Cina atau Tionghoa ?

Ditulis oleh : Dr.Irawan


Dr. Irawan

Dalam beberapa minggu ini marak lagi pembicaraan tentang istilah “Cina” atau “Tionghoa”, bahkan ada e-group sampai mengadakan polling untuk istilah ini. Meja redaksi Indonesia Media juga kena giliran di kirimi surat pembaca yang menanyakan tentang istilah Cina vs Tionghoa. Sehubungan dengan itu maka Indonesia Media mencoba menyajikan tanggapan tentang kontroversial istilah Cina - Tionghoa ini. Tidak perlu kita sampai emosi-emosian dalam diskusi dan tukar pikiran semacam ini walaupun ini sudah menjadi polemik. Tidak perlu kita memaksakan pendapat kita kepada orang lain, demikian pula hak kita sebaiknya dihormati. Kami sendiri telah mencoba menyimpulkan sikap dalam kontroversial istilah Cina-Tionghoa dengan memandang berbagai alasan, antara lain sbb:

Sejarah:

Tidak banyak orang yang tahu bahwa wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat.


Tan Swie Ling

Entah siapa yang memulainya, maklum tidak banyak buku sejarah yang menulis ini. Andaikata adapun kebanyakan dari kita tidak berkesempatan untuk membacanya atau mengerti cara membacanya. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan "Orang Cina", diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasty. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya berlahiran di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya, termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda (1900) didirikanlah suatu sarana sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan Tjung Hwa Hwei Kwan, yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa (di Hindia Belanda).

Partisipasi Tionghoa dalam kemerdekaan Republik Indonesia:


Brigjen T. Jusuf

Dengan adanya aktivitas THHK dan badan badan yang sejenisnya (Cung Hwa Cung Hwee), dan terbukti pada tahun 1911 Dr. Sun Yat Sen cs berhasil menggulingkan dinasty dan menggantikannya menjadi Cung Hwa Ming Kuo, maka secara langsung dan tak langsung memberikan inspirasi kepada bumiputera untuk bangkit menggalang kesatuan nasionalis. Maka semangat Kebangkitan Nasional dalam organisasi Boedi Oetomo yang di cetuskan oleh Dr. Soetomo, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Gunawan sejak 20 Mei 1908, menjadi tambah menggebu gebu, disusul dengan Soempah Pemoeda (1928).


Tan Joe Hok

Golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Soempah Pemoeda, terbukti dari dihibahkannya gedung Soempah Pemoeda oleh Sie Kong Liong, dan ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiaannya itu, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya (baca tulisan-tulisan di Sinergi Bangsa edisi-34 hal 32). Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Terbukti lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh WR. Supratman pertama kali di publikasi oleh Koran Sin Po. Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya di pakai untuk rapat mempersiapkan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Proklamasi Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45


Benny G. Setiono

terdapat 5 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hia, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs. Yap Tjwan Bing. Dalam perjuangan fisik sebenarnya banyak pahlawan dari Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak banyak dicatat dan diberitakan. Menurut tokoh pengusaha Benny Ardie;


Henry Boen (Wen)

Tony Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya. (Bendera Merah putih biru di robek birunya, lalu dikibarkan lagi sebagai Merah Putih). Pendapat ini diperkuat oleh keponakan dari Tony Wen, Henry Boen (Wen) dari Jakarta

Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumi poetera untuk kata Belanda inlander yang dirasakan sebagai penghinaan oleh rakyat indonesia di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai "balas budi", semua pers bumi poetera mengganti kata Tjina dengan kata Tionghoa.


Murbandono

Juga, para pemimpin pergerakan dan perjuangan seperti Ir.Soekarno, Drs. Mah.Hatta, Soetan Sjahrir, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan lain-lain, dalam percakapan sehari-hari dan dalam tulisan mereka, mengganti kata Tjina dengan kata Tionghoa. Para tokoh tersebut sering mengirimkan tulisan dan artikel di harian-harian Melayu Tionghoa yang mereka sadari mempunyai tiras dan jangkauan yang lebih luas ketimbang harian-harian bumi putera. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia dan bukan Partai Tjina Indonesia. (kutipan dari Radio Netherland /Murbandono Hs)


