Imlek di Kalangan Tionghoa-Kristen di Indonesia

Kalau kita bandingkan orang Tionghoa-Kristen di Indonesia dengan di Singapore (juga negara lain seperti Malaysia, Hong Kong, dsb ) ada suatu perbedaan dalam menyikapi tahun baru Imlek. Di Singapore, hampir semua orang Tionghoa-Kristen tetap merayakannya (merayakan yang dimaksud di sini adalah dari segi budaya, bukan agama) sementara di Indonesia ada sebagian yang tidak lagi merayakannya.
Apa yang menyebabkan hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan tepat,ada baiknya kalau kita telusuri sejenak sejarah orang Tionghoa di Indonesia.

Sampai dengan pertengahan abad 19, orang Tionghoa di Indonesia adalah golongan peranakan, yaitu mereka yang sudah beberapa generasi di Indonesia. Pada saat mereka datang, semua adalah laki-laki, kemudian menikah dengan wanita Indonesia setempat. Keturunan mereka kemudian saling menikah di antara mereka, dan inilah yang disebut golongan peranakan. Karena sudah beberapa keturunan tinggal di Indonesia, mereka umumnya sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin / dialek, namun masih memegang tradisi Tionghoa walaupun tidak terlalu kuat.

Mulai akhir abad 19, gelombang orang Tionghoa berikutnya datang ke Indonesia. Karena sudah cukup mapan, mereka mampu untuk mendatangkan kaum wanita, sehingga mereka tidak menikah dengan penduduk setempat, melainkan di antara gelombang yang baru datang tersebut. Karenanya mereka masih berbahasa Tionghoa/dialek dan tetap memegang tradisi. Mereka inilah yang disebut golongan totok.

Akhir abad ke-19, di Tiongkok terjadi gerakan kebangkitan nasional yang dipimpin oleh Dr Sun Yat-sen, yang bertujuan menggulingkan dinasti Qing/bangsa Manchu (yang merupakan bangsa non-Han/non Tionghoa) dan mengusir bangsa Eropa. Semangat kebangkitan nasional ini juga menyebar ke orang-orang Tionghoa di Indonesia dimulai dari golongan totok lalu menyebar ke golongan peranakan. Tahun 1900, golongan peranakan mendirikan Tiong Hoa Hwe Koan (T.H.H.K.) yang bertujuan untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai budaya Tionghoa (resinifikasi) dan bahasa Mandarin kepada golongan peranakan. Hal ini menyebabkan kecenderungan bersatunya
golongan totok dan peranakan dan adanya rasa kebangkitan nasional.

Bahkan gerakan kebangkitan nasional ini kemudian menyebar ke antara orang-orang Indonesia. Karena orang Tionghoa dan Indonesia memiliki nasib yang sama,
yaitu sama-sama di bawah tekanan bangsa Eropa, maka orang Tionghoa banyak yang bersimpati dan membantu perjuangan bangsa Indonesia.

Hal ini tentu saja menakutkan pihak Belanda. Mereka takut bukan saja karena bersatunya sesama orang Tionghoa tetapi juga bersatunya orang Tionghoa dan Indonesia. (Tahun 1740-1743 orang Tionghoa dan Indonesia bersatu melawan Belanda dan mereka hampir saja berhasil mengusir Belanda dari Indonesia.) Untuk mengatasi hal ini, tahun 1907 Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School (H.C.S.) yang ditujukan untuk orang Tionghoa peranakan dengan bahasa pengantar Belanda. H.C.S. berhasil menarik minat banyak orang Tionghoa peranakan karena lulusannya lebih mudah mendapat pekerjaan dan pendidikan barat dianggap lebih modern. Di sekolah ini mereka dididik secara Belanda, dan sengaja tidak diperkenalkan kebudayaan Tionghoa, bahkan sebuah sumber menyebutkan bahwa di sekolah Belanda banyak guru yang menghujat dan menjelekkan kebudayaan Tionghoa.

Ada satu lagi usaha yang dilakukan Belanda untuk memecah antara orang Tionghoa. Pada saat itu, Belanda membagi penduduk menjadi 3 kelas. Yang paling tinggi adalah golongan bangsa Eropa, kedua (menengah) adalah orang timur asing, yaitu orang Tionghoa, India, Arab, dan kelas yang paling rendah adalah penduduk Indonesia. Tahun 1907 Belanda mengeluarkan undang-undang yang memberi kesempatan kepada orang Tionghoa peranakan untuk mendapat status sama dengan orang Eropa, tetapi ada beberapa syarat diantaranya adalah harus fasih berbahasa Belanda dan harus membuat surat pernyataan bahwa mereka tidak cocok tinggal di kalangan masyarakat Tionghoa! Salah satu implikasinya adalah mereka harus menanggalkan
ketionghoaan mereka termasuk tidak ikutan Imlek lagi.

Kekejaman politik Belanda kemudian diteruskan oleh pemerintah Orde Baru dengan mengeluarkan peraturan diskriminatif, termasuk larangan merayakan perayaan Tionghoa di tempat umum, larangan terhadap bahasa Mandarin,penggantian kata Tionghoa menjadi kata "cina" dan peraturan ganti nama.
Semuanya ini melengkapi kebijaksanaan Belanda yang akhirnya membuat banyak orang Tionghoa terpaksa melepaskan ketionghoaannya.

Jadi bisa disimpulkan bahwa salah satu sebab utama adanya sebagian orang Tionghoa-Kristen di Indonesia yang tidak merayakan imlek lagi adalah karena korban politik pecah-belah Belanda maupun kebijaksanaan diskriminatif orde baru. Tetapi sayangnya fakta sejarah ini kurang diketahui oleh kebanyakan orang dan malah menjadikan hal lain sebagai alasan yaitu:

a. Alasan agama (seperti: "karena sudah Kristen") sebenarnya sama sekali tidak tepat.
b. Alasan "patriotik" (seperti: "supaya bisa menjadi orang Indonesia sejati maka harus meninggalkan ketionghoaan") adalah alasan yang keliru.

Hal ini bertentangan dengan semangat "Bhinneka Tunggal Ika". Lagipula rasa nasionalisme seseorang tidak bisa diukur dari kebudayaan yang
dianutnya.

Dengan demikian cukup jelas bahwa orang Tionghoa-Kristen di Indonesia seharusnya juga ikut merayakan Imlek. Buat kita (Tionghoa-Kristen) yang masih merayakannya, mari kita terus pelihara tradisi ini dan buat kita (Tionghoa-Kristen) yang sudah tidak merayakannya lagi, apa salahnya kalau di era reformasi ini kita manfaatkan dan mencoba mulai menggali kembali kebudayaan leluhur kita sendiri ini.

Oleh Benny G. Setiono


Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...