Hopeng, Hong Sui, dan Hoki di Ranah Minang


Hopeng, hong sui, dan hoki. Ketiga nilai tradisional China ini sangat mempengaruhi perilaku orang Tionghoa, baik dalam kehidupan sosial atau pun perilaku aktivitas ekonomi, di mana pun mereka berada. Ketiganya merupakan kepercayaan dan mitos yang diyakini orang Tionghoa dalam menjalankan kehidupan dan berbagai usaha yang mereka tekuni.

Hopeng adalah cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi usaha. Selama berabad-abad Bangsa China mempunyai pandangan bahwa individu adalah bagian dari keluarga, keluarga bagian dari klan, dan klan bagian dari bangsa.

Hong sui adalah kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang diyakini menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia. Melalui hong sui akan dituntun keberuntungan, baik manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari maupun keberuntungan dalam perdagangan. Oleh karena itu untuk melakukan sesuatu orang Tionghoa cenderung mendasarkan diri pada hong sui-nya.

Hoki, merupakan peruntungan dan nasib baik serta bagaimana cara seseorang menyiasati nasib agar selalu mendapat nasib baik.

Awal Kedatangan

Tidak mudah menelusuri kedatangan pedagang asal Tionghoa ini ke Indonesia. Tetapi dari berbagai bukti sejarah, asalnya lebih cenderung dari daerah Sumatera. Tetapi diperkirakan sekitar abad ke 5-6, ini dibuktikan dengan antara daratan China dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Secara umum kedatangan pedagang asal Tionghoa ini dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, pada abad kelima, kedua, pada masa kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16, yang didorong oleh ramainya perdagangan di Nusantara dan Selat Malaka. Sementara itu, tahap ketiga pada masa penjajahan kolonial.

Meningkatnya jumlah imigran Tionghoa ke kawasan Asia Tenggara pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor ekstern dan intern. Faktor intern, yaitu di samping bencana alam dan kekacauan politik negara, juga karena ajaran konfusianis, yang mengelompokkan masyarakat berdasarkan potensinya. Kedudukan tertinggi disebut Shi (cendekiawan) , Nong (petani), Gong (pekerja), dan Shang (pedagang).

Komunitas Tionghoa

Di Indonesia sendiri, komunitas Tionghoa bukanlah komunitas yang homogen tetapi komunitas yang terpecah-pecah berdasarkan provinsi, kota, dialek bahasa, atau desa kelahiran.
Orang Tionghoa mulanya tinggal di daerah pelabuhan di sepanjang pantai barat Sumatera, yaitu di Pelabuhan Pariaman, Padang, Painan dan Tiku. Meski begitu mereka juga terkonsentrasi di kota-kota tempat orang asing atau orang Eropa tinggal. Kecenderungan ini dipengaruhi bahwa pusat kota biasanya juga berfungsi sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Muncullah kemudian daerah-daerah yang disebut Pecinan.

Awalnya, pedagang Tionghoa dari China ini membutuhkan hasil bumi seperti cengkih, pala, lada, emas, dan komoditas ekspor lainnya. Hasil bumi ini ditukarkan dengan tekstil dari India, Persia, dan barang-barang lain yang dibawa dari China, seperti benang, kain sutra, porselen, keramik, tembaga, obat, barang pertukangan, dan barang mewah lainnya.
Peranan pedagang Tionghoa ini makin besar ketika mereka menjadi pedagang pemborong komoditas ekspor dari pedagang pengumpul yang menjadi agen-agen mereka di pusat-pusat produksi di pedalaman. Selain itu, agen-agen pemborong juga menyalurkan barang-barang impor yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh penduduk. Dengan demikian bisa dikatakan, posisi ekonomi orang Tionghoa diwarnai dengan hubungan antara pedagang pemborong internasional, pembelian produk lokal dan menjual barang-barang impor dari China, India, dan Persia.

Hanya Berdagang

Kekuatan modal pedagang Tionghoa ini tidak semata-mata karena modal yang mereka miliki sendiri. Praktik perkongsian dan juga memanfaatkan hubungan dengan para pejabat, yang jarang dilakukan oleh pedagang pribumi. Kongsi dilakukan antarkeluarga mereka. Selain itu, orang Tionghoa juga memiliki jaringan perdagangan internasional, baik di Selat Malaka maupun di Batavia. Untuk menjaga keamanan dan kelancaran usahanya, mereka menjalin hubungan dengan penguasa, baik kolonial maupun pribumi. Hubungan yang dijalin ini lebih merupakan hubungan pribadi ketimbang sebagai sebuah kekuatan.

Hubungan ini terjadi karena kesamaan kepentingan, di mana pedagang Tionghoa memerlukan perlindungan dari hukum dan pesaing dagang mereka, sementara penguasa membutuhkan uang untuk menjaga prestise sosial mereka. Hubungan saling membutuhkan ini yang dijaga orang Tionghoa bisa memanfaatkan untuk mengembangkan aktivitas ekonomi mereka.
Untuk menghilangkan rasa sentimentil dari penduduk setempat, orang Tionghoa menempatkan diri hanya sebagai pedagang dan tidak mencampuri kehidupan lainnya di Sumatera Barat. Orang Tionghoa yang datang sebagai penduduk baru tidak bermaksud menguasai wilayah dan penduduknya, namun mereka datang hanya untuk mencari penghidupan.

Niatan ini ternyata menjadi upaya yang cukup berhasil untuk bertahan bahkan berkembang di tengah masyarakat Minangkabau yang juga memiliki sistem sosial dan budaya yang sulit dimasuki oleh orang asing. Meskipun masyarakat Minangkabau memiliki kemampuan dagang yang luar biasa, tetapi pedagang Tionghoa menggeser pedagang Minangkabau tanpa menimbulkan konflik.

Kemampuan pedagang Tionghoa melakukan sosialisasi dengan penduduk juga terjalin dengan kerja sama pedagang Tionghoa dan pedagang Minangkabau. Pedagang Minangkabau membutuhkan pedagang Tionghoa.
Buku Asap Hio di Ranah Minang, Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat ini merupakan tesis Erniwati ketika melanjutkan studi pada program studi sejarah jurusan Ilmu-ilmu Humaniora di Universitas Gajah Mada. Selain memberikan banyak data kilasan sejarah, buku ini menjadi pengisi kekosongan historiografi di Indonesia. Kajian sejarah komunitas Tionghoa di Indonesia ini menghadirkan banyak keunikan yang selama ini tidak muncul ke permukaan.

Emmy Kuswandari

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...