DR. Siauw TD

Berdasarkan partisipasi golongan ini maka kelompok bumiputera secara explisit mulai menamakan orang-orang yang dulu dipanggil sebagai “Cina” menjadi “Tionghoa”. Moment ini adalah sangat penting sebagai bukti partisipasi Tionghoa dalam merebut kemerdekaan RI dari tangan penjajah. Ini secara de facto Tionghoa diakui turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, jadi istilah “Cina menjadi Tionghoa” merupakan suatu tanda penghargaan bagi suku Tionghoa di Indonesia. Kalau istilah Tionghoa sampai hilang oleh karena suatu Tap dari badan penyelenggara negara (1967) atas saran rapat Angakatan darat di Bandung, maka itu dapat diartikan menghapus bukti sejarah, dan perampasan penghargaan yang telah diberikan. Bayangkan kalau semua aparat negara ditarik bintang Satyalencananya dan bintang Mahaputeranya.

Tionghoa yang "di-Cina-kan" kembali.

Sindhunata dari LPKB dengan tenang dan mantap menyatakan, ketika berlangsung Seminar Angkatan Darat Ke-2 di Lembang pada 1966, ia disuruh memilih sebutan Cina atau Tionghoa dan ia memilih kata Cina. Ia juga menyatakan, konseptor Inpres 14/1967 yang melarang kebudayaan, adat-istiadat dan tradisi Cina diselenggarakan di tempat terbuka adalah dia dengan kelompoknya. (rapat di kantor Gamma /Murbandono Hs, dan pertemuan di Duarte Inn /CHI). Pada saat pertemuan Siauw Tiong Djien dengan Shindunata di Los Angeles yang di fasilitasi oleh CHI (Committee for Human Rights in Indonesia), saat itu pernah didebatkan istilah Cina-Tionghoa. Ketika itu suara mayoritas dari peserta seminar memilih istilah Tionghoa dengan tegas, hanya satu orang saja yang bicara (AD) bahwa dia condong 60% kearah istilah Cina. Kata-kata ini lalu dipegang oleh Sindhunata dan disebarkan di tanah air bahwa di Los Angeles dia memenangkan istilah "Cina" dengan 60%. Sungguh disayangkan, sebenarnya sudah bukan waktunya lagi paradigma pemelintiran sejarah ala ORBA masih dibuat.

"Cina", Penamaan dari luar:


Ricky Lee

Cina adalah nama yang diberikan oleh orang berasal dari luar Tiongkok. Menurut Pak Ricky Lee (guru bahasa Mandarin di ICAA), istilah "Cina" sebenarnya diberikan oleh Jepang dan/atau negara barat. Kalaupun ada ucapan "Cena" dari orang yang di Tiongkok, itu hanya merupakan respon komunikasi mereka terhadap orang dari luar daratan Tiongkok. Antara sesama orang Tionghoa di Tiongkok mereka tidak menggunakan istilah Cena/Cina.

Asal kata Tionghoa:


Tjiong Thiam Siong

Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokian, jadi secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia. Jadi ini adalah khas Indonesia, oleh sebab itu di Malaysia dan Thailand tidak dikenal istilah ini.

Istilah China yang dibuat orang dari luar Tiongkok yang telah terlanjur populer bukan berarti tidak boleh di ganti dengan Tionghoa/Tiongkok . Analoginya dengan Siam jadi Muangthai/ Thailand. Dr. Frits Hong dalam wawancaranya dengan mantan Perdana Menteri RRT, Zu Rong Jie beberapa tahun yang silam pernah menyinggung istilah "China", dan saat itu PM Zu Rong Jie mengatakan: "Nanti pada saat yang tepat kami akan umumkan penggantian istilah China".

Mengikis diskriminasi.


