dialah yang selalu memimpin seruan, "One, two, three, we want Fifi!"

Dengan Fifi, NCS mendapat dua putra dan seorang putri yang mengikuti jejak ibunya. Dua putri lagi meninggal ketika masih bayi, dan NCS menulis karangan yang indah untuk mengenang mereka. Setelah PD II NCS mengalami banyak kesulitan. Ia jatuh cinta pada seorang aktris muda bernama Mipi Malenka. Mipi hanya diberi peran sebagai pemain pembantu sehingga punya banyak waktu luang untuk membantu Nyoo mengetik karangan-karangannya.

Menurut pengakuan NCS sendiri di novelnya Dendang-dendang Makassar, ia sering menulis syair-syair cinta kepada Mipi, yang dia tinggalkan di mesin tik. Setelah membaca, Mipi pun membalas cintanya melalui syair-syair yang ditinggalkan di mesin tik juga. Ketika cinta sudah tidak tertahankan lagi, mereka pun menikah, dan Nyoo membawa Mipi pulang sebagai istri muda. Fifi menerima keadaan ini dan bahkan mendampingi ketika Malenka melahirkan putranya.

Namun, untuk tinggal serumah tentu agak sulit bagi Mipi yang masih belia. Ia meninggalkan rumah dengan membawa putranya, konon ke Makassar. NCS pergi mencarinya tetapi tidak dapat menemukan. Di sana ia malah mendapat tawaran dari Djamaludin Malik untuk membantu dalam kelompok teaternya. Di Makassar ia bertemu Hoo Eng Djie dan beberapa sastrawan lain serta sempat menulis beberapa novel tentang mereka. NCS kemudian bercerai dengan Fifi dan hijrah ke Malang. Di kota ini ia diterima di kalangan seniman yang kira-kira sebaya, dan merasa sangat betah. Oleh teman-teman barunya ia dijodohkan dengan Huang Lin, janda muda dan guru di sekolah Tionghoa.

Ong Kian Bie, fotografer hebat

Dalam pencarian, saya banyak dibantu oleh Hadi Susastro, direktur eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS). Hadi pernah mendapat les piano dari putra Huang Lin dan langsung menghubungi bibinya untuk minta alamat Huang Lin. Setelah mendapat alamat dari Bu Istanto, berangkatlah saya ke Malang. Pertemuan dengan Huang Lin sangat mengharukan karena ia merasa NCS membuatnya sangat bahagia setelah pernikahan pertamanya gagal. Sayang sekali pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Sesudah 10 tahun menikah NCS meninggal pada 1962 karena sakit liver. Tetapi selama itu mereka hampir setiap minggu pergi piknik. Huang Lin diberi les dansa ballroom dan paling sedikit sebulan sekali mereka pergi dansa dengan teman-teman.

Mereka sempat membuka sebuah toko kembang yang diberi nama "Malang Mignon" (mignon adalah bahasa Prancis untuk mungil). Untuk setiap pesanan NCS menyertai syair kecil. Setelah ia meninggal banyak orang masih minta syair untuk karangan bunga mereka, tetapi Huang Lin tidak dapat membuat syair.

Ketika masih hidup, NCS pernah menyatakan niatnya untuk membuat autobiografi. Tetapi ketika dicari, ternyata ia tidak sempat menulisnya karena selalu dibanjiri permintaan-permintaan untuk menulis sandiwara atau cerpen. Sering ia bekerja sampai larut malam. Setelah NCS meninggal, Huang Lin merasa sepi karena tidak lagi mendengar suara mesin tiknya dan bunyi keriak-keriuk NCS mengunyah emping belinjo, camilan kegemarannya. Ia merasa sangat bahagia karena dihormati anak-cucu NCS.

NCS mungkin satu-satunya yang pernah menulis tentang dirinya sendiri. Kalau saya membaca cerita bahwa di mancanegara ada yang dapat menggali riwayat hidup orang terkenal dari surat-surat atau catatan harian yang ditulisnya, seperti Virginia Woolf, Ernest Hemmingway, saya merasa iri hati. Para penulis Indonesia tidak menyimpan surat-suratnya, dan kalaupun pernah menulis catatan harian, buku itu mungkin telah musnah atau dimusnahkan.

Saya tentu tidak akan berhenti mencari meskipun tahu bahwa tugas itu tidaklah mudah. Dalam bentuk sketsa-sketsa kecil ini, saya ingin memberi penghormatan yang layak kepada para pengarang itu yang biasanya tidak diberi perhatian, apalagi penghormatan. Mudah-mudahan saya dapat mengumpulkan lebih banyak mengenai penulis-penulis lain di masa yang akan datang. Sumber : Handlestraat , Intisari

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...