Imlek Perayaan Agama atau Budaya?

Seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan berlangsungnya reformasi maka saat ini hampir seluruh peraturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa, termasuk kesempatan untuk menjadi presiden dan pelarangan ritual kepercayaan, agama, tradisi, bahasa, dan aksara Tionghoa boleh dikatakan hampir seluruhnya telah dieliminasi. Yang tersisa adalah peraturan-peraturan dalam Staatsblad yang mengatur Catatan Sipil yang mudah-mudahan dengan Undang-undang mengenai Administrasi Kependudukan yang RUU-nya sedang digodok di DPR akan lenyap untuk selama-lamanya.

Selaras dengan dihapuskannya pelarangan-pelarangan tersebut, Tahun Baru Imlek yang telah dinyatakan sebagai hari libur nasional dengan sendirinya bebas untuk dirayakan secara terbuka. Tahun Baru Imlek yang semasa Orde Baru dijauhi dan dianggap haram oleh sebagian kalangan masyarakat Tionghoa karena takut kepada
penguasa, sekarang telah menjadi bahan rebutan dan klaim-klaiman dari sebagian kalangan Tionghoa tersebut.

Imlek bagi sekelompok "tokoh" Tionghoa tersebut telah menjadi komoditi yang perlu dikuasai. Argumentasi kelompok ini perayaan Imlek adalah perayaan budaya yang menjadi milik seluruh masyarakat Tionghoa dan bukan milik sekelompok Tionghoa saja.

Di sisi lain bagi Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) yang mewadahi umat Khonghucu di Indonesia, Tahun Baru Imlek adalah puncak dari ritual keyakinannya, namun walau begitu mereka tentunya tidak berhak untuk mengklaim bahwa Tahun Baru Imlek hanya milik umat Khonghucu saja dan memang selama ini belum pernah ada pernyataan yang berisi klaim tersebut.

Dengan jujur kita harus mengakui bahwa karena keyakinannya, di masa rezim Orde Baru umat Khonghucu tetap konsisten merayakan Tahun Baru Imlek dengan ritual Sembahyang Tahun Baru, Sembahyang Tuhan Allah, Capgomeh dan sembahyang ke litang-litang atau kelenteng-kelenteng. Keluarga umat Khonghucu tetap menyambut Tahun Baru Imlek dengan berpakain baru, makan bersama, saling mengucapkan selamat dan membagi angpao.

Yang menjadi masalah bagi sekelompok "tokoh" Tionghoa tersebut mereka penasaran dan tidak merasa nyaman bahwa perayaan Imlek nasional yang diselenggarakan umat Khonghucu yang pada umumnya kalangan peranakan menengah ke bawah setiap tahun dihadiri oleh presiden yang dimulai oleh Presiden Abdurrahman Wahid kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan terakhir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Penghapusan Pelarangan

Di setiap perayaan Imlek itulah presiden-presiden tersebut mengeluarkan pernyataan yang menyangkut penghapusan pelarangan-pelarangan terhadap tradisi, agama, dan budaya Tionghoa di Indonesia. Presiden Yudhoyono pada saat menghadiri perayaan Imlek 2006 menyatakan bahwa Khonghucu adalah agama yang sah di Indonesia.
Sebagian golongan yang merasa tidak nyaman itu juga lupa atau tidak menyadari bahwa presiden-presiden tersebut menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan Matakin seperti juga menghadi- ri perayaan Natal, Waisak dan Galungan.

Apakah presiden pernah menghadiri perayaan tahun baru Masehi atau tahun baru internasional (Gregorian)? Apakah perayaan Natal yang diselenggarakan oleh gabungan umat Kristen/Katolik yang dihadiri Presiden hanya satu-satunya perayaan Natal yang diselenggarakan umat Kristen/Katolik?
Tahun ini sekelompok golongan itu berusaha membuat perayaan tandingan dan berusaha mengundang Presiden Yudhoyono untuk menghadirinya, padahal dalam setiap perayaan Imlek yang diselenggarakan Matakin wajah-wajah merekalah yang muncul di media masa.

Kalau tujuannya memang mau merayakan Imlek, rayakan saja dan tidak usah iri kalau Presiden menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan umat Khonghucu. Sekali lagi kalau memang mau merayakan Imlek, rayakan saja dengan atau tanpa kehadiran Presiden.Sungguh ironis sekali ketika Imlek sekarang telah menjadi hari libur nasional dan bebas dirayakan, malah ditebarkan bibit perpecahan di kalangan masyarakat Tionghoa karena memperebutkan kehadiran Presiden! Numpang Tanya, ketika Imlek dilarang di manakah mereka?

Imlek seperti juga Natal, Tahun Baru, dan Idul Fitri sekarang telah menjadi komoditi bisnis. Toko-toko, mal, restoran, café, media massa baik cetak maupun elektronik berlomba-lomba menjual produknya. Di samping itu banyak keluarga Tionghoa yang beragama baik itu Kristen, Katolik, dan Budha, sekarang juga telah kembali merayakan Imlek dengan makan bersama, membakar kembang api dan membagikan angpao tanpa melakukan sembahyang Tahun Baru tentunya.

Seluruh Masyarakat

Jadi memang Imlek di samping dirayakan oleh umat Khonghucu sebagai ritual agama sekarang telah kembali menjadi milik seluruh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Di daratan Tiongkok sendiri Imlek dirayakan dengan luar biasa meriah sebagai pesta menyambut musim semi. Demikian juga di Korea dan Jepang dirayakan sebagai Lunar New Year. Di Vietnam dirayakan sebagai Tahun Baru Tet. Imlek tahun ini didahului dengan berbagai bencana yang menimpa negeri kita. Gempa bumi, tsunami, banjir bandang, longsor, tragedi Lumpur Lapindo, dan puncaknya banjir besar yang merendam hampir seluruh Jakarta.

Berjuta-juta rakyat Indonesia hidup menderita, kedinginan, kelaparan, kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan, dan anak-anak kehilangan kesempatan untuk ber- sekolah. Daripada uang bermiliar-miliar dihamburkan untuk rebutan perayaan Imlek, lebih baik kalau uang tersebut disumbangkan untuk korban bencana tersebut sebagai bentuk peduli dan empati kita sebagai sesama anak bangsa.

Marilah kita rayakan Imlek dengan sederhana dan penuh keprihatinan sebagai momen mawas diri dan bukan untuk pesta-pesta menghambur-hamburkan uang di tengah-tengah penderitaan sebagian besar rakyat kita. Janganlah kita menyakiti hati rakyat yang sedang menderita! Marilah kita rayakan Imlek sebagai momen untuk persatuan bangsa terutama di kalangan masyarakat Tionghoa dan bukan menjadi sumber perpecahan!

Oleh Benny G Setiono
Penulis adalah pengamat politik dan sosial

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...