Pramoedya

Perjuangan mengikis diskriminasi terhadap Tionghoa di Indonesia belum banyak menghasilkan, contohnya masalah SBKRI, Masalah Acun di Garut, masalah kuburan Ku Tiongdi Cirebon, belum lagi masalah pendaftaran masuk universitas, dan penerimaan dan kenaikan pangkat di jajaran pegawai negeri sipil maupun TNI dan Polri, dan masih banyak lagi. Perjuangan semacam ini sangatlah sulit, padahal kalau Tionghoa tidak didiskriminasi dipercayai Indonesia akan semakin makmur secara merata. (bukan hanya yang makmur para penguasa saja). Kalau mau jujur Tionghoa sangat berat untuk menembus masalah ini. Kwik Kian Gie saja tidak bisa mengubah banyak. Kalau Tionghoa masih sulit memperjuangkan keluar, bagaimana kalau Tionghoa memperjuangkan penyebutan Tionghoa pada diri Tionghoa sendiri dulu? . Kalau dirinya sendiri tak sanggup memberikan legitimasi sendiri , bagaimana Tionghoa mengharap legitimasi dari yang lain. Masalah "Cina-Tionghoa" bukan sekedar istilah yang mana yang lebih enak di ucap atau ditulis, tapi bottom line-nya adalah mengembalikan kebenaran sejarah atas perjuangan Tionghoa dalam pembentukan Republik Indonesia yang hampir terapus selama hampir 40 tahun. Stigma Cina hanya cari duit, tak mau peduli dan ber-KKN di Indonesia harus dicabut, demi kemajuan NKRI.

Perjuangan mengikis diskriminasi Tionghoa boleh meniru cara Mahatma Gandhi

yaitu lewat puasa, karena berpuasa tidak ada yang bisa melarang. Demikian pula kalau menyebut diri kita Tionghoa orang lain juga tidak bisa melarang.


Frits Hong

Dr. Frits Hong sebagai ketua ICAA konsisten dengan pendapatnya; Beliau selalu berkilah; Kalau sudah tahu kita tidak mau dipanggil sebagai "Cina" mengapa tidak menggunakan kata "Tionghoa"? Sepanjang ini kita gunakan Tionghoa untuk orangnya dan budayanya, Tiongkok atau RRT (Republik Rakyat Tiongkok) untuk tempatnya, dan Mandarin atau Tionghoa sebagai bahasanya.

Menurut bos Duarte Inn ini, kasus ini tidak ada bedanya dengan istilah "nigger" orang-orang hitam di Amerika tidak suka bila dipanggil 'nigger' atau 'negro' Dalam kasus 'Cina-Tionghoa' diperberat dengan manuver penutupan sejarah perjuagan Tionghoa dalam kemerdekaan RI. Bangsa yang besar tidak menutup-nutupi sejarahnya, sebab sejarah adalah penuntun kami untuk suatu kemajuan dengan mempelajari kesalahan-kesalahan di masa lalu.

Maafkan sebelumnya kalau ada tulisan saya ini yang salah atau kurang sempurna, karena saya bukan seorang sejarahwan macam Ong Hok Ham, sedangkan Leo Suryadinata saja masih banyak yang dikoreksi tulisannya. Jadi harap bisa di sempurnakan kalau ada yang kurang. Sebab pengetahuan saya hanya berasal dari baca kiri kanan, wawancara dengan para tokoh masyarakat antara lain; Brigjen (purn) Teddy Jusuf (PSMTI), Benny Setiono (INTI), Pramoedya Ananta Toer, Tan Swie Ling (Sinergi), Eddy Sadeli S.H. (Pengacara), Tan Yoe Hok (PBSI), Henry Wen (keponakan dari Tony Wen), Siauw Tiong Djien (CARI), Rebecca (Fresno), John Oey (ICANet),Drs. LT. Susanto (DPR/MPR), Alm.

Ir. Pius Chan (CHI-LA), Dr. Frits Hong (ICAA), Jusni Hilwan (CCEVI), Iwan Suwandi (Van Forum), dan mendengarkan cerita dari orang tua saya tentang perjuangan kakek

saya (Dr. YL. Chen /Tan Lung Kit) yang ikut berpartisipasi di THHK dan turut berjuang dengan Dr. Sun Yat Sen di daratan Tiongkok saat revolusi (1909-1911). Dalam rangka diskusi "Cina-Tionghoa" ini, Indonesia Media membuka Polling untuk kedua istilah ini, bagi yang tertarik untuk mengikutinya silahkan masuk di www.indonesiamedia.com dan klik di kolom kiri. Kami berusaha mengfasilitasi polling ini agar didapat hasil yang se objective mungkin, maka untuk itu bagi peserta yang pernah vote, tidak diperkenankan mengulanginya. Terimakasih atas partisipasi anda.

Sumber asli : http://www.indonesiamedia.com/lipsus/lipsus-2003-cinationghoa1.htm



Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...