Kota Tua - Angke, Sungai Darah pada Tahun 1740

Setelah situasi politik di Banten semakin memanas akibat konflik Pangeran Jakarta Wijayakrama dengan Sultan Banten, Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Jan Pieterszoon Coen memindahkan armadanya ke Batavia. Dengan tenaga orang-orang China pimpinan Kapitan So Beng Kong, Coen mendirikan kastil dan Batavia yang rampung 30 Mei 1619 seperti disebut buku Sejarah Jakarta (Dinas Museum dan Pemugaran, Pemprov DKI Jakarta, 2001).

Tergiur oleh tingginya etos kerja, daya tahan, dan keterampilan orang-orang China perantauan (hoakiau) Hokkian asal Fukien, di China bagian selatan itu, Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier (1737-1741) membiarkan gelombang imigrasi kaum Hokkian terus berlangsung. Arus imigrasi itu tak hanya membawa kaum hoakiau yang ber-SDM tinggi, tetapi juga para hoakiau kriminal.
Jumlah kaum imigran terus membengkak, melebihi lapangan kerja yang ada. Keseimbangan sosial mulai terganggu.

Untuk memulihkannya, Valckenier melaksanakan usulan Baron van Imhoff, seorang anggota Majelis Hindia Belanda, yaitu memindahkan kaum imigran kriminal ke Sri Lanka. Langkah lain adalah membatasi kedatangan perahu-perahu imigran dan melakukan berbagai pungutan yang memberatkan orang-orang China. Harapannya, mereka yang tidak mampu tersingkir dari Batavia.

Kaum birokrat Belanda yang malas dan rakus, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Hoakiau di Indonesia (Garba Budaya, 1998), memanfaatkan langkah Valckenier untuk memperkaya diri dengan memeras para imigran lewat berbagai pungutan liar, biaya prosedur, dan biaya siluman lainnya. Mereka bukan saja memindahkan kriminal ke Sri Lanka, tetapi juga memindahkan orang China lainnya yang tidak mau mereka peras. Sebagian lagi dijebloskan ke penjara.

Hidup kaum hoakiau menjadi kian berat. Kondisi ekonomi dan sosial yang memburuk membuat mental mereka rapuh dan mudah terhasut. Mereka mendengar kabar, kaumnya yang dibawa ke Sri Lanka ditenggelamkan di tengah pelayaran.

Ketidakpastian dan keputusasaan berjangkit. Struktur sosial hoakiau yang kala itu terbagi dalam tiga kelas, yakni kelas saudagar, tukang, dan jelata seperti disebut Eddy Prabowo Witanto, dosen Jurusan Indonesia di Beijing Foreign Studies Universities, Selasa (13/2), menjadi kacau. Sebagian di antara mereka lantas terseret kepemimpinan kaum preman China jalanan yang masih punya nyali melawan kaum birokrat korup VOC.

Amuk

Di Jatinegara dan Tanah Abang, api kemarahan hoakiau mulai menyala, membuat orang VOC waswas. Valckenier dan Dewan Hindia Belanda segera mengadakan rapat darurat, tetapi terlambat. Hari itu, 9 Oktober 1740, api berkobar di hampir seluruh pusat pemerintahan VOC dan Pecinan.

Orang-orang bersenjata VOC yang segera melakukan serangan balasan besar-besaran membuat elite VOC, termasuk Valckenier, terseret arus genosida hingga esok harinya. Thomas B Ataladjar dalam bukunya, Toko Merah (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, 2003), menyebutkan, selama dua hari, sekitar 10.000 orang China, termasuk 500 tahanan dan pasien rumah sakit, dibunuh orang bersenjata VOC.

Sebagian besar jenazah menumpuk di sebuah kali hasil sodetan Kali Mookervart. "Tepatnya dari bagian kali sodetan di sekitar Toko Tiga, terus ke Jalan Perniagaan Barat, sampai ke Jalan Pangeran Tubagus Angke sebelum perlintasan rel kereta api," kata Eddy.
Sampai sekarang, katanya, di tepian kali sodetan di bagian tadi masih berdiri rumah berarsitektur China, penanda pusat Pecinan terbesar kala itu. Di tempat itu terjadi pembantaian hoakiau terbesar di Batavia.
Kegemparan dan kenangan pahit itu membuat kaum hoakiau yang selamat menamai sodetan kali itu Angke, Kali Merah, atau kali penuh darah.

Hingga Oktober 1740, kawasan Angke sunyi karena tak ada lagi pengganti orang-orang China yang menguasai perdagangan sembako di sana. "Lebih-lebih setelah wabah kolera muncul dari tumpukan jenazah yang membusuk, sepekan setelah peristiwa genosida itu," tuturnya.

Kebangkitan

Suasana muram tidak berkepanjangan. Setelah VOC gulung tikar dan dibubarkan tahun 1799, Pemerintah Hindia Belanda mengawali babak baru penjajahan Belanda atas Indonesia, dengan mengundang kembali kaum hoakiau yang antara lain terpencar di Mauk, Tangerang, dan Pondok Cina, Depok.

Sumber daya manusia (SDM) kaum hoakiau kembali menunjukkan keunggulannya. Hanya dalam waktu beberapa tahun, pembangunan kota meluas ke selatan. Kenyataan ini membuat pemerintahan kolonial Belanda membatasi ruang usaha hoakiau lewat Undang-Undang Agraria 1870 yang melarang hoakiau bergerak di sektor pertanian. Larangan ini, tulis Pramoedya, membuat mereka hanya bisa berusaha di sektor perdagangan, industri, dan kerajinan.

Kini, di Angke, di bagian yang dulu menjadi tempat pembuangan jenazah terbanyak, masih menjadi kawasan perdagangan kaum hoakiau meski tidak seramai pada abad ke-18. Mayoritas penghuninya masih hoakiau.
"Masih 60:40," kata Camat Tambora Rudi Ikhwan, Rabu (31/1). Kawasan itu saat ini masuk Kelurahan Jembatan Lima dan Kelurahan Tambora.

Nenek Tan Sek Nio (68), yang tinggal di lingkungan Klenteng Dharma Tedja di Gang Sentea atau Jalan Jamhari Nomor 23A, mengaku tak tahu tentang kisah genosida tahun 1740. Orang tua, bahkan kakek-neneknya, tak pernah mewariskan kisah tragedi itu kepadanya. Itu juga diungkapkan Nani, pengelola Klenteng Dharma Paramita di tepi Jalan Tubagus Angke.
WINDORO ADI T

